Oleh: Muhammad Fadlan H. Daud*
Dalam kegabutan ada saja ingatan-ingatan dari belasan tahun lalu yang mencoba memasuki pikiran. Dan pada akhirnya refleksi atas ingatan-ingatan itu dimulai.
Siapa yang tidak mengenal animasi Captain Tsubasa atau Shaolin Soccer? Bisa jadi masa kecilnya jauh dari permainan persepakbolaan, atau masa kecilnya lebih dekat dengan jurus ninja, pencarian Dragon Ball, atau berpura-pura menjadi bocah detektif handal. Semua orang yang masa kecilnya ditemani Tsubasa, misalnya saya, pasti sudah tidak meragukan lagi betapa hebatnya ia mengolah si kulit bundar berikut tendangan keras sambil melayang, berputar, dan melakukan atraksi salto. Atau film Shaolin Soccer yang tendangannya dapat membuat lawannya sekarat. Jika dipikir-pikir itu tidak maksuk akal.
Meskipun begitu saya adalah salah satu anak yang terhipnotis dengan kedua sinema itu dan mencoba menirunya. Sayangnya “gagal” karena saya tidak terlalu suka menggempur pertahanan lawan. Sebaliknya saya lebih suka melindungi pertahanan dari gempuran striker lawan.
Saya pikir permainan yang diperagakan oleh film-film itu hanya dapat terjadi di belakang layar televisi. Tapi semua itu salah. Di dunia nyata hal seperti itu dapat terjadi, misalnya, tendangan bersamaan dan salto. Bahkan saya pernah pemain yang bertemu malaikat maut di lapangan. Yah, kalau bukan jantungan, terkena benturan, mungkin ia disantet.
Sejak kecil permainan ini selalu saya mainkan, tak mengenal waktu salat dan azan berkumandang. Si kulit bundar selalu menemani dan mengakhiri sore saya. Kendati saat pulang saya harus digempur dengan celotehan ibu: “Kau tidak dengar azan di masjid!?”
Hampir setiap sore saya harus digempur celotehan yang memaksa saya segera pergi ke masjid, tapi sayang, bagi saya semua itu bukan masalah besar kendati “dosa” adalah ganjarannya. Rasanya lebih menarik mendengar celotehan itu lebih lama, karena celotehannya pada satu waktu akan menjadi kerinduan mendalam yang akan menjadi ajakan untuk berjumpa dengannya. Memori bekas cambukan tali jemuran, sendal dan, lebih tragis, lemparan batu dari Ibu masih tersimpan rapat dalam kepala saya.
Di desa, persepakbolaan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diri masyrakat, mulai anak-anak, pemuda, hingga kakek-kakek. Mereka semua suka dan dapat memainkan permaianan itu. Ini tercermin dengan adanya cerita dari para sesepuh terdahulu, tentang keahlian pendahulu memainkan speak bola, bahkan konon mereka lebih hebat dari Tsubasa dan Shaolin Soccer. Selain itu sepak bola bagi saya merupakan “pemersatu”.
1999, tahun kelam bagi masyarakat Maluku dan Maluku Utara. Merujuk liputan6.com yang diterbitkan pada 23 desember 2012, setidaknya terdapat 8.000 – 9.000 nyawa harus berguguran. Sangat disayangkan dari jumlah tersebut terdapat anak-anak dan ibu-ibu yang tak mengetahui apa musabab peristiwa itu turut mejadi korban. Untungnya saya bukan dari salah satu dari anak-anak itu, meskipun ledakan bom, rentetan senjata, lesatan tombak, dan cucuran air mata menyambut kelahiran saya. Memang, sangat tragis jika dingingat.
Peristiwa itu juga merupakan awal mula relasi sosial di desa mengalamai keretakan. Peristiwa kerusuhan pada masa itu membuat setiap masyarakat mengalami keguncangan jiwa. Ia tak bisa lenyap seutuhnya dari memori masyarakat. Jelasnya, kejadian itu sudah mengobrak tatanan sosial yang sudah lama dibangun. Yang tersisa hanyalah ketakutan dan kecurigaan.
Retakan itu juga seringkali diperkeruh dengan adanya “pesta demokrasi”—yah, apalah itu—yang biasa diadakan setiap lima tahun, baik itu pemilihan presiden, gubernur, bupati dan kepala desa. Yang terakhir, saya pikir bukan hanya pemilihan biasa. Euforia pemilihan tingkat desa di Maluku dapat melebihi pemilihan presiden (pilpres) yang biasa disiarkan di stasiun televisi. Pilpres di Maluku, bila diurutkan berdasarkan klasemen pemilihan umum di Indonesia, dapat ditempatkan di urutan terakhir—hampir degradasi.
Pemilihan kepala desa dan bupati rasanya lebih menguntungkan bagi orang lokal yang ingin mencari jabatan daripada harus membuang-buang tenaga bagi orang-orang yang tidak begitu dikenal dan tidak mebawa manfaat bagi tujuan mereka.
Namun, terlepas dari semua itu, sepak bola menjadi salah satu penghilang kepenatan atas masalah yang ada. Hal ini tercermin dalam setiap kompetisi yang diadakan penghujung Ramadan di kampung saya.
Ada hal yang saya anggap sebagai tindakan berlian dan mulia dari kompetisi ini. Kelahirannya, mungkin berangkat dari kejemuan sang pencetus dengan kondisi sosial yang ada, mabuk–mabukan telah menjadi budaya yang tak terpisahkan bagi sebagian masyarakat, teruntuk bagi anak muda desa, agar masyarakat tidak memeriahkan lebaran dengan tradisi mabuk-mabukan dan pesta.
Tidak hanya itu, nilai lebih dari gelaran ini adalah hadirnya orang-orang dari tempat pengasingannya, kamar-kamar, lorong gang dan sudut-sudut desa. Tak heran ada wajah-wajah baru bermunculan di sekitar lapangan dan meramaikan jalan-jalan yang telah jenuh dari bekas langkah yang itu-itu saja.
Lebih lanjut, bagi saya, sepak bola tidak hanya sebuah permainan yang membuat ibu menjadi marah. Ia juga dapat dimaknai sebagai penggambaran atas realitas kehidupan penuh tantangan, perjuangan, pengkhianatan, penyesalan dan tangisan.
Perihal pengkhianatan, saya punya seorang teman. Sebut saja Pikacu, orang yang meningalkan kawannya saat ia dibutuhkan tenaganya untuk meraih kemenangan. Jauh-jauh dari kampung halaman, ia ikut dengan tim kami sebagai salah satu pemain kunci. Namun, semuanya berubah beberapa hari sebelum pertandingan: ia memutuskan balik ke kampung menuruti panggilan ibunya. Mungkin saja ia takut dengan dosa yang akan ia terima jika menolaknya. Tapi informasi yang saya dapat, si brengsek itu tak kunjung menginjakan kakinya di kampung dan bertemu ibunya, sebaliknya ia masih saja bersantai di kota.
“Sekarang ia dimana?” tanya saya kepada kawan.
“Ia masih di kota,” jawab kawan.
“Sialan!” ucap saya dengan sedikit emosi.
Jika tahu seperti ini, sejak awal saya memutuskan agar tidak bermain dengannya. Kini, saya dihadapkan dua pilihan: pensiun dari persepakbolaan atau memutuskan persahabatan dengannya. Jika hal itu terjadi, sangat disayangkan saya akan menjadi orang tergoblok di muka bumi, yang memutuskan sebuah persahabatan hanya karena satu peristiwa, yang dapat dilupakan seiring berjalannya waktu. Setelah kejadian itu, saya harus menerima kenyataan, perjuangan merebut trofi harus terhenti di final dengan kekalahan.
*Penulis adalah pegiat filsafat yang kerap bertapa di Merapi untuk mencari wangsit
Ilustrasi: Bisma Aly Hakim