Lpmarena.com – Polemik UU Cipta Kerja masih terus berlanjut. Proses cepat pembentukan UU Cipta Kerja terus mendapatkan penolakan dari masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL). Selain dinilai cacat dalam prosedur pembentukannya, UU Cipta Kerja juga dianggap cacat secara materi.
Penolakan tersebyt, salah satunya, berupa hadirnya pemohon dan tim kuasa hukum KEPAL pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Kamis (10/6). Mereka hendak mendengarkan keterangan dari lembaga legislatif dan eksekutif. Namun, dari pemerintah, yang hadir hanya enam menteri.
Janses Sihaloho, koordinator tim hukum KEPAL, mengatakan berdasarkan fakta, argumen dan bukti yang dilampirkan, seharusnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja.
Dalam jumpa pers yang diselenggarakan KEPAL di hari yang sama, Gunawan mewakili Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) mengatakan UU Cipta Kerja termasuk kedalam diskriminasi terhadap masyarakat. Ia juga telah merenggut hak-hak konstitusional warga negara. Sejak perumusan dan pembahasannya pun tidak melibatkan partisipasi masyarakat padahal semua prosesnya sudah diatur dalam UUD 1945.
“Omnibus Law tidak menguntungkan petani, buruh, nelayan, dan berbagai lapisan masyarakat. Tuntutan pasal tak jelas, perubahan setelah persetujuan bersama, dan naskah amburadul adalah bagian dari UU Cipta Kerja,” tambah pemohon uji formil itu.
Koordinator KEPAL Nur Lodji Hady, menambahkan UU Cipta Kerja juga banyak diintervensi oleh pihak asing yang kemudian berdampak pada regulasi nasional sehingga banyak merugikan masyarakat.
“Mahkamah Konstitusi harus berlaku adil dan proporsional dalam keputusannya dan mengabulkan permohonan para pemohon pengujian formil UU Cipta Kerja serta menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pembentukannya bertentangan dengan UUD 1945 demi kebaikan bersama,” pungkas Lodji.
Selanjutnya, sesuai dengan kesepakatan atas permintaan para Menteri yang hadir pula, sidang ditunda dan dilanjutkan pada tanggal 17 Juni 2021 serta DPR dituntut harus hadir.
Reporter Azzam | Redaktur Sidra Muntaha | Sumber Foto Wikimedia Commons