Home SASTRACERPEN Monolog Seorang Anak

Monolog Seorang Anak

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Farid Merah*

Aku lahir ketika rakyat, buruh, mahasiswa, petani, dan muda-mudi di kecamatan-kecamatan seantero negeri ini mulai mencium bau busuk rezim yang berkuasa sejak 42 tahun itu. Ketika seluruh elemen masyarakat di negeri ini sedang diskusi, menyebarkan pamflet-pamflet berisi propaganda rahasia, menyusun strategi politik dan berjuang meruntuhkan rezim, saat itu juga aku sedang berjuang untuk keluar dari perut ibuku.

Siapa sangka, ketika ibu mengandungku, dia sudah memulai program KB, agar ketika bercinta dengan bapakku, ibu tidak hamil. Ternyata semangat untuk hidup dan meruntuhkan status quo yang zalim itu, tanpa sengaja juga menyebar ke dalam diriku, entah lewat dari mana, mungkin dari sesuatu yang dimakan oleh ibu, mungkin juga pada saat hamil tanpa sengaja ibu mendapat pamflet propaganda politik perlawanan itu, atau bisa jadi memang pada saat itu aku merasakan semangat, kegelisahan, dan segala euforia itu dalam perut ibu.

Mungkin pada saat itu ibuku menangis menyaksikan pembacaan puisi perlawanan dari seorang penyair muda sebelum akhirnya penyair itu dihilangkan rezim, dan frekuensi dari emosi itu terkirim padaku. Atau mungkin ibuku sedang mendengar seorang mahasiswa meneriakkan sumpah mahasiswa Indonesia;

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan.”

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.”

“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.”

Yang tanpa sengaja frekuensi emosi itu terkirim dan sampai padaku. Sehingga aku mendesak perut ibu, untuk lahir pada saat itu juga, agar aku menyaksikan perjuangan mereka.

Aku lahir pukul satu malam, dengan keadaan sungsang (kaki keluar lebih dahulu). Dengan ikhlas ibuku harus merobek bagian bawah perutnya agar aku bisa diambil dari sana. Aku tidak tahu kenapa seorang bayi bisa lahir sungsang. Beberapa teori mengatakan kalau bayi yang terlahir sungsang itu karena sang jabang bayi sangat pasif alias mager ketika dalam kandungan ibunya. Ada juga yang mempercayai kalau bayi sungsang itu adalah bayi suci yang bertuah.

Tapi aku punya pandangan sendiri perihal kenapa aku terlahir sungsang, “Mungkin karena aku sudah bisa berpikir sejak dalam kandungan.” Dan aku tidak mau lahir dengan cara biasa-biasa saja,  seperti umumnya para bayi, “Ya, aku ingin sedikit inovasi.” Tapi aku  bukan cucu Pramoedya Ananta Toer, walau Bung Pram memang bisa berpikir adil sejak dalam pikiran, dan nasionalis kiri sejak muda. Aku hanya menggemari tulisan-tulisannya.

Nama kakek dari ibuku adalah Ibrahim, beliau seorang pedagang, yang juga partisan partai Masyumi. Ia muslim yang taat dan memegang teguh Sunnah Rasul asli dan enggan lewat perantara wali-wali sembilan club. Dan kakek dari bapakku bernama Jihad, seorang petani. Beliau juga muslim yang taat, berbeda dengan kakek dari ibu, kakekku yang ini juga memegang teguh Sunnah Rasul, wali-wali sembilan club, dan fatwa para alim ulama.

Konon katanya, mereka berdua berselisih ketika hendak memberi nama padaku. Kakek Ibrahim ingin memberiku nama yang sama dengan idolanya yakni Mohammad Natsir, sedang kakek Jihad ingin menamaiku Jenar Mas Said yakni dua wali yang sangat diidolakannya juga. Akhirnya ibuku menengahi mereka dan memutuskan untuk menamaiku Jihad Ibrahim. Hal itu membuat mereka berhenti bersengketa dan saling memaafkan walau dengan malu-malu.

Sekarang aku sering berpikir, kenapa identitas begitu penting bagi sebagian orang. Atau kenapa kakek-kakekku punya ekspektasi yang hebat dari nama nama yang akan diberikannya padaku, sampai mereka lupa diri. Padahal saat ini aku hanya memimpikan hal-hal yang menurutku biasa saja, tetapi membahagiakan, seperti, bertemu Nabi Muhammad SAW, tidak telat menonton serial Spongebob Squarepants setiap pagi, membaca buku sastra dan filsafat tiap sore, sambil mendengarkan Radiohead, Arireda, Lana Del Rey, atau Cigarettes After Sex, bermusik, menulis lagu, puisi, atau cerpen, membuat aransemen, merilis mini album secara digital, membuat konser mini, berlatih keaktoran, membuat pentas drama keliling, melihat pameran seni rupa tiap bulan. Dan jujur saat ini aku hanya mengidolakan Sidharta Gautama dan Nietzsche, aku menggandrungi pandangan hidup keduanya. Aku bukan manusia, aku dinamit, aku ingin hidup secara paripurna sesuai nurani dan akal budi. Aku tidak mau didikte siapa pun apalagi mendikte siapa pun. Satu-satunya perintah di dunia ini yang kuturuti terakhir adalah perintah ibuku, ketika dia ingin aku masuk ke pesantren ketika lulus SMP, ketika lulus dari pesantren ibuku meninggal dunia.

Sejak ibuku meninggal dunia, aku mulai memasuki hidup yang berkebebasan, ternyata kehidupan itu sangat sepi, dan membahayakan. Dan kebebasan itu tidak pernah nyata, selain di dalam pikiranku sendiri. Saat itu aku mulai memutuskan apapun dengan mandiri, sesuai pandanganku saja. Bapakku memang masih ada, aku menghormatinya , masih mendengarkan nasihatnya, tapi aku tidak pernah mengerjakan semua masukkan yang ia beri, menurutku ia suka berpura-pura, sangat tinggi gengsinya, dan tukang bohong. Mana mungkin aku mengerjakan saran dari tukang bohong. Lebih baik aku tersesat tapi aku jujur, apa adanya, dan bahagia dengan pilihanku sendiri. Aku mencintainya makanya aku tidak pernah mengerjakan semua masukan darinya. Itu pilihanku, kuharap kalian punya pilihan sendiri. Aku tidak mengajari kalian untuk durhaka, dan ini lebih dari persoalan durhaka atau tidak durhaka. Ini adalah perjalanan yang bisa memahamkanku.

Farid Merah adalah penikmat sastra Amerika latin, lahir di Surabaya 19 Desember 1995. Ia adalah anggota aktif Teater Eska yang juga gemar bermusik dan bermain peran. Kini, ia belajar menulis puisi di “Kata Penyair”, salah satu program kelas menulis yang diampu Ulfatin CH  dan diinisiasi oleh para seniman Teater Eska. IG @faridmerah08

Ilustrasi: Muhammad Dzaky Samsul Anwar