Home BERITA Pendapat Mereka: Tentang AS Laksana, Plagiarisme dan Sastra Koran

Pendapat Mereka: Tentang AS Laksana, Plagiarisme dan Sastra Koran

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.comMinggu (6/6) lalu, dunia sastra geger akibat pengakuan prosais AS Laksana yang diunggah di akun Facebooknya. Pengakuan itu berkaitan dengan cerpen yang dimuat di koran Jawa Pos berjudul Bidadari Bunga Sepatu. Tepat di bawah judul cerpen tersebut, tertulis nama AS Laksana sebagai pengarang.

Namun, menurut pengakuan cerpenis yang kerap dipanggil Sulak itu, cerpen Bidadari Bunga Sepatu bukanlah miliknya. Ia hanya menulis paragraf pertama, sementara penulis aslinya bernama Adhe Afrilia. Ia merupakan murid Sulak dalam Kelas Menggambar Kalimat–sebuah kelas menulis yang rutin diadakan Sulak setiap bulan.

Pengakuan Sulak lantas menimbulkan berbagai respons. Salah seorang sastrawan cum akademisi, Okky Madasari menyebut bahwa tindakan Sulak merupakan plagiarisme. “Apa pun alasan dan tujuannya, ketika tulisan orang lain diakui sebagai tulisan sendiri, maka itu adalah plagiat,” terang Okky dalam cuitannya di Twitter, Senin (7/6).

Pada akhirnya, cerpen tersebut dicabut oleh Jawa Pos. Redaksi Jawa Pos juga memberi berkata, “sangat menyesalkan dan menyatakan mencabut cerpen Bidadari Bunga Sepatu tersebut,” dalam Maklumat Pencabutan Konten Cerpen Bidadari Bunga Sepatu AS Laksana. Penyesalan yang dimaksud redaksi Jawa Pos berkaitan dengan tindak plagiarisme yang dilakukan Sulak, dan tudingan bahwa Jawa Pos mempertimbangkan nama penulis dalam pemuatan karya.

Menanggapi hal di atas, kami lantas mengobrol dengan Hasan Aspahani, seniman dan redaktur Majalah Mata Puisi, dan Bernando J. Sudjibto, penulis dan dosen jurusan Sosiologi di UIN Sunan Kalijaga. Berikut hasilnya 

ARENA: Apa itu plagiarisme?  Dan bagaimana motif plagiarisme dalam dunia sastra?

Bernando J. Sujibto: Plagiat (itu) mengambil sebagian atau keseluruhan dari karya orang lain yang mewujud, seperti teks tulisan, lukisan. Sedangkan, konsep atau ide, tidak (dapat disebut plagiat), sekalipun ada orang bilang bahwa itu juga plagiat. Kalau dalam sastra sama saja, ya, tidak ada bedanya dengan karya tulis ilmiah, jurnal atau yang lain. Gamblang sekali untuk mendefinisikan itu. Kalau misalnya mengambil satu kalimat pun dan tidak mencantumkan sumbernya itu dari mana itu juga plagiat, bahkan satu frasa pun.

Hasan Aspahani:Plagiat itu kan sederhananya mencuri, ya, kan. Dalam dunia kreatif, ketika kita mengambil sebagian atau seluruh karya seseorang, enggak peduli dia tahu atau enggak, kemudian kita kirim ke majalah, media dan mengakui itu sebagai karya kita atau kita lempar ke publik lewat media atau tidak, kan disitu masalahnya.

Semua majalah, semua media, itu tidak ada yang menerima karya plagiat. Itu kan tidak ada, toh? Karya harus asli, semua lomba juga begitu. Jadi persoalannya adalah ketika karya itu bersentuhan dengan media untuk disuguhkan ke publik karena media tidak mau memuat karya plagiat itu. Untuk apa? Untuk menjaga iklim penciptaan itu, iklim kreativitas sehat, itu pemahaman pertama.

Ada yang mencuri ada yang dicuri, ada yang mengaku sebagai pemilik barang yang dicuri itu, ada media yang tidak mau menerima barang curian supaya yang disuguhkan kepada publik adalah bukan barang curian itu; itu situasi wajar. Itu kondisi begitu dari dulu dalam dunia kreatif.

Jadi ketika orang bilang, “enggak, kok, itu kan yang dicuri tahu kok, ikhlas kok,” oke satu sisi selesai. Tapi persoalan medianya bagaimana? Itulah maksud saya masalahnya. Kalau dalam karya sastra, istilah plagiat itu kan, saya pernah menulis di satu majalah saya, Mata Puisi itu. Plagiat berasal dari plagiarius. Itu artinya pencuri, penculik, perayu atau penjarah yang menculik budak anak-anak orang lain. Kata dasarnya pencurian. Plagiarius itu dari bahasa latin, ya, dan itu terjadi di dunia sastra, bukan di dunia musik dan lain-lain. Kasus plagiarius itu asalnya memang dari dunia sastra baru kemudian istilah itu dipakai ke cabang-cabang seni lain. Musik, misalnya.

Jadi seorang di Romawi itu ada tradisi di sana seorang membacakan karyanya di depan orang banyak dan dibayar. Jadi urusannya pada publik dan uang yang didapatkan dalam menampilkan karya itu. Nah, ada penyair namanya Martial menegur seorang yang bernama Bidintius karena mencuri syairnya. Dia menulis sebuah syair, namanya hidigram. Dia (Martial) menegur si Bidintius. “Kamu kalau mau membacakan karyaku di depan publik dan mengakuinya itu sebagai karyamu, ya enggak apa-apa, asalkan kamu bayar puisiku dan kamu akui sebagai karyamu. Tapi kalau kamu memakai karyaku tetapi tidak membayar dan membacakannya di publik, kamu itu seperti penjarah, pencuri, dan budak plagiarius itu. Di situlah muncul istilah plagiarius. Jadi memang dari akar katanya saja itu adalah soal pencurian saja, ketika karya itu disuguhkan kepada publik.

ARENA:Apa saja kasus-kasus di dunia sastra yang dapat disebut plagiarisme dalam tahun-tahun terakhir ini?

Bernando J. Sujibto: Saya tidak terlalu banyak ikut sekarang, tetapi banyak dan terus ada. Kemarin ada cerpenis yang menerbitkan buku secara mandiri tapi memakai logo Penerbit Mojok. Itu terjadi sekitar dua sampai tiga bulan kemarin. Termasuk beberapa tulisan saya, kan, pernah juga diplagiat. Itu memang menjadi hantu, ya, menjadi penyakit.

Hasan Aspahani: Enggak terlalu mengikuti. Ada beberapa dari cerpen, ada bagian novel-novel tertentu yang seseorang mengatakan itu plagiat, dan ada puisi gitu. Saya enggak terlalu ngikutin soal kasus-kasus itu. Saya nge-vlog, dan ada yang bertanya begini soal itu. Gimana menurut saya soal plagiat, saya bilang, “kalau karya puisimu dicuri orang kemudian orang itu mengirim karyamu yang dicuri itu atas nama dia kemudian lolos atau dimuat di majalah, ya kamu kan tidak rugi apa-apa.” Saya bilang gitu. Malah harusnya merasa bahwa karyamu pantas dicuri, ada yang berharga untuk sesuatu yang dicuri itu, saya bilang begitu dan tentu saja itu salah.

Dalam konteks iklim penciptaan yang sehat, itu tidak benar. Itu merusak. Itu merugikan dan bisa kriminal. Kan, bisa digugat.

Cuman, sorry, saya tidak mengikuti detail soal kasus-kasus itu. Ada beberapa yang pernah tahu, cuma apa namanya, saya tidak terlalu tertarik dengan itu gitu

ARENA:Apakah kasus AS Laksana termasuk dalam kategori plagiat? Mengapa?

Bernando J. Sujibto: Secara etis memang betul plagiat. Akan tetapi, unsur tersebut bisa saja disandarkan atau ditujukan kepada AS Laksana. Artinya apa yang dilakukan AS Laksana memang masuk dalam plagiarisme karena karya itu bukan karyanya AS Laksana, tetapi karya muridnya.

Tetapi ini yang perlu digarisbawahi. Bagi saya, apa yang dilakukan AS Laksana itu dengan sangat sadar dan ketika melakukannya pun intensinya jelas, rasional sekali. Kalau bicara seandainya, AS Laksana kan bisa saja tinggal ngomong ke Afrilia untuk tidak ramai-ramai dan tidak bicara ke publik tentang hal ini. Selesai.

AS Laksana, bagi saya, ingin mengkritik sesuatu yang bagi dia bermasalah. Pertama, dia mengkritik redaktur, mengkritik nama besar. Menurut saya, terdapat poin positif dalam apa yang dilakukan AS Laksana. Ya, meskipun positif di sini bukan ajakan melakukan yang seperti itu saja. Enggak. Tapi, ada unsur kontrukstif yang perlu ditilik sebagai sebuah kritik.

Kritik ini yang saya lihat penting untuk digarisbawahi: dalam tradisi kepenulisan, nama besar itu kadang angker. Jadi ini sudah umum. Dan bagi saya ini adalah kritik yang keren dari AS Laksana. Dan ini akan membakar jenggot para redaktur, bahkan rambutnya. Artinya redaktur itu karena memang keterbatasan waktu, lebih memberikan garansi kepada nama besar. Taruhlah misalnya, ada seorang anak muda menulis dengan berdarah-darah dan sangat bagus sekali, diksi dan analisisnya, tentang Pancasila di hari Pancasila. Yang masuk ke redaktur, tulisan pemuda itu dan Syafii Ma’arif yang kemarin nulis tentang Pancasila. Itu sudah menjadi rahasia umum, bahwa yang akan dilirik pertama adalah Syafii Maarifnya, bukan pemuda itu.

Nah, ini yang dimaksud masalah umum. Tetapi menurut saya ini sudah menjadi pembenaran di mana-mana orang bisa menerimanya. Tahulah bahwa nama besar track record nya kayak apa, latar belakangnya, pengetahuannya dan segala macam, sehingga redaktur secara gamblang dan gampang bahkan gampangan langsung menggaransi. Tetapi jika nama besar ini betul-betul mentereng dengan karya-karyanya yang keren, terus kemudian menjaga performa itu saya kira tidak ada masalah. Ini bukan nama besar digeneralisasi, namun nama besar yang pemalas. Ini yang menurut saya merupakan kritik penting dari AS Laksana. Akhirnya, redaktur-redaktur koran, biar lebih berhati-hati kedepannya.

Kalau saya melihatnya bukan pada soal “pelecehannya”—orang yang mengatakan begitu kepada AS Laksana—tapi setidaknya kritik bagus ini harus diangkat juga selain melulu soal plagiarisme.

Nah, ini biar kita lebih independen sebagai bangsa begitu, loh. Suara komunitas kecil pun, kalau memang suara mereka kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, kenapa enggak didengarkan? Masak suara-suara “orang penting” terus yang harus kita dengar? Kan enggak. Apalagi di era-era sekarang.

Jadi kesimpulannya, saya setuju bahwa ada unsur plagiat, tetapi yang ingin ditunjukkan AS Laksana itu lebih dari soal plagiat-plagiat. Bahwa plagiat memang buruk dan cacat saya setuju.

Saya memaknai sesuatu yang berbeda di balik kearoganan AS Laksana. Kalau hanya soal plagiat itu jatuhnya hanya ke AS Laksana. Selesai disitu. Tetapi jika kita melihat intensi-intensi AS Laksana yang saya sebutkan tadi, untuk merobohkan nama besar, mengkritik dirinya sendiri. AS Laksana sebenarnya tidak penting melakukan ini, AS Laksana sudah langganan nulis di Jawa Pos, dia sudah menjadi penulis tetap di Jawa Pos. Sekalipun dia tidak melakukan ini, namanya aman, tetapi kenapa di balik nama amannya ini, dia melakukan hal itu? Siapa tahu dia ingin mengkritik dirinya sendiri?

Hasan Aspahani: Makanya ketika kasus Mas AS Laksana—dia teman saya, sahabat saya dan saya suka karya-karyanya—membuat  pengakuan, komentar saya sebenarnya tidak ke arah plagiarismenya, meskipun saya tahu itu plagiat, dan Jawa Pos kemudian mencabut pemuatan karya itu karena dianggap plagiat, dan memang itu plagiat, iya toh? Mengirim karya orang atas nama sendiri seperti yang tadi saya bilang itu begitu.

Saya lebih kepada etika saja gitu. Apa haknya seseorang, atau siapapun, melakukan itu gitu? Meskipun orang yang punya karya setuju dan mengikuti permohonan itu, tapi Jawa Pos kan seolah-olah jadi kayak objek sebuah percobaan yang sangat tidak menarik, menurut saya. Kayak direndahkan. Nah kan benar kan, kamu memuat cerpenku di situ karena namaku, kamu kan enggak tahu bahwa itu bukan karyaku sebenarnya, iya kan? Emang enggak dikasih tahu kok. Begitu kan? Kemudian membuat pengakuan, “dan dengan ini saya mengembalikan kepada penulis aslinya…” Berarti Jawa Pos sudah ditipu dengan demikian dan itu sah sebagai plagiat. Karena diakui atau tidak, itu (cerpen) adalah karya orang lain. Apalagi kemudian diakui, kan?

Lah, itu saya menulis status dan membuat video tentang itu kan. Tentang kenapa Jawa Pos harus marah kepada AS Laksana, sebelum Jawa Pos mencabut cerpen itu. Ya karena tidak etis aja gitu.

Aku membuat video baru, siang tadi saya siarkan videonya. Panjang sebenarnya kalau mau dijelaskan. Saya juga belasan tahun hampir dua puluh tahun di koran, ya. Masalah dunia tulis menulis kita, cerpen, puisi; satu, tidak ada majalah yang secara khusus tentang puisi, tentang sastra. Majalah Horison sudah mati setelah berumur lima puluh tahun. Sekarang ada beberapa website, saya mencoba menelusuri website-website yang khusus membahas sastra yang baik dan sehat, menurut saya. Meskipun banyak yang mati juga, tergantung koran umum, yang sebenarnya, tidak memuat cerpen pun, mereka tidak berdosa. Kompas tidak memuat cerpen tidak berdosa, karena mereka bukan koran cerpen, mereka koran umum. Jawa Pos tidak memuat cerpen juga demikian, bukan diciptakan untuk memuat itu. Kita tidak punya majalah cerpen yang keren, yang bagus, yang membayar pantas, mahal, sekaligus berharga, itu masalah kita yang pertama.

Kedua, redaktur bekerja seperti apa sih? redaktur bekerja, satu, dikejar deadline. Kalau hari Minggu harus terbit, biasanya Jumat harus ada naskahnya. Kalau yang mengirim banyak, dia harus memilih dan membaca semua. Syukur-syukur kalau redakturnya banyak dan memang suka sastra dan mengetahui sastra. Kadang-kadang koran itu menunjuk penanggung jawab halaman koran sastra itu wartawan yang tidak diberi gaji tambahan, kadang-kadang ya.

Kalau Jawa Pos saya tahu. Kompas membayar orang khusus mengerjakan itu. Mereka bertanggung jawab. Seperti di video saya, saya bilang, kalau saya redaktur nih, saya sehari ada tujuh cerpen yang masuk, seminggu ada sekitar dua puluh delapan cerpen, saya harus memilih satu di antara dua puluh delapan itu. Kadang-kadang tanggung jawab saya bukan hanya sebagai redaktur cerpen, tetapi meliput juga, membuat berita, ya kan? Sempatkah membaca dua puluh delapan cerpen itu? Sesempatnya, saya akan membacanya, ya kan? Maka cara yang paling mudah adalah, saya lihat namanya siapa. Itu pekerjaan wajar, paling mudah, cara yang paling bertanggung jawab. Harusnya membaca semuanya. Sekali lagi, itu cara yang paling mudah dan tidak salah.

Kedua, saya akan melihat orang yang paling rajin mengirim. Pasti akan ingat saya, ini orang tiap minggu mengirim nih. Setelah sekian minggu pasti akan menempel namanya, jadi bukan pertimbangan bagus tidaknya karya sastra, tapi ada pertimbangan itu. Ada pengaruh itu. Kenapa? Karena saya berharap koran saya besok laku, cerpen yang saya pilih besok akan membangun penjualan koran saya. Ketiga, ada pengaruh pertemanan. Ada. Pasti ada. Kalau teman saya menulis dengan baik itu bisa jadi pertimbangan saya untuk memuat cerpennya dia. Ya kan? Tapi, kadang-kadang redaktur yang baik, selain karena tiga hal itu, dia juga suka bangga, suka merasa menemukan seseorang, ketika satu nama yang belum terkenal dan belum pernah dimuat dimana-mana, tiba-tiba cerpennya bagus banget, bagus sekali, itu seseuatu yang menyenangkan bagi redaktur. Dia seperti menemukan seseorang, menemukan penulis yang baik. Itu juga menjadi pertimbangan yang kerap kali dilakukan.

Jadi sistem apa yang mau dirombak oleh Mas Sulak itu? Sistem apa? Dia mau menghibur murid-muridnya? Nah di situ salahnya menurut saya. “Kalau cerpenmu belum dimuat, bukan berarti cerpenmu jelek, tapi karena pertimbangan-pertimbangan tadi itu. sekarang coba kirim cerpenmu pakai namaku pasti dimuat.” Oke, percobaan yang menarik, membuktikan sesuatu, tapi untuk apa itu dibuktikan begitu. Saya akan marah kalau diperlakukan seperti itu oleh orang yang, bahkan, bertahun-tahun saya beri kolom di majalah saya, di koran saya. Enggak begitu caranya kalau mau membuktikan itu, ya kan.

Misalnya Mas Sulak mengirim cerpen yang bagus, tapi bukan pakai nama dia, atau cerpen yang buruk banget tapi pakai nama dia, apakah redaktur memilih karyanya? Tapi apapun pilihannya, redaktur harus marah menurut saya. Kenapa? Karena dipermainkan dan diumumkan. “Tuh kan benar, Jawa Pos memilih cerpenmu dan dimuat pakai namaku, kan.” Jawa Pos memiliki alasan mendasar dalam pencabutan cerpen itu. Menurutku sangat tepat, plagiat. Kenapa? Karena Mas Sulak mengakui sebuah karya yang diakuinya hanya paragraf pertama yang dia buat kemudian dilanjutkan oleh seseorang yang adalah muridnya, kemudian kirim ke Jawa Pos pakai nama dia, diakui sebagai karya dia, minta dimuat sebagai karya dia, setelah dimuat dia mengaku.

Urusan dengan penulis aslinya selesai. Dengan publik selesai enggak? Dengan Jawa Pos selesai enggak? Ya enggak selesai lah, masih bermasalah lah. Jadi apa gunanya membongkar itu? Enggak perlu dibongkar kalau paham sistem kerja di surat kabar. Dari dulu berlaku seperti itu kan? Tapi toh sampai hari ini, pengarang-pengarang baru muncul juga, pengarang-pengarang hebat lahir terus. Iya toh? Dari zamannya Balai Pustaka, datang pemberontak-pemberontak baru, pujangga baru, Sutan Takdir dan lain-lain. Belasan tahun kemudian, datang Chairil dan kawan-kawan, datang dengan angkatan gelanggang dengan konsep baru. Tidak diberi tempat di pujangga baru yang menjadi mainstream pada saat itu, bikin koran sendiri.

Jadi sejarah sastra kita tuh memang sejarah perlawanan terhadap itu (arus utama). Kalau mau dibilang senioritas, nama-nama mapan itu, ya terus lawan saja. Kalau kemudian media koran melembagakan itu, mentradisikan itu, lawan aja. Cara melawannya dengan apa? Kalau saya sih, saya pernah bilang, kirim saja terus. Saya berkarya, saya kirim aja terus sampai dimuat begitu kan. Harus diakui kemapanan nama-nama besar itu ada dan berpengaruh terhadap pemilihan karya yang dimuat. Tapi bukan berarti tidak bisa dilawan. Ya lawan saja begitu.

Buktinya, kan, lahir terus penulis-penulis baru. Ada yang menciptakan jalurnya sendiri, ada yang dulu kita menyebut-nyebut internet sebagai membunuh sastra koran. Enggak tuh sastra koran tetap aja ada sampai sekarang tuh bahkan bikin keributan seperti ini, kan gitu? Saya masih menulis di blog, menulis di internet sebagai bentuk membuat jalur alternatif bagaimana karya saya sampai ke publik gitu kan.

ARENA: Kritik terhadap sastra koran yang kebih mempertimbangkan nama daripada konten ini memang sudah sejak lama dan berlangsung sampai sekarang. Apakah problem sastra koran yang terus digaungkan itu memang masih terjadi atau sudah ada perbaikan?

Bernando J. Sujibto: untuk pertanyaan ini sebenarnya harus digarisbawahi. Artinya tidak semua sastra koran cetak melulu ngomongin tentang nama besar, itu tidak bisa digeneralisir. Maksud saya begini, dengan nama besar muncul maka otomatis dia punya follower, punya massa, punya pengaruh. Maka, koran atau majalah itu (yang menerbitkan karya penulis besar) cenderung akan diperhatikan.

Yang paling penting di banyak pengalaman yang saya lihat itu dua-duanya berjalan. Ada redaktur yang tetap konsisten mengorbitkan nama-nama baru karena kualitasnya banyak. Termasuk dulu ketika Jawa Pos dipegang Alm. Arif, kemudian Media Indonesia dibawah Damhuri Muhammad, misalnya, terus Tempo dibawah Nirwan itu banyak melahirkan nama-nama baru yang tentu dengan seleranya Nirwan. Artinya, tidak hanya nama besar saja yang muncul di situ.

Menurut saya, bahwa koran cetak tidak bisa digeneralisir selalu mempertimbangkan nama daripada konten. Tetapi bahwa nama itu tetap mempunyai pengaruh besar terhadap penerbitan. Statement saya begini, tidak semua redaktur itu selalu mempertimbangkan nama besar. Artinya nama besar tidak melulu menjadi syarat. Nama besar pun kalau karyanya jelek akan dipertimbangkan ulang dan itu biasa terjadi dari cerita ke cerita yang saya dapat. Kembali ke kasus AS Laksana, misalnya AS Laksana sebagai nama besar yang cukup populer di dalam sastra. Tentu saja apa yang dia tulis akan dibaca. Dan jangan lupa yang disebutkan sebelumnya, AS Laksana kan sudah menjadi esais tetap. Artinya, nama besar ini memang mempengaruhi, taruhlah misalnya bikin manis media. Tidak kemudian bahwa nama besar melulu yang jadi pertimbangan, konten juga.

Hasan Aspahani: Kalau mau membuktikan itu, buat penelitian deh. Ini kayaknya tanggal 28 Juni nanti Kompas akan meluncurkan cerpen terbaik kompas tahun 2020. Saya dapat usernya, statistiknya. Berapa ribu cerpen yang sudah dimuat Kompas. Si Seno (Seno Gumira Ajidarma) dimuat berapa cerpen, si Budi Darma berapa cerpen. Di antara nama-nama besar itu ada yang cerpennya sampai dimuat sampai empat puluhan lebih. Seno kalau enggak salah 58 cerpen. Ada kurang lebih 6000 nama. Kan banyak sekali nama-nama yang muncul di Kompas gitu kan.

Kalau Kompas dibilang hanya mengutamakan nama-nama besar itu, jangan-jangan karena memang mereka produktif, karena mereka mengirim lebih banyak daripada yang lain, bukan karena nama besar. Toh sebelum punya nama besar mereka juga bukan siapa-siapa kok. Nah Jawa Pos juga gitu, cek aja berapa cerpen yang dimuat sejak ada rubrik cerpen di Jawa Pos yang dimuat. Apalagi kalau sampai punya data berapa yang mengirim, siapa yang mengirim, ada nggak orang yang tahu dia mengirim berapa dimuat berapa gitu kan? Secara, nama-nama yang dimuat itu, berapa yang selalu dimuat atau sering dimuat, itu lebih menarik dan itu lebih membuktikan.

Saya tidak membantah gejala itu ada, tapi dengan pengalaman saya bekerja sebagai redaktur maka itu (produktivitas) jadi satu pertimbangan gitu. Kalau jelek yang dimuat itu justru disitu salahnya. Enggak penting isu itu buat saya, karena saya paham bagaimana redaktur bekerja, atau saya mencoba memahami bagaimana redaktur bekerja, karena saya berpengalaman menjadi redaktur itu.

Di Amerika atau dimana gitu, ada koran yang secara khusus memuat nama-nama baru. Bahkan ada penghargaan yang hanya diberikan untuk buku pertama. Artinya kan penting untuk menyambut penulis-penulis baru sampai ada penghargaannya gitu loh. Itu yang membuat sastra berkembang dan itu yang membuat semangat munculnya nama-nama baru. Bahkan di Amerika itu ada penghargaan untuk orang berumur 40 tahun ke atas, tapi belum punya buku, tapi konsisten menulis. Ada penghargannya itu.

Artinya apa, orang didorong untuk punya buku, untuk punya karya yang utuh. Jadi penting banget gitu. ada penghargaan nasional untuk buku kedua. Apa pentingnya penghargaan itu? Supaya orang jangan berhenti pada satu buku, tapi mikir untuk menerbitkan buku kedua. Oleh karena itu di Amerika, Afrika atau Eropa orang punya buku 40 biasa saja, punya buku 25 biasa saja gitu. Karena produktif, karena ekosistemnya, iklimnya mendorong seseorang untuk produktif.

Namun ada juga kritik bahwa sastra koran ini menghegemoni ekosistem sasatra Indonesia, seolah sastra koran punya sifat adiluhung dibanding karya sastra yang tidak pernah terbit di koran. Apakah problem ini juga masih terjadi di era digitalisasi yang bikin banyak media cetak bangkrut?

Bernando J. Sujibto:Betul, ya, bisa dikatakan begitu. Ini juga kritik yang menarik, ini diskusi yang panjang. Kalau tidak salah awal tahun 2000-an cyber sastra itu dimulai secara kencang oleh Saut Situmorang untuk memerangi dominasi sastra koran. Semua penulis pasti merasakan ketika berhadapan dengan hegemoni sastra koran. Misalnya sastra koran punya kolom, punya batas berapa kata, terus eksprimen-eksprimen, dalam artian bentuk-bentuk, mungkin secara tipografis agak nyeleneh, dan secara tematik cenderung kepada nuansa tertentu. Tapi ini tidak bisa digeneralisir, ya.

Itu beberapa memang salah satu catatan penting untuk sastra koran sebagai hegemoni atau dominasi dalam kesusastraan kita. Tapi yang paling menarik sebenarnya, salah satu kritik dari Eka Kurniawan juga.

Eka Kurniawan baru-baru ini menerbitkan buku Sumur, satu prosa yang, kata dia, adalah cerpen panjang. Karena kalau orang berpikir tentang cerpen, ukuran orang nulis cerpen sebelum tahun 2010-an misalnya, ketika orang dulu menulis cerpen itu kan terlalu kontstruk. Otaknya sudah dikunci untuk menulis tidak lebih dari 1000 kata dan lain-lain. Misalnya ada beberapa koran yang justru hanya 500 kata, itu unik tapi bisa dibilang kacau. Tapi bagaimana pun juga itu sudah bagian dari aturan yang diinginkan apa adanya dari media cetak itu.

Kalau sekarang saya lihat sudah enggak ya. Misalnya, secara gamblang begini, generasi-generasi, katakanlah, milenial awal, itu masih punya pikiran bahwa eksistensi di media cetak itu sangat penting dan itu jadi ukuran dan dianggap sebagai adiluhung dan lain-lain lah. Itu terakhir itu, generasi milenial awal adalah generasi terakhir. (Sekarang) Saya kira sudah nggak. Mereka mulai bereksperimen lagi hal-hal baru, merambahi banyak media-media alternatif, tentu sudah banyak sekali.

Dan kalau dalam konteks ini sudah justru sekarang ini banyak yang kalap, bahkan korannya pun yang kalap. Coba di Indonesia, sudah berapa koran yang mati. Ini menunjukkan bahwa sarana (media) cetak itu sudah kalah. Otomatis juga dengan struktur ketatnya di luar, karena kalau cetak kan terbatas. Jadi sekarang udah bergeser. Kompas saja, misalnya, ada versi kompas cetak ada versi kompas online. Artinya kalau ditanyakan dalam konteks sekarang, ya justru sekarang sudah kalah. Prinsipnya gini, udah enggak ada ukuran lagi koran sebagai sesuatu yang adiluhung, sekarang sudah digital.

Kalau saya lihat seperti itu yang terjadi. Wacana sastra umum justru sekarang ini karena mediumnya sudah semakin beragam, jadi para penulis itu enak. Kolom dan jumlah kata sudah tidak dibatasi dan segala macam.

Hasan Aspahani: Bukan kewajiban koran untuk memberi ruang kepada sastra. Itu hanya di indonesia saja. Di Amerika enggak ada tuh, New York Times enggak memuat puisi, Washington Post enggak muat puisi. Iya toh? Koran-koran umum tidak memuat puisi, puisi itu hidupnya di jurnal-jurnal yang diterbitkan kampus. Kayaknya setiap kampus punya jurnal sastra yang bagus. Kalau koran kemudian disebut menghegemoni, apakah harus dikutuk, apakah harus dibenci? Ya kan tidak ada tempat lain, mau muat dimana? Majalah sastra kita pada mati kok. Mau dimana?

Kalau anggapan bahwa koran wajib memberi tempat pada itu, dulu memang pernah ada. Mochtar Lubis kalau enggak salah mengatakan kalau koran tidak memberi ruang sastra maka dia koran yang tidak berbudaya. Bahwa sastra kita itu sejak awal muncul dari koran umum. Karena apa? Orang nggak akan beli majalah sastra. Horison itu dulu dijual lima ribu kok. Bandingkan dengan kompas yang oplahnya bisa 500 sampai satu juta. Banyak sekali orang yang bersentuhan dengan sastra karena kebaikan hati koran umum memberi ruang kepada rubrik sastra.

Sekarang semua kalap. Musik, film semua kalap, kok, karena pengaruh pandemi dan digitalisasi ini dan segala macam. Lanskap industri berubah, media juga berubah, ya kan? Koran beralih ke digital dan kalau harus dilakukan, efisiensi apa yang harus pertama kali dibuang dan dikurangi? Kompas mengurangi halaman puisinya, sudah enggak ada lagi puisi di Kompas sekarang, jangan-jangan cerpen pun nanti enggak ada lagi. Dan jangan salahkan Kompas. Kalau kebaikan hati itu kemudian dianggap menghegemoni, maksudnya apa gitu?

Emang sastra mau ngapain gitu, tapi jangan bergantung pada koran umum dong. Novel-novel yang bagus lahirnya dimana, enggak di koran kan? Cerpen sama puisi yang di koran kan, novel langsung diterbitkan oleh penerbit, nama-nama baru juga bermunculan. Sekarang gitu kan?

Oke, kalau hegemoni itu buruk dan kalau itu dianggap hegemoni, alternatifnya apa sih? Memang mau muncul di mana, puisi itu mau menyapa publik lewat apa? Dulu kita merayakan bahwa seolah-olah digital adalah alternatif yang menarik, tapi siapa yang minat dengan sastra internet? Saya tidak bilang tidak ada ya, tapi hanya beda jalur saja gitu. Sekarang saya punya blog, saya nulis di blog saya. Begitu saya nulis lima detik kemudian ada yang baca gitu. Beberapa puisi di situ saya pilih dan saya kirim ke koran yang menurut saya akan layak dimuat. Jadi ini alternatif bagaimana cara menemui publik yang lebih luas gitu.

Saya tidak menyebut itu sebagai hegemoni, tapi kebaikan hati, dan tidak ada yang salah dengan kebaikan hati itu, kenapa harus dilawan, kenapa harus dimusuhi. Sekarang, jika si pemilik media kemudian tidak menyantuni sastra, terus kita mau kemana? Koran bukan tugas utamanya dalam mengembangkan sastra. Koran itu kalau secara undang-undang pers kan fungsinya tiga: menyampaikan informasi, mendidik dan menghibur. Tapi di pasal yang sama di ayat yang berbeda, pers juga bisa berfungsi sebagai lembaga bisnis. Justru bisnis itu yang membuat koran, media itu, bisa menjalankan fungsi yang tiganya itu.

Fungsi cerpen mungkin menghibur, mungkin mendidik juga. Tapi kalau dia tidak sehat secara bisnis, terus gimana membayar penulis dengan baik? Jadi ketika koran kesulitan bisnisnya, kemudian menutup halaman sastranya, ya jangan ditangisi juga, apalagi kalau dia memberi ruang yang cukup, membayar dengan pantas kemudian dianggap menghegemoni kemudian dianggap buruk, wah kita enggak berterima kasih dong gitu kan.

Reporter Ahmad Zubaidi (magang) | Redaktur Sidra | Ilustrasi Bisma Aly Hakim