Home BERITA Nasib Pedagang Sunmor UGM setelah Setahun Pandemi

Nasib Pedagang Sunmor UGM setelah Setahun Pandemi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com –Sunday Morning (Sunmor) merupakan istilah bagi pasar dadakan yang digelar setiap Minggu pagi. Orang-orang biasa berolahraga atau berleha-leha di sela rutinitas harian di pasar tersebut. Adapun di Yogyakarta, Sunmor kerap digelar di beberapa titik: Stadion Maguwoharjo, Alun-Alun Utara, dan yang paling besar berada di jalan Notonegoro UGM.

Bagi mahasiswa, Sunmor di wilayah Universitas Gadjah Mada (UGM) barangkali tak lagi asing. Ia berumur tua, muncul pertama kali pada tahun 1980-an, bermula dari pedagang lontong sayur yang berlokasi di Lembah UGM. Lalu, tahun 1990 setelah dibangunnya Graha Sabha, mahasiswa dan warga sekitar mulai memiliki kebiasaan baru: lari pagi. Pedagang pun merespons kebiasaan itu.

Sedikit demi sedikit, pedagang mulai memadati Lembah UGM dengan menggelar barang dagangan, mulai dari makanan, souvenir, pakaian, dan lain-lain. Tempat itu pun menjadi ramai oleh pengunjung yang pelesiran dan pedagang yang mencari sumber penghidupan. Namun, semuanya berhenti sejak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia Maret tahun lalu.

Ricky, pedagang kaus kaki di Sunmor UGM, betul-betul merasakan efek hantam dari pandemi itu. Dia pertama kali menggantungkan hidupnya di Sunmor tahun 2003, sebelum Sunmor berlokasi di Notonegoro. Sebelum Covid merebak, ia bisa menjual puluhan pasang kaus kaki dalam sehari, mendapat penghasilan kasar sekitar 750 ribu rupiah.

Kini, setiap hari, Ricky hanya bisa mendapat 200 ribu, sementara ia punya keluarga yang mesti diberi nafkah. Ia sebetulnya juga sering berjualan di hari-hari biasa, keliling di kantor-kantor dan sekolah, selain di Jalan Notonegoro waktu Minggu pagi. Namun, ia merasa berjualan di hari biasa tak cukup untuk membiayai keluarga. Ia keberatan setelah Sunmor UGM absen selama satu tahun.

“Kalau ada di rumah, apa yang bisa dijual, ya dijual. Karena kebutuhan rumah tangga itu sudah pasti, biaya hidup anak sekolah, penerangan listrik, dan kebutuhan lainnya,” tutur Ricky.

Wilayah sekitar UGM memang tempat strategis untuk menggelar Sunmor. Sebelum berlokasi di Sunmor UGM sempat berpindah-pindah tempat dan direlokasi pihak UGM. Pertama kali, ia digelar di Lembah UGM lalu pindah ke Graha Sabha lalu Boulevard UGM. Tak lama, ia berpindah lagi ke perempatan Sagan sampai Bunderan Psikologi.

Ada tiga paguyuban saat relokasi pertama, yaitu Fajar Wiro Digama (FWD), Notonegoro, dan Sinar Pagi. Paguyuban FWD kebanyakan diisi oleh pedagang kuliner, sedangkan Sinar Pagi dan Notonegoro beranggotakan penjual kerajinan. Belakangan, terbentuk paguyuban baru yaitu Paguyuban Pedagang Taman Kupu-Kupu (P2TKP).

Empat Paguyuban itu berjalan di bawah pengelolaan UGM. Mereka membayar retribusi senilai Rp. 225.000,- per meter setiap tahun. Uang tersebut disetorkan ke UGM guna keperluan kebersihan dan retribusi sampah.

“Uang itu untuk kebersihan. Jadi, pedagang datang, dagang, selesai, tidak mengurusi sampah. Itu yang ngurusi dari UGM, berjalan sampe 2012,” jelas Dessi, Wakil Ketua Paguyuban Pedagang Sunday Morning (PPSM).

Lantas 2013, UGM mengeluarkan surat pemberitahuan tentang pemberhentian Kerjasama antara pedagang dan UGM. Pemberitahuan itu juga menyiarkan bahwa Sunmor lagi-lagi akan direlokasi. Konsekuensinya, pedagang tidak lagi dipungut retribusi kebersihan dari UGM.

Pedagang pun dipindahkan ke Jalan Notonegoro. Setelah sebulan percobaan, pedagang merasa lokasi tersebut tidak strategis. Mereka pun ingin kembali berjualan di perempatan Sagan-Bunderan Psikologi.

Namun, UGM telah menghadang lokasi tersebut dengan portal. Para pedagang yang frustasi itu pun membongkar portal, menggergaji rantai yang menghadang akses mereka untuk berjualan di wilayah UGM. Kejadian bongkar pasang itu berlangsung selama enam bulan.

“Sampai ada ancaman UGM dipasangi CCTV. Ya, pedagang tidak takut karena memang untuk pemenuhan hajat hidup keluarga,” tegas Dessi.

Pemindahan lokasi Sunmor di Jalan Notonegoro betul-betul final pada tahun 2017 setelah adanya perjanjian kerjasama antara UGM dan PPSM.  Perjanjian tersebut berumur 4 tahun, dan berakhir per 1 Januari 2021. Namun, PKS saat ini belum diperbarui karena kendala Covid-19.

***

Yuni juga pedagang yang sama seperti Ricky. Sejak 2001, Yuni berjualan baju bersama ibunya. Namun, setelah ibunya meninggal, Yuni meneruskan berjualan baju di Sunmor. Di Sunmor, ia dapat menjual sekitar lima puluh potong baju dalam sehari. Sedangkan saat berjualan di hari biasa, ia hanya dapat menjual lima potong baju.

Seperti halnya Yuni, Velina juga menganggap Sunmor sebagai ladang pencaharian pokok.

“Kalau buat aku, itu (jualan di Sunmor-red) buat penghasilan pokok. Karena pendapatannya lebih jauh dibanding jualan sehari-hari. Pedagang ingin berjuang membuka lagi Sunmor UGM, ya, karena itu minimal bisa menambah lagi penghasilan,” jelasnya.

Velina memulai berdagang di Sunmor sejak 2004. Ia berjualan pakaian seperti daster dan kerajinan. Namun, berhenti pada tahun 2019. Musababnya, ia melahirkan dan harus mengurus anak bungsunya. Kendati demikian, kios miliknya tetap dijalankan oleh adik dan anak sulungnya.

Tutupnya Sunmor membuat Velina berusaha ekstra untuk mencari pendapatan. Ia bahkan mencoba memulai usaha baru: berjualan sayur. Sebab kios yang dijalankan anaknya tutup.

“Bertahannya aku, yo, banting stir. aku mencari penghasilan lain dengan berpindah haluan, aku sekarang jualan sayur online, ke bahan pokok,” jelas Velina.

Dulunya, sehari berjualan di Sunmor dapat menutupi kebutuhannya selama satu minggu. Omzet Velina di Sunmor bisa mencapai enam sampai delapan juta sehari. Sedangkan saat berjualan di hari Senin sampai Sabtu, hanya memperoleh kisaran Rp. 500.000,- sampai Rp. 1.000.000,-.

Kendati demikian, cerita pedagang di Sunmor bukan hanya tentang keuntungan. Velina juga bercerita biasanya orang-orang mulai siap-siap berjualan sejak malam Minggu. Bahkan, tidak sedikit pedagang yang bermalam di lapaknya di Notonegoro. Bagi mereka, mencari penghidupan di Sunmor layak diperjuangkan dengan cara apa pun.

“Seharusnya ada turun tangan dari pemerintah, bagaimana mendampingi pedagang untuk bisa berjualan tapi dengan batas-batas yang menghambat penyebaran covid,” jelas Ricky.

Hingga saat ini jumlah pedagang Sunmor mencapai 1020. Data itu didapatkan dari PPSM. Mereka datang dengan beragam latar belakang. 200 dari mereka adalah warga lokal yang berada di pinggir Sunmor, sementara 820 ialah pedagang dari berbagai tempat yang mencari peruntungan. Pemerintah tentu tak bisa mengabaikan pedagang-pedagang tersebut.

Reporter Atikah Nurul Ummah | Redaktur Sidratul Muntaha | Sumber Foto Kedaulatan Rakyat Jogja