Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menyematkan julukan The King of Lip Service atau raja pembual kepada Presiden Joko Widodo. Kritik yang disampaikan melalui postingan akun resmi media sosial @bemui_official (26/4) tersebut menuai respon pro kontra dan berbuntut pemanggilan BEM UI oleh pihak universitas.
Pihak kontra beranggapan kritik tersebut tidak etis, tidak sesuai dengan etika dan sopan santun yang ada di masyarakat. Meski demikian, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpendapat bahwa perlu dibedakan antara nilai etis yang dimaksud: berkaitan dengan etika atau hanya sebatas etiket.
“Karena sopan santun itu bisa sebatas etiket. Ada koruptor yang sangat baik dengan tetangganya, sangat sopan, menjalankan ibadah, suka bagi-bagi makanan ke seluruh desa tapi dengan uang hasil korupsinya,” jelas Asfinawati dalam diskusi virtual bertajuk Diskusi Kampus Merdeka: Kritis Kok Gak Boleh? Kamis (1/7).
Senada dengan Asfina, Akademisi UNAIR Herlambang Wiratrama berpendapat substansi pantas atau tidaknya kritik yang disampaikan bisa bersifat subjektif. Menurut Jokowi bisa saja kritik tersebut tidak pantas, tetapi menurut mahasiswa hal tersebut pantas untuk disuarakan. Diskursus terkait pantas atau tidaknya kritik bersifat sangat jamak karena bergantung pada konteks ruang, waktu, dan sebagainya. Menurutnya, Undang-Undang HAM Ratifikasi dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 19 dapat digunakan sebagai ukuran dalam standar kritik.
Pasalnya, mengatur cara orang untuk berpendapat atau berekspresi, menurut Asfina, adalah salah satu watak otoriter pemerintah. Karena pada dasarnya, hal tersebut dilakukan untuk membatasi setiap orang yang ingin menyampaikan pendapatnya sehingga orang tersebut tidak lagi bersuara.
“Toh, kritikan itu berdasarkan dengan data dan penyampaian kritikannya itu juga sesuai dengan alur yang jelas,” ungkap Wahyu Suryono Pratama, Koordinator BEM Seluruh Indonesia (BEM SI). Menurutnya, kritik dan tuntutan yang sering disuarakan oleh mahasiswa berdasarkan data dan memiliki alur penyampaian yang jelas. Mahasiswa tidak mungkin bergerak tanpa ada dasar yang jelas.
Terkait pemanggilan BEM UI, Asfina menjelaskan bahwa hal tersebut memperlihatkan watak pemerintah atau lembaga pendidikan yang terkait dengan pemerintah alergi terhadap kritik. Pengendalian mahasiswa dan kampus juga merupakan salah satu tanda identik dari pemerintahan otoritarian.
Herlambang menyetujui argumen itu. Ia mengatakan bahwa dunia kampus memang tidak pernah steril dari kekuasaan sebab ia berelasi dengan produksi pengetahuan dan pengetahuan merupakan simbol dan material yang penting untuk melegitimasi kekuasaan. Namun, di sisi lain kampus juga merupakan lembaga inklusif hingga seharusnya bisa menjaga integritas kebebasan akademik.
“Kita harus membela mahasiswa-mahasiswa,” kata Herlambang. Menurutnya, sikap kritis mahasiswa merupakan aset penting bagi dunia pendidikan tinggi. “Kita mulai dari apa yang paling mungkin adalah memperjuangkan ruang publik agar nalar kritis itu tetap terjaga,” pungkasnya.
Reporter Asy Syifa Salsabila | Redaktur Zaim Yunus | Sumber Gambar Yahoo Berita