Lpmarena.com – Keberadaan perempuan di industri media saat ini menjadi keresahan para dosen dan pegiat media untuk meneliti persepsi dan ketertarikan mahasiswi jurnalistik untuk menjadi jurnalis. Jurnalis masih dipandang sebagai profesi yang maskulin. Penelitian ini dilakukan oleh Remotivi bekerjasama dengan Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Diponegoro (Undip).
Nurul Hasfi, peneliti dan pengajar Jurnalistik Undip mengatakan ada dua faktor dominan yang menentukan mahasiswi jurnalistik dalam menentukan pilihan, yaitu efikasi dan ekspektasi diri. Para mahasiswi percaya bisa menjadi jurnalis tetapi tidak yakin dapat menduduki posisi tinggi di industri ini. Fakta ini berbeda dengan mahasiswa yang cenderung percaya diri dengan kemampuannya.
“Efikasi dan ekspektasi muncul karena dampak dari streotip yang terbentuk bahwa posisi kepemimpinan hanya untuk laki-laki dan perempuan tidak bisa mencapai posisi tinggi karena halangan domestik, seperti (dinilai) tidak rasional dan mementingkan perasaan,” ujar Nurul Hasfi saat peluncuran hasil riset sekaligus diskusi daring bertajuk Mengapa Ada Banyak Mahasiswi Jurnalistik tetapi Hanya Sedikit Jurnalis Perempuan? pada Sabtu (10/07).
Muhamad Heychael selaku peneliti Remotivi turut menyuarakan pendapatnya terkait hal ini. Menurutnya, awal keengganan mahasiswi menjadi jurnalis karena representasi perempuan di media sudah bermasalah. Sebut saja seperti kekerasan seksual dan objektifikasi perempuan.
Hal itu diperparah dengan bias gender yang ada, sehingga mahasiswi memiliki banyak pertimbangan untuk terjun di industri pers. Kalau pun menjadi jurnalis, perempuan seringkali ditugaskan dalam isu-isu ringan. Hanya 28,57 % dari total responden yang memiliki kesempatan dan kemauan meliput isu politik, hokum dan keamanan.
“Dalam media ambil kebijakan serius untuk menghapus kekerasan seksual juga hapus streotip yang tertanam,” sarannya.
Berdasarkan hasil survey terhadap 222 mahasiswa dan mahasiswi Universitas Diponegoro, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan Universitas Gadjah Mada, mayoritas mahasiswa Imu Komunikasi adalah perempuan, tetapi hanya 10% yang menjadi jurnalis di Indonesia.
Dalam diskusi ini, Evi Mariani, Pemimpin Readaksi Project Multatuli yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bidang Gender, Anak dan Marjinal, mengatakan bahwa disinilah peran kampus dan media sangat diperlukan untuk saling berupaya dalam mencetak jurnalis yang kompeten. Pihak kampus yang tak hanya sekedar memasukkan mahasiswa ke tempat magang tapi juga menargetkan apa yang ingin dicapai di tempat magang tersebut.
Sedang media pun memiliki peran utama untuk mengakomodasi keberagaman newsroom, baik secara gender, etnis, sosial-ekonomi, dan sebagainya. Semakin beragam, perspektif media akan semakin baik.
Jika dikaji pun keberagaman gender di industri media masih mengalami ketimpangan. Pers harus mengerti gender balance dengan memberi pengertian yang lebih untuk perempuan berperan di ruang redaksi.
Upaya lebih lanjut dari berbagai pihak sangat diperlukan agar terwujudnya kesempatan bagi jurnalis perempuan dengan lingkungan yang nyaman tanpa bayangan streotip yang berujung pada efikasi dan ekspektasi diri mahasiswi.
Reporter Afrahul Fadilah (magang) | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Sumber Foto Spotlight