Home CATATAN KAKI Kepada Seluruh Pengangguran di Dunia, Semoga Kita Semua Terselamatkan

Kepada Seluruh Pengangguran di Dunia, Semoga Kita Semua Terselamatkan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Bisma Aly Hakim*

“Tak ada yang lebih menjengkelkan dari menyandang gelar pengangguran,” begitu ucap teman saya sekali waktu saat kami mengobrol di depan balkon. Kalimat itu sangat melekat di benak saya dan membuat saya terus berpikir bahwa kehidupan tak lebih baik dari anak kucing yang terlindas ban truk hingga pipih layaknya sebuah dendeng Padang.

Pemuda itu, kita namai saja si Uban, lelaki berusia dua puluh tahun dengan rambut yang memutih lebih cepat dari usianya. 

Bagi muda-mudi seperti saya dan si Uban, gelar pengangguran seperti hantu di pohon pisang yang kerap bergentayangan menakuti anak kecil yang kencing sembarangan. Lebih horor lagi, gelar pengangguran bikin nama Anda tersangkut perbincangan ibu-ibu di lapak sayur keliling. 

Soal lapak sayur ini, si Uban pernah menceritakannya. Suatu malam tak terlalu dingin, si Uban datang ke rumah saya dan bercerita ihwal pertengkarannya dengan orang tuanya. Ia menjelaskan dengan begitu serius sampai gusi kuning yang biasa nongol ketika ketawa tak terlihat sedikit pun. 

Semuanya bermula ketika tukang sayur keliling mampir di depan gang tempat ibu-ibu biasa berkumpul.

Saat itu, ibu si Uban hendak membeli bahan untuk memasak cah kangkung dan tempe sebagai menu makan siang. Kebetulan, ibu-ibu di sana mengobrol soal pengangguran dari RT sebelah–yang nasibnya seperti anak burung terjatuh dari pohon setinggi delapan meter. Barang tentu, pengangguran itu merujuk pada si Uban. Ibu si Uban malu, tapi semuanya peduli setan dengan keberadaannya. 

Ibu si Uban tak bergegas memasak. Ia mendobrak kamar si Uban dan melemparkan belanjaannya tepat ke arah muka anaknya. Ia mengatai anaknya, “benalu”, “bajingan sialan”, dan mengucapkan kalimat penyesalan karena melahirkannya. Omelan semacam itu lumrah dilontarkan ke penganggur yang hidup di kawasan padat pabrik seperti kota kami, Bekasi. 

Begitulah gelar pengangguran bekerja, tak ada orang yang suka dengan itu. Namun, mau bagaimana lagi?

Saya ingat betul perjuangan si Uban mencari pekerjaan. Dulu setiap pagi, hampir empat kali dalam seminggu, ia minta tolong saya menemaninya mencari pekerjaan di kawasan ramai industri. Mengendarai motor, kami mendatangi satu per satu pabrik, menaruh map lamaran dan berharap si Uban diterima menjadi salah satu karyawan di sana. 

Di bawah sinar matahari Bekasi yang dapat mengeringkan ikan dalam waktu cepat, si Uban mengantre di antara kerumunan orang yang bernasib sama. Ubannya berkilauan dan seragam lengkap putih-hitam yang ia kenakan mempertegas nasib: seorang pengangguran yang butuh pekerjaan dan siap menerima kerja jenis apapun.

Si Uban rajin memantau akun-akun info lowongan pekerjaan di Facebook. Bahkan aplikasi WhatsApp-nya sering ngelag karena kebanyakan grup loker–berisi ratusan ribu orang yang punya hajat sama: memperoleh panggilan interview dari HRD. Namun, tetap saja, nasib berkata lain.

Saya beruntung belum pernah mengalaminya dan, semoga saja, tak merasakan hal serupa. Namun, jika lapangan pekerjaan semakin sulit, apa boleh buat, kemungkinan besar nama saya juga akan berakhir di lapak sayur keliling itu.

Di Bekasi pabrik-pabrik tumbuh subur. Kementerian Perindustrian RI mencatat ada sepuluh daerah kawasan industri dengan total luas mencapai 9.496 hektare di kota ini. Empat digit angka yang membuat Bekasi menyandang predikat kota industri terbesar di Asia Tenggara. Lantas, kenapa masalah pengangguran di kota ini belum diselesaikan?

Pengangguran telah menjadi identitas yang melekat dan mendarah daging di kalangan muda-mudi perkotaan. Sejauh ini, membangun berpuluh-puluh pabrik sekali tidak cukup ampuh menghilangkan gelar terbanyak yang disandang pemuda saat ini: pengangguran.  

Saya cemas dengan angka pengangguran yang kelawat wajar. Menurut Badan Pusat Statistik Jawa Barat, pada periode 2018-2020, angka pengangguran di kabupaten/kota Bekasi mecampai 11,54 persen. Artinya, dalam waktu dua tahun terjadi kenaikan 1,8 persen. Jadi, kesimpulan sederhana saya, pabrik-pabrik yang menjamur itu, yang diramalkan akan banyak menyerap banyak tenaga kerja, bukan solusi meneyelesaikan pengangguran.

Lantas, apa solusi yang tempat dalam menyelesaikan pengangguran? Dan, apa skenario terburuk jika kita hidup menganggur?  

Sutradara asal Amerika, James DeMonacom, menggambarkan situasi terburuk kota akibat tingginya angka pengangguran dan kemiskinan dalam filmThe Purge: Anarchy. Dalam film itu, pemerintah Amerika menciptkan program “Hari Pembersihan”. Sebuah program yang memperbolehkan setiap orang untuk membunuh satu sama lain tanpa didasarkan oleh hukum. Sementara hari itu berlangsung, kantor kepolisian, rumah sakit, atau tempat-tempat pemerintahan ditutup sementara.

Setiap orang boleh berpartisipasi dalam program itu. Mereka biasanya berkelompok dan mempersenjatai diri untuk membantai siapa saja yang mereka temui. Jebakan-jebakan mematikan tersebar di sudut-sudut kota. 

Di hari itu, orang-orang terpaksa menjadi pembunuh berdarah dingin. Jika kau bermental curut dan enggan membunuh, silakan mengumpat di kolong kasur atau di kamar mandi semalaman. Namun pada Hari Pembersihan semua itu sama saja, sebab bila nasib sedang tidak mujur, seseorang akan menemukanmu, kemudian memberondong peluru atau memutus lehermu dan mengarak kepalamu yang jelek keliling kota.  

Apakah hal itu mungkin terjadi di kota-kota di Indonesia? Mungkin saja. Bahkan, barangkali, setiap orang akan ikut serta, mengingat angka pengangguran yang kelawat wajar itu membuat kita makin frustrasi, marah, dan berada di ambang keputusasaan.

Mungkin dan hanya mungkin, kelak, si Uban akan merayakan dengan penuh gairah bila The Purge: Anarchy terjadi di kota ini. Ia akan memburu ibu-ibu di lapak sayur untuk balas dendam dan membayar setiap omongan yang keluar; ia akan menghabisi para HRD yang mengabaikan lamaran pekerjaannya. 

Dan sebagai bagian dari orang bermental curut, ketika hari itu tiba, mungkin saya akan mempersiapkan gembok tiga lapis, bersembunyi di balik lemari sembari berdoa, “Tuhan, selamatkan saya dari dunia yang terkutuk. Amiin.” 

*Penulis adalah mahasiswa Sosiologi Agama, bergiat di LPM Arena sebagai anggota Divisi Artistik