Home CATATAN KAKI Mimpi Muluk-Muluk: Membangun Rumah Tangga di Jogja

Mimpi Muluk-Muluk: Membangun Rumah Tangga di Jogja

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Muhammad Fadlan H. Daud*

Apa yang Anda pikirkan saat duduk dengan segelas kopi? Apa yang Anda bahas bersama teman-teman saat nongkrong? 

Kisah cinta? 

Teman yang menuju jalan hijrah? 

Atau tentang menikah usai lulus kuliah dan membangun rumah tangga yang romantis?

Mungkin obrolan asyik macam itu sering dibahas di tongkrongan, terutama di Yogyakarta, kota dengan tingkat kebahagiaan paling tinggi. Apalagi soal pernikahan, topik yang tak pernah menua.  

Malam semakin larut, obrolan semakin serius. Keinginan, kerisauan dan semua menyangkut hal di atas menjadi hidangan malam itu. Saat itu saya di warkop dengan seorang teman. Ia berasal dari Bekasi, kota padat industri yang masih menyisakan pengangguran. Kita panggil saja ia Bim 

Setelah jenuh tinggal di Bekasi, Bim ingin membangun kehidupan di Jogja, mendirikan rumah, sebagai persiapan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan kekasihnya. Tapi, keinginannya harus terbentur dengan harga tanah Jogja yang sangat mahal. 

Di Jogja, harga tanah per meter bervariasi, tergantung letaknya. Semakin jauh dari jalan raya dan pusat kota, harganya sedikit lebih murah. Kalau akses ke pusat kota lebih mudah, maka harganya juga fantastik. Misalnya, Sleman atau Bantul. Harganya bervariasi, ada delapan ratus ribu rupiah per meter persegi, satu juta, bahkan belasan hingga puluhan juta. Bila delapan ratus ribu rupiah dikalkulasi dengan luas tanah 135 m2, untuk sekadar membangun rumah minimalis, dengan tiga kamar di dalamnya, dapat dibayangkan betapa banyak uang yang harus ia keluarkan. 

Terpaksa Bim dihadapkan dengan dua pilihan. menikah terlebih dulu atau membeli tanah. Dengan standar upah Jogja yang sangat rendah, ia tentu harus memilih. Kecuali keberuntungan berada di pihaknya, mahar sang wanita diganti dengan sepasang sandal jepit, segelas air, atau hafalan surat Al Kahfi. Jika pilihannya memiliki rumah, kemungkinan ia akan ditikung oleh orang lain, entah siapa, bisa saja tetangga kekasihnya. Menikah dengan modal rumah kontrakan sebetulnya bukan pilihan yang buruk buat pasangan romantis seperti mereka. Itu lebih realistis, bila ia tidak mau kehilangan kekasihnya.

Untuk saat ini, agar dapat mewujudkan keinginannya, Bim harus menabung uang yang dikirim ibunya setiap bulan. Setiap biaya hidup bisa dipangkas, kecuali ongkos kencan. Itu sangat berbahaya. Bisa saja mereka putus dan sejam kemudian Bim akan mengunci pintu kamar dan menangis hingga tidak makan seharian. Syukur-syukur kekasihnya dapat memahami itu agar peristiwa tragis tak menimpa Bim. 

Atau kelak ia mendapatkan pekerjaan yang layak, tapi pekerjaan seperti apa yang dapat dikatakan layak? Usai lulus kuliah, ia masih harus menapaki jenjang karir sebagai fresh graduate dengan gaji yang mengenaskan. Maka dari itu, ia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan kenaikan gaji. Belum lagi, UMP Jogja adalah yang paling rendah seindonesia. 

Pada 2021 UMP Jogja memang mengalami kenaikan. Melalui Keputusan Gubernur Nomor 340/KEP/2020 tentang Upah Minimum Kota 2021, upah Kota Yogyakarta naik sebesar 3,27 persen, dari Rp. 2.004.000 menjadi Rp. 2.069.530. Kenaikan ini konon mempertimbangkan pandemi Covid 19, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 mengenai pemulihan ekonomi nasional.

Meskipun terjadi kenaikan, Yogyakarta masih tetap kukuh di posisi juru kunci klasemen liga perupahan di Indonesia. Perlu diantisipasi pula di kemudian hari, bila pandemi telah berlalu, standar upah akan mengalami penurunan kembali, dan Yogyakarta akan menyamai rekor sebelumnya.

Tak heran, Bim kerap berhimpun dengan mahasiswa, petani, dan kaum pekerja lainnya meneriakan “Cabut Omnibus Law!”, “Revolusi!”, atau apalah, yang membuat saya mengepalkan tangan lalu meneriakan “Tegakkan keadilan, merdeka, revolusi!” lalu sejam kemudian suara saya serak, diiringi rasa lapar yang akut, tapi tidak sampai maag. Kadang-kadang saya menyesal meneriakkan keadilan tapi adil terhadap diri sendiri.

Beruntung, saya yang berasal dari pelosok desa di Maluku Utara tidak perlu memikirkan harga tanah, Tanah dengan luas 135 m2 hanya dibanderol 15 juta. Itu masih lebih murah daripada mahar calon istri. Dengan kondisi itu, saya bisa fokus membangun rumah tangga yang bahagia, tanpa bayang-bayang mahalnya tanah.  

Kiranya, hidup di desa bersama gesekan bambu dan hembusan angin hingga membuat pohon-pohon seakan bernyanyi terasa lebih nyaman. Apalagi dengan secangkir kopi di sore hari, dan malamnya dihabiskan dengan bersenda gurau bersama sang kekasih. Sedangkan paginya, kami kembali beraktifitas seperti biasa..

Bila saya memutuskan hidup di Jogja, saya akan senasib dengan Bim. Semua serba salah: menjadi buruh dengan gaji yang rendah, memangkas jatah makan, apalagi jatah jajan bersama kekasih. Bayangan getir itu seolah beratraksi dalam kepala saya. Saya harus berpikir matang-matang untuk memilih hidup di Yogya.

Semua itu tak lantas membuat keinginan hidup di desa menjadi hakiki. Bisa saja, Jogja menjadi tempat berlabuh kehidupan kami. Sehingga ada yang harus dipersiapkan sejak dini agar sebagian umur tak dihabiskan sebagai buruh. 

“Lebih baik jadi pengusaha,” usul saya pada Bim.

“Betul sekali,” sahut Bim

Pada akhirnya, seiring malam semakin larut, kami menyimpulkan: menjadi pengusaha adalah pilihan terbaik yang bisa dilakukan di Jogja, apapun usaha yang dibangun. Pengusaha bakso, batagor, atau terang bulan, asalkan bukan ganja atau minuman keras. Sudah pasti, pilihan terakhir membuat Anda dikawinkan dengan jeruji besi penjara.

*Penulis adalah pemuda Bacan, Maluku, yang sedang menjalani studi di prodi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga

Sumber foto: Electronic Gaming Monthly