Rasisme terhadap orang Papua merupakan konstruksi sosial yang lahir dari perjalanan politik penjajahan.
Lpmarena – Mulai dari kisah sejarah negara kesultanan di bagian Timur Indonesia, Ternate dan Tidore, yang merampok dan menangkap orang Papua, sampai mengidentikkan nama Papua sebagai budak, menurut I Ngurah Suryawan, “Ini adalah basis dari fakta rasisme di Papua.” Antropolog itu menjelaskan perbudakan di Papua telah berlangsung lama dan berkelanjutan.
Menurut Suryawan, hasrat untuk merampas dan merampok kekayaan sumber daya alam menjadi akar utama rasisme di Papua. Akumulasi modal menciptakan jejaring kekuatan politik, birokrasi dan elit lokal untuk melindungi praktik eksploitasi. Selain itu, ia menganggap para Antropolog Indonesia cenderung mereproduksi pengetahuan secara diskriminatif.
“Secara keseluruhan, mereka, para Antropolog dan juga pemangku kebijakan mengkonstruksi rakyat Papua inferior dan Indonesia adalah superior, maka orang Papua harus tunduk dengan konstruksi itu,” jelas Suryawan.
Suryawan menjelaskan Indonesia memiliki keyakinan bahwa mereka lebih berbudaya, berpengetahuan dan bermoral atas orang Papua. Sejak tahun 60-an, Indonesia menampilkan diri sebagai penyelamat Papua dari jajahan Belanda.
Di masa Orde Baru, rasisme hadir dalam bentuk lain. Pembangunan guna memajukan masyarakat Papua menjadi dalih penguasa menghadirkan para pendatang. Namun, orang Papua malah kehilangan akses mereka terhadap tanah dan kalah bersaing dengan para imigran.
Dalam hal ini, Suryawan memandang rasisme muncul secara terstruktur dalam bingkai negara dan tercermin dalam bentuk kebijakan publik. Ia berpendapat, cara melawan rasisme itu sendiri ialah melawan rasa inferior yang dibangun oleh penjajah dan mengambil kendali kehidupan.
“Rasisme ada tidak secara biologi, dia adalah sebuah konstruksi sosial yang lahir dari perjalanan politik penjajahan,” ungkap I Ngurah.
Pembicara lain dalam diskusi bertajuk Akar Rasisme Dalam Pusaran Konflik Papua, Rosa Moiwend, Aktivis Perempuan West Papua menganggap sistem pendidikan Indonesia membentuk orang hanya menerima satu sudut pandang.
Hal tersebut, menurut Rosa, terlihat beberapa tahun terakhir, tindak rasis yang menimpa Obby Kogoya (2017) dan mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya (2019). Itu semua berasal dari kalangan terdidik, “yang sebenarnya bisa melihat keberagaman dan menerima perbedaan itu dengan baik,” ujar Rosa.
Menurut Rosa, secara umum, kita juga enggan mendalami peristiwa rasisme. Masyarakat dan negara memahami rasisme sebatas persoalan sentimen warna kulit hitam dan putih. Anggapan yang muncul ialah tidak ada rasisme di Indonesia, terlebih lagi terhadap orang Papua.
Reporter Fikri Labib | Redaktur Sidra Muntaha