Home BERITA Aksi Bancakan, Refleksi 9 tahun Keistimewaan Yogyakarta

Aksi Bancakan, Refleksi 9 tahun Keistimewaan Yogyakarta

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Siang itu, Selasa (31/08), paguyuban Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tergabung dalam Forum Warga Yogyakarta menggelar aksi bancakan memperingati sembilan tahun hari lahir Keistimewaan Yogyakarta. Dalam aksi tersebut, mereka mengenakan lurik pakaian khas Yogyakarta dan mengarak nasi urap yang dibungkus daun pisang mulai dari Alun-alun Utara sampai kawasan Pasar Beringharjo. Setelah menggelar prosesi doa bersama memohon keselamatan dan kesejahteraan di masa pandemi ini, mereka lantas membagikan nasi urap tersebut ke warga sekitar.

Aksi tersebut merupakan refleksi atas hampir satu dasawarsa pemberian gelar Keistimewaan Yogyakarta. Sebelumnya, pada 2012 istilah ”Keistimewaan Yogyakarta” lahir pasca disahkannya undang-undang (UU) Keistimewaan Yogyakarta nomor 13 tahun 2012 oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan adanya gelar keistimewaan tersebut, paguyuban PKL berharap dapat lebih diberdayakan secara ekonomi, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini.

“Seharusnya pemerintah mampu menggunakan UU Keistimewaan tersebut untuk mencegah pandemi tetapi juga menumbuhkan ekonomi. Belum lagi upah buruh dan pedagang yang terdampak pandemi. Lalu apa sumbangsih dari keistimewaan?” tegas Ade Irsyad, salah satu masa aksi.

Harapan tersebut hingga kini tidak disambut gayung oleh pemerintah DIY. Menurut catatan dari Jogja Corruption Watch (JCW), pemerintah justru lebih memfokuskan pada pembangunan infrastruktur seperti pagar yang mengelilingi Alun-Alun Utara ataupun pembangunan kamar mandi bawah tanah di depan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang berkisar total mencapai 8 Milyar.

Padahal, menurut warga dana keistimewaan atau yang kerap disebut “danais” tersebut seharusnya bisa digunakan sebagai bantuan sosial untuk masyarakat kecil yang terdampak pandemi, seperti PKL ataupun pekerja informal di Yogyakarta.

Danais salah satunya disalurkan ke koperasi yang selanjutnya dapat menjadi pinjaman lunak untuk para pedagang dan nantinya harus dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi proses pencarian pinjaman lunak tersebut cenderung susah diakses oleh para PKL. Pasalnya, tidak semua pedagang kaki lima terdaftar dalam anggota koperasi.

“Danais masuknya melalui koperasi, lha, PKL yang tidak masuk koperasi tidak tahu kalau ada pinjaman dana. Terlebih ekonomi yang serba susah di masa seperti ini, seharusnya kita dikasih jatah hidup, bukan suruh mengembalikan. Mau mengembalikan pakai apa kalo seperti ini?” keluh Sani, salah satu PKL Sunday Morning (Sunmor).

Sani dan para pedagang Sunmor lain memang tidak berjualan semenjak Sunmor tutup dan terpaksa mencari penghasilan lain. Tutupnya Sunmor dan berbagai pembatasan PKL akibat Covid-19 turut membuat kondisi ekonomi Sani dan PKL lain kelimpungan.

Hal itu yang mendasari ia dan para pedagang lain membuat aksi bancakan yang memilki dua filosofis. Pertama, aksi ini merupakan tradisi berbagi apabila ingin hidup selamat dan sejahtera. Sedangkan yang kedua, merupakan bentuk satire kepada pemerintah yang kurang maksimal dalam mengalokasikan dana keistimewaan untuk korban terdampak covid-19.

“Kami cuma mau memperuangkan teman-teman pedagang yang terampak PPKM level empat ini. Kita udah enggak bisa jualan lagi, dan harapannya pemerintah dapat melihat dan memperhatikan, walaupun dari pemerintah sendiri sudah terkesan tidak peduli,” pungkas Sani.

Reporter Atikah Nurul Ummah | Redaktur Nur Hidayah