Home BERITA Kisah Eks Tapol 65 yang Bertahan dan Tak Pulang dari Pulau Buru

Kisah Eks Tapol 65 yang Bertahan dan Tak Pulang dari Pulau Buru

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Kerut di wajah lelaki itu telah lama tampak. Rambutnya tipis dan memutih. Otot-otot di lengannya tak kekar lagi. Langkah kakinya mulai goyah dan lambat. Lelaki ini bukan pria muda seperti pertama kali ditangkap dan dibuang di Pulau Buru 51 tahun silam.

Lelaki itu, Ahmad Solikhin, 87 tahun, bekas tahanan politik di Tempat Pemanfaatan (Tefaat) Pulau Buru, yang kini menetap di Unit IV Savanajaya pasca-pembebasan terakhir pada 1979. Ia tak memilih pulang lantaran tahu hidupnya bakal terkucil di lingkungan masyarakat.

 “Agak pesimistis hidup di sana (Tasikmalaya), takut dikucilkan sama masyarakat,” kata Sholikhin, ketika ditemui di rumahnya, Savanajaya, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku, awal Agustus 2021. Ia juga tak yakin akan dapat pekerjaan layak di udik. “Daripada begitu, ya sudah, tinggal di sini.”

Kehidupan bekas anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Tasikmalaya itu ditopang dua hektare sawah dan ladang. Lahan pertanian diberikan kepada mereka yang bersedia tinggal. Beberapa masa hidupnya sempat dibantu dari hasil usahanya di bengkel sepeda.

Sholikhin ditangkap di Tasikmalaya, 10 Oktober 1965. Setelah lima bulan dikurung, ia dilepas. “Saat itu dibebaskan karena tidak ada sangkut paut dengan G-30-S,” kata dia. Tiga bulan selepas bebas, dia kembali ditangkap, kali ini bersama istrinya, Eti Rohmayati. Solikhin sempat dijebloskan di beberapa bui, sebelum akhirnya dilempar ke Nusakambangan, dan dibuang ke Pulau Buru pada 1970.

Sementara itu, Eti baru dibebaskan pada 1971. Setahun berikutnya, Eti, disebut Sholikhin sebagai guru pendidikan agama Islam di Tasikmalaya, menyusul ke Tefaat. Enam tahun lalu Eti wafat. Dari tiga putranya, hanya Hendra, anak bungsu, yang bekerja di Namlea dan sesekali menjenguknya. Di usia renta mendekati satu abad Sholikhin hidup seorang diri.

Setiap pagi dia mengayuh sepeda menuju rumah kenalannya untuk sarapan. Kolega itu tempat ia menumpang piring. “Kalau makan, ya, ada orang yang kasih,” kata Solikhin. “Orangnya baik, kalau saya kasih uang dia enggak mau ambil.”

Dipan di beranda rumahnya menjadi tempat bersantai sehabis sarapan. Di siang yang mendung itu, sekitar 200 meter suara tarhim melengking di Masjid Al Muhajirin. “Tunggu ya, saya salat dulu,” katanya pelan. Mengenakan kaus lengan pendek bermotif garis putih bercampur biru, celana hitam, Solikhin menghilang di balik pintu.

Selain Solikhin, Muhamad Suparjo, 81 tahun, juga tak memilih pulang ke tanah asalnya setelah bebas. Tanah kelahiran itu, Desa Kanoman, Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, semacam tempat asing setelah ditinggal bertahun-tahun. Sebelum ditangkap pada 1965, Suparjo adalah pegawai di salah satu kantor telegram di Jakarta.

Wong kalau balik ke Jawa sudah enggak punya apa-apa lagi,” ujar eks tapol Unit II Wanareja ini saat ditemui di rumahnya pada 7 Agustus lalu. Sore itu hujan rintik jatuh di Savanajaya. “Keluarga sudah nganggep saya gitu (wafat).”

Jalanan basah dan hitam. Savanajaya sekilas menampilkan raut puluhan tahun silam: kelam.

Suparjo sempat menguji nasib di Kota Ambon. Ia merawat kebun cengkeh milik bekas komandan unit di Tefaat. Merasa tak beruntung ia balik ke Savanajaya menggarap 3,5 hektare sawah. Saban pagi, Suparjo membantu istri mengemas dagangan pecel. “Ya, beginilah nasib orang kecil setiap hari,” ujarnya lirih.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menandai satu babak penting sejarah Indonesia yang brutal. Tragedi ini membekas. Ribuan orang diasingkan bertahun-tahun. Penangkapan mereka dimulai atas tuduhan terkait Partai Komunis Indonesia atau antek komunis. Mereka diciduk, ditawan.

 Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan, pembunuhan dan penangkapan secara paksa anggota PKI atau segala organisasi berbau komunis dilakukan ketika terbit Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966.

Kepres yang diteken Mayor Jenderal Soeharto, saat itu Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, bertujuan membubarkan dan menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Pada 5 Juli 1966—menanggapi keinginan Soeharto— Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan TAP MPRS No. XXV/1966.

Ketetapan tersebut merupakan larangan atas PKI dan ideologi Marxisme-Leninisme. “Serta membuat aturan hukum untuk proses penangkapan mereka,” tulis KontraS dalam laporan bertajuk Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian. Gerakan tumpas kelor dimulai pada September 1965—Maret 1966.

**

Remang jatuh di Savanajaya. Belasan bocah, orang dewasa, berkumpul di lapangan sepak bola. Separuh anak-anak asyik menggiring bola di atas rumput hijau. Di sisi timur berdiri bangunan kesenian, Gedung Graha Buana. Di sisi lain di Jalan Sedap Malam, rumah Harto Wiyono, eks tapol kelahiran Manahan, Solo, Jawa Tengah.

Unit IV yang dulu terpacak 10 barak dengan tiap barak dihuni 50 tapol seakan menawarkan ketenangan kepada Harto. Ia mengakui tak ada yang tersisa di tanah kelahirannya setelah kakek-nenek meninggal, ibu-bapak ditangkap, serta tiga saudara tercerai-berai.

“Enggak ada yang tersisa bagi saya di Pulau Jawa,” kata Harto, suaranya tertahan, batuk menyentak pria 75 tahun ini. Pulau Jawa serupa tempat tak bernama, tak ia kenal, juga menakutkan bagi Harto yang mencoba kembali memulai hidup di tanah potong pusar itu.

Kuatir dan tak mudik bersama rombongan setelah bebas pun dipengaruhi lebel “ET”—eks tahanan politik—yang menempel di kartu tanda penduduk. Menurutnya, lebel “ET” itu menjadi “kutukan” sekaligus penghalang untuk hidup normal, memperoleh pekerjaan layak di Jawa.

“… mereka tidak bisa masuk menjadi pegawai negeri, ABRI, atau pegawai perusahaan yang dinyatakan vital,” kata Kaskopkamtib Laksamana Sudomo, seperti dikutip Tempo, 24 Desember 1977.

Amurwani Dwi Lestariningsih, dalam buku Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, mengungkapkan hal serupa. Cap “ET” juga menjadi pembatas bagi anak dan keturunan keluarga terdekat tapol. “Bahkan mereka kehilangan hak dipilih ataupun memilih dalam pemilihan umum dan organisasi massa lainnya,” tulis Amurwani dalam bukunya.

Di ruang tamu dengan dinding berlatar biru, sebuah kasur tergelar, satu set kursi sofa cokelat, Harto duduk di bangku plastik. Masih terpacak di kepala eks tapol bernomor baju 2170 ini, ketika ia serta sejumlah siswa dijemput di sebuah sekolah menengah kejuruan di Manahan dengan truk tentara, November 1965.

Bekas anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) Solo, organisasi yang dituding  berafiliasi dengan PKI ini disekap empat tahun di penjara Karanganyar. Pada 2 Juli 1969, mereka digiring ke Nusakambangan. Akhir Desember 1969 ia dilempar sebagai tahanan dan menempati barak 9 di Unit I Wanapura pada 1970.

“Kita ditangkap 1965, sekarang 2021, 56 tahun meninggalkan Jawa,” tutur Harto.

***

Kapal Angkatan Darat Republik Indonesia XI—kapal bekas Perang dunia II—bertolak dari Pelabuhan Sodong, Cilacap, Jawa Tengah, membawa 850 tapol menempuh jarak 1.600 kilometer menuju Pulau Buru. Kapal itu berlayar menabrak lautan ganas selama delapan hari tujuh malam pada 1969.

Di atas laut biru, getar ombak menubruk badan kapal dan membuat motor laut itu bolong. “Hampir tenggelam di laut karena bocor,” ujar Suparjo, eks tapol Unit II Wanareja. Ketakutan reda ketika seorang awak kapal menarik satu karung beras menutup untuk lubang.

Satu karung beras berhasil menutup lubang itu dan membuat kapal berhasil memboyong ratusan tahanan hingga melego jangkar di pantai Namlea. Suparjo dan rombongan tiba di wilayah Tefaat, 11 November 1969, yang nantinya mencakup 21 unit. Angkatan pertama 1969 ditempatkan di Unit I, Unit II, dan Unit III.

IG Krisnadi dalam Sejarah Tahanan Politik di Pulau Buru, menuliskan bahwa area Tefaat adalah tanah milik Negeri Kayeli dan Negeri Leisiela. Dua kawasan di pedalaman Waeapo tersebut diserahkan ke pemerintah serta diubah menjadi area pertanian seluas 235 ribu hektare.

Savana liar di kawasan Tefaat seluas 2.350 kilometer persegi disulap 13.000 tapol sebagai lahan bercocok tanam. Jumlah tapol di pulau yang berjarak 60 kilometer dari Ambon itu disebut Amarzan Loebis, eks tapol Unit XVI Indrakarya, dalam catatannya, “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” di majalah Tempo, September 2005.

Sejak 1969 atau 52 tahun silam, Tefaat adalah hutan belukar, liar, gelap, dan angker. Separuh dari kamp tahanan ini dipagar dinding bukit. Tumbuh pohon kayu putih, meranti, sagu, kelapa, serta sabana setinggi dua meter, juga Sungai Way Apo yang menelan sejumlah tapol.

Enam bulan menjadi tempat pembuangan, ratusan hektare hutan di Pulau Buru dibabat. Pohon berukuran dua pelukan orang dewasa digergaji dengan peralatan seadanya. Di tangan tapol tempat yang semula angker ini disulap menjadi lumbung padi, tak hanya dinikmati di tanah Bupolo—sebutan Pulau Buru—juga di Maluku.

Enam bulan pertama menjadi masa sulit bagi tapol. Mereka diminta membuka lahan, membuat jalan, barak, rumah ibadah, saluran irigasi, sawah, ladang, serta area peternakan. Namun mereka hanya diberi makan siang 300 gram serta jatah malam 200 gram nasi campur bulgur.

“Di Amerika (bulgur) makanan ayam, di sini makanan orang,” ujar Senen, eks tapol asal Desa Sonde, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, yang ditempatkan di Unit XVII sejak 1971. Ia sempat mengirim surat ke istrinya, Lasinem, untuk tidak menyusulnya.

“Istriku, jangan menyusul di Pulau Buru, saya masih sibuk kerja. Makan masih susah,” tutur Senen, mengenang isi surat yang ditulis atas bantuan seorang tentara ini. Eks tahanan Unit IX, Saidin, juga mengakui pemberian jatah makan tidak sebanding dengan beban kerja.

“Sering banget dikasih ikan asin, rasanya tidak asin lagi,” ujar Saidin, 86 tahun. Kekurangan porsi makan di tanah pengasingan memaksa mereka menjadi pemakan segala. Setiap kali protein dibutuhkan tubuh, maka, babi, anjing, tikus, ular, rusa, hingga buaya disantap.

“Dulu namanya babi, Kristen maupun Islam tetap makan untuk menyambung hidup,” ujar Suparjo, mantan tahanan bernomor 937.“Ada yang makan Anjing.”

Tentara pun berburu babi. Hewan buruan dikasih ke tapol. Sebagai gantinya, Solikhin berujar, tapol harus memberi si serdadu 12 lembar papan. “Dan ternyata daging babi itu paling enak,” ucap Solikhin, eks anggota Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri), sambil tertawa.

Saat musim panen tiba, sawah dibabat. Tikus yang berkeliaran mencari suaka ditangkap, dijadikan lauk tambahan di piring tahanan. “Enak! Kalau enggak tahu ini tikus, pasti bilang rasanya seperti daging ayam,” ujar Suparjo. “Pokoknya sembarang saja soalnya kekurangan makanan.”

Lauk di piring tak diberi bumbu. Rasa pedas, asin, atau manis lenyap dari lidah. Untuk merasakan manis, Sukiman, eks tapol Unit I Wanapura, harus bertingkah seperti kupu-kupu yang menyesap manis dari kelopak bunga.

Pulau Buru, selama sepuluh tahun, 1969—1979, ketika Presiden Soeharto memerintah, menjadi bukti bisu kebrutalan pemerintah Orde Baru. Tefaat Buru alias Gulag Indonesia itu menjadi saksi kisah horor tentang kerja paksa, penganiayaan, pembunuhan, yang terbungkus dalam sabana.

Saban hari rodi di Tefaat dimulai jam 6 pagi. Diawali apel pukul 4 atau 5 subuh. Istirahat ketika waktu makan siang. Pekerjaan dihentikan pukul 5 sore. Kadang terdengar suara minta tolong, di samping para tahanan yang tengah terseok beban kerja dan orang-orang berlari ke arah datangnya suara.

Ditemukan badan tumbang tanpa kepala; punggung tertembus tombak. Kejahatan itu merupakan luapan kemarahan dari penduduk setempat. Dalam buku IG Krisnadi, sumber berang ini disebabkan pembukaan lahan di Tefaat.

Kegiatan tapol itu dianggap menggusur hutan, yang dari zaman baheula menjadi lumbung makanan penduduk. Alhasil, wilayah berburu pun kian sempit, dan menumbuhkan dendam, yang menurut IG Krisnadi, menewaskan Suharman, Wahyudin, dan Harjo—tapol Unit X Wanadharma.

Tak semua penduduk membenci kehadiran tapol. Adaptasi dua kelompok masyarakat itu lama-kelamaan terjalin. Suparjo, misalnya, diajarkan penduduk memilih pohon sagu layak produksi. “Kalau diketok terdengar nyaring, berarti isinya air. Tapi kalau padat, isinya banyak,” kata dia. Bahkan dia disuruh bersembunyi jika ada tentara beroperasi.

Kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa banyak datang dari tangan tentara. Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu menulis, dua rekan satu baraknya, Kayun dan Samtiar, terbunuh setelah disiksa Komandan Unit III Kapten Sudjoyoso Hadisiswoyo. Cerita tragis itu berlangsung saat Kayun dirawat di rumah sakit.

Rekan sebarak tengah menunggu Kayun dalam perawatan, tiba-tiba Sudjoyoso datang meminta mereka berlari mengitari lapangan apel. Hukuman itu membuat Kayun kelelahan, dan istirahat. Komandan mendatanginya sembari memukulnya dengan pentung. Pentung pun menyasar Samtiar. “Samtiar mati. Juga Kayun,” tulis Pramoedya.

Di Pulau Buru, tapol hampir tak memiliki kebebasan. Bogem atau lars tentara semacam jatah lain bagi tapol yang dianggap tak serius bekerja. Bahkan, Saidin menganggap tonjokan tentara menjadi lumrah di kamp Buru ini.

“Pas urus sawah, mengatur pematang, itu perlu diinjak-injak gini toh, malah dikira kerja main-main,” ujar Sukiman dengan senyum tersungging. “Lalu saat menabur bibit, mereka bilang, ‘Orang Jawa bodoh! Sudah ditanam malah dicabuti lagi.’ Nah, itu disuruh koprol sama push up oleh tentara.”

Sukiman, tapol yang ditangkap pada umur 15, sore itu memakai kemeja garis-garis cokelat, celana pendek putih, dan sebagian rambutnya dikuas warna merah. Sebab seringnya siksaan waktu itu, dia kerap menikmati hukuman sebagai guyonan. Bagi dia, itu cara bertahan hidup.

Bertahun-tahun dirundung siksa, kesulitan makanan, serta menjadi pemakan segala, mereka tetap bertahan. Begitu pula Saidin yang kini menetap di Desa Ohilahin, Kecamatan Lolong Guba. Dia bersyukur keangkeran di kamp itu berhasil dilewati. Dua tahun lalu dia mengoperasi penyakit saluran kemih di rumah sakit.

“Sampai sekarang saya masih hidup,” tutur Saidin, suaranya pelan, napas naik-turun. “Saya mengucapkan terima kasih kepada Allah.”

***

Kamp perbudakan sekilas berubah seusai pembebasan tapol. Sepanjang Savanajaya—Unit V Wanakarta sawah membentang luas di kanan-kiri jalan. Tempat ini belum dipadati rumah atau bangunan lain. Sepanjang itu dataran rendah diisi petak sawah  warga yang awalnya didatangkan sebagai transmigran.

Sebelum datangnya transmigran, sudah datang keluarga tapol di Tefaat pada 1972. Mereka ditempatkan di Savanajaya. IG Krisnadi mencatat, Juli 1972, pemerintah mengirim 652 keluarga tapol, yakni 164 istri, 485 anak, dan 3 ibu. Lima tahun berikutnya dikirim 109 keluarga tapol dari Jawa mendiami tujuh unit.

Kini luas Savanajaya 26 kilometer persegi. Terletak 15 kilometer dari Namlea, ibu kota Kabupaten Buru dan berjarak 20 km dari pusat kecamatan, tahun 2020 penduduk Savanajaya mencapai 1.329 jiwa atau 429 kepala keluarga menurut Badan Pusat Statistik.

Oktober 1980 tercatat 209 tapol yang menetap di Buru. Mereka yang disusul sanak famili dipindahkan dari barak ke rumah berukuran 6 x 6 meter persegi. Pada 1976 pembangunan rumah keluarga tapol mencapai 240 buah.

Lasinem, 70 tahun, misalnya. Ia menyusul suaminya, Senen, tanpa tahu letak pulau penjara itu. Awalnya, perempuan beruban ini didatangi kepala desanya di Sonde dan diminta menyusul suaminya. Biaya perjalanan pun gratis.

“Saya berangkat dari Surabaya, enggak tahu Pulau Buru ada di mana. Jalan saja sudah, naik mobil dan kapal enggak perlu mbayar,” tutur Lasinem, matanya berkaca-kaca. Pada 1980 Lasinem dan Sumiran, putranya, tiba di Pantai Sanleko.

Tidak semua bini tapol bernasib untung. Seperti dikisahkan Lasinem, tiga perempuan dari 80 istri tapol bertolak dari Surabaya menyusul lakinya di tempat pengasingan justru bernasib buntung. Setiap unit didatangi, masuk-keluar barak, tapi apa daya suami dicari tak kunjung dapat. Tiga perempuan itu akhirnya pulang dengan tangan kosong.

“Pokoknya tiga hari keliling unit enggak ada,” kata Lasinem. Sementara cerita yang didapat dari Senen, suami tiga perempuan itu ternyata sudah menikah. “Jadi tidak diakui suaminya.”

Adapun proyek pengiriman transmigran baru dimulai pada 1980—setahun setelah pembebasan tahanan secara menyeluruh. Buku Sejarah Tahanan Politik di Pulau Buru, mencatat jumlah transmigran pada 1997 mencapai 6.570 kepala keluarga.

“Waktu ke sini masih kecil. Tempat di sini rapi dan bersih,” ujar Sumarni, 52 tahun, istri Harto.

Sumarni datang bersama keluarga sebagai transmigran. Mereka mendiami Savanajaya, yang bersebelahan dengan Unit XIV Bantalareja. Ia bertemu Harto dan menikah—dalam program nikah massal pada 1997.

Sejak menghirup udara bebas yang dicengkeram bertahun-tahun di Tefaat Buru, banyak tahanan bujang menemukan jodoh di sini. Beberapa di antara mereka menikah dengan anak-anak eks tapol, yang sebelumnya rekan sebarak semasa ditawan. Usia mereka terkadang terpaut 20 tahun.

“Saya menikah dengan istri itu bedanya 20 tahun. Saat itu saya sudah berusia 40 tahun,” tutur Suparjo, yang mengaku korban salah tangkap usai prahara G-30-S. Kini mereka yang sempat mendekam dalam kamp tahanan itu tersisa 12 orang di Savanajaya. Separuh terbaring kaku di ranjang; sebagian masih mengais hidup di sawah dan ladang.

Tefaat belakangan diganti nama menjadi Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru (Inrehab) Buru. Semacam tempat “pemulihan diri”. Hersri Setiawan dalam Memoar Pulau Buru, menyebutnya purgatorio, semacam “tempat penyucian diri”.

Barak bertudung atap rumbia. Dinding adalah pelepah sagu, juga belahan kayu meranti atau kayu timo. Juga tiang-tiang barak. Lantai koi (ranjang) adalah anyaman belahan bambu. Tiap malam, angin mendesak dari celah dinding. Semua orang terlelap. “Kalau malam mau ngeloni, lihat foto istri,” kata Solikhin. “Itu saja!”

Ranjang sekilas mematahkan ingatan tentang sawah, ladang, kerja paksa, atau gelepar mayat.


Laporan ini rampung atas kolaborasi pers mahasiswa ARENA dan Lintas.  Ditulis oleh Aulia Iqlima Viutari dan Ihsan Reliubun dengan mengunjungi bekas kamp tahanan politik Pulau Buru, Maluku, awal Agustus 2021.

Reporter Aulia Iqlima Viutari | Redaktur Zaim Yunus