Lpmarena.com – Pengambilalihan sepihak tanah petani Urut Sewu oleh TNI Angkatan Darat (TNI-AD) membuat warga berang. Pasalnya, tanah bersertifikat serta turun-temurun yang digarapnya, tiba-tiba di patok tanpa sepengetahuan mereka.
Jamal Abdun Nashr, jurnalis Tempo dalam diskusi virtual bertajuk Klaim Tanah Oleh TNI dan Perjuangan Petani Urut Sewu pada Jum’at (15/10), menyampaikan sertifikat hak pakai TNI terhadap tanah di wilayah tersebut telah disahkan secara sepihak dan tidak sesuai regulasi yang berlaku. Salah satunya, sosialisasi yang tidak merata.
“Sosialisasi terhadap penggunaan tanah serta hasil pengukuran tidak merata karena mayoritas ada yang tidak tahu juga, tiba-tiba sertifikat hak pakai dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk TNI AD jadi aja,” ujar Jamal.
Dalam proses pensertifikatan, TNI AD mengklaim tanah warga di 15 desa wilayah Urut Sewu seluas 965 hektar, berdasarkan ‘peta minute’ peninggalan Belanda. Terhitung sejak Agustus-September 2021, Sembilan sertifikat tanah diterbitkan oleh BPN untuk TNI AD di wilayah Urut Sewu.
Padahal menurut penelusuran Jamal, petani disana mempunyai sertifikat tanah yang sah diakui negara. Namun tetap saja terjadi klaim sepihak yang merugikan petani. Selain itu, BPN juga banyak mengabaikan fakta lapangan, salah satunya mengklaim tanah yang sudah puluhan tahun dikuasai warga dengan sertifikat sah pula.
BPN berdalih tidak ada penolakan warga yang artinya warga tidak menguasai tanah tersebut. Padahal menurut Jamal tidak adanya penolakan tersebut, akibat dari adanya sosialisasi yang tidak merata. “Ya bagaimana warga mau menolak, lah sosialisasi saja tidak dilakukan, banyak kejanggalan di sana,” ungkap Jamal.
Senada dengan Jamal, Seniman, perwakilan masyarakat Urutsewu juga menyampaikan bahwa adanya pensertifikatan tanah tersebut dilakukan dengan tidak meperdulikan hak-hak warga dan bukti yang ada. “Hingga saat ini, proses sertifikasi tanah masyarakat Urut Sewu tetap dilakukan TNI dan BPN tanpa memperdulikan hak-hak warga dan bukti yang ada,” ungkapnya.
Di ruang virtual yang sama, Seniman juga menjelaskan serangkaian polemik pertanahan di wilayah pesisir tersebut. “Ini adalah polemik lama dan telah bertahun-tahun lamanya,” jelas Seniman.
Seniman menjelaskan rentetan kejadian yang terjadi, dimulai pada 1972 silam, tatkala TNI masih meminjam tanah untuk berlatih tempur. Lalu berlanjut hingga tahun 1982 pembangunan menara, penambangan pasir besi hingga kejadian represi yang menyebabkan petani ditembak, dianiaya, dan ditangkap pada 2011 lalu. Terakhir, pensertifikatan tanah oleh TNI-AD.
Pengamat politik dan militer, Made Tony Supriatna, juga menilai bahwa TNI dan BPN tidak bisa mengklaim dengan seenaknya tanah petani di Urut Sewu karena bisa berdampak buruk bagi iklim demokrasi. “Klaim sepihak di zaman demokrasi ini berbahaya, tidak bisa bertindak otoriter, sudah maju kita ini,” tegas Made.
Menurut Made, konflik ini syarat akan kepentingan ekonomi bukan sekedar konflik antara institusi militer dengan rakyat saja. TNI seharusnya bisa berkompromi dengan regulasi yang sudah ada. Dia juga menyayangkan sikap pengadilan yang tidak fair dan selalu memihak TNI, hingga masyarakat Urut Sewu enggan menempuh jalur hukum lagi.
“Jiwa TNI seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat, jangan sampai merugikan rakyat,” pungkasnya.
Reporter Azzam | Editor Atikah | Sumber Foto Tempo/Aris Andrianto