Home BERITA Cara Pesantren Joglo Alit Memberdayakan Masyarakat Desa Karangdukuh

Cara Pesantren Joglo Alit Memberdayakan Masyarakat Desa Karangdukuh

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Bagaimana kamu membayangkan hidup di tengah hiruk pikuk esin-mesin pabrik? Berangkat pagi pulang menjelang malam, terikat kontrak tak menentu, dan tak punya banyak waktu luang—yang tersisa hanya untuk tidur mengisi energi kembali guna bekerja esok hari. Demikian yang dirasakan Ardianto, lelaki yang menghabiskan 16 tahun hidupnya untuk menjadi buruh pabrik di Riau.  

“Haduh, kalo balik lagi ke masa itu, susah,” keluh Ardianto.

Lelaki asal Klaten itu merantau tahun 1994 silam sejak masih lajang hingga beranak tiga. Kehidupan yang ia jalani di Riau dirasa melahkan, ia mengaku pikirannya tidak tenang. Akhirnya, pada 2009, Ardianto memutuskan mengambil pensiun dini dan mengabdikan diri di desa menjadi peternak itik. “Capek, akhirnya saya memutuskan mengambil pensiun dini dan sekarang beternak,” jelasnya.

ARENA menemui Ardianto Minggu (30/9) siang, tatkala ia memberi makan itik peliharannnya. Ia memelihara sekitar 300 ekor itik, mulai dari anakan, itik siap panen, hingga itik petelur. “Satu ekor itik siap panen seperti ini, biasa dihargai tujuh puluh ribu rupiah,” papar Ardianto sambil menunjukkan kandang itiknya.

Ardianto memelihara itiknya di sebuah lahan desa yang dikelola bersama, yang disekat menjadi beberapa petak untuk dibagi dengan temannya. Di petaknya, ia menyekat lagi menjadi beberapa bagian persegi menggunakan bilah bambu, guna memisahkan jenis itik miliknya. Itik petelur, ia biarkan berkeliaran di tempat tersebut, sementara itik anakan dia masukkan ke dalam kandang kecil.

Ardianto memutuskan untuk menjadi peternak itik tepat setelah ia kembali dari perantauan. Bersama teman-temannya, ia beternak itik, dibantu Pesantren Joglo Alit sebagai penggerak mereka.

“Joglo Alit itu penggerak kita. Kalo tidak ada Joglo Alit, mungkin saya tidak beternak,” kisah Ardianto.

Joglo Alit merupakan sebuah pesantren di Desa Karangdukuh, Klaten, Jawa Tengah. Nama Joglo Alit berasal dari bahasa Jawa. Joglo artinya rumah, dan alit berarti kecil.

Pada awal didirikanya, pondok Joglo Alit diniatkan menjadi pondok tahfidz seperti pada umumnya. Namun, Muhammad Qowim, pendiri pondok tersebut, melihat kondisi ekonomi masyarakat yang bergantung pada produksi batu bata merah.

Sumber daya Desa Karangdukuh itu memang telah memberi penghidupan sejak lama, namun Qowim merasa warga perlu alternatif lain. Pengerukan tanah bisa memberi dampak buruk terhadap lingkungan. Karenanya, ia lantas mencari alternatif kegiatan ekonomi yang dapat dijalani warga secara berkelanjutan.

“Karena kalau tanahnya terus menerus dikeruk, nanti lama-lama habis, dan itu sudah terlihat dampaknya,” papar Qowim.

Qowim lantas memberdayakan masyarakat dengan membentuk kelompok ternak. Ada lima kelompok ternak yang diberdayakan di pondok pesantren ini, di antaranya kelompok ternak sapi (Kalimosodo), kelompok ternak burung (Walisongo), ternak kambing (Mekarsari), ternak itik (Konco Tani), kelompok ikan (Hamemayu), dan kelompok tani (KWT Dewi Lestari).

Kelompok-kelompok tersebut terbentuk dengan melibatkan warga sekitar dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Dari kelompok tersebut terbentuklah Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Wulang Reh pada 2015 silam.

Nama Wulang Reh diambil dari nama tembang mocopat yang biasa dinyanyikan orang jawa. Karena banyak menggunakan nama jawa, pesantren ini juga memiliki tujuan menjaga kebudayaan jawa masyarakat yang ada.

Selain di bidang peternakan, untuk menunjang modal, pesantren ini ini juga mengembangkan bank mikro. Dengan bank tersebut, warga mengumpulkan uang dari hasil jagalnya di hari raya Idul Adha. Uang tersebut lantas diputar kembali untuk digunakan sebagai jarring pengaman social masyarakat. Satu contoh penggunaannya, adalah membantu masyarakat yang membutuhkan pinjaman.

“Jadi uang hasil jagal dikumpulkan di bank mikro, dan hasilnya (dipakai-red) ketika ada warga yang membutuhkan,” jelas Qowim.

***

Sekitar 700 meter dari kendang itik Ardianto, terdapat tempat peternakan sapi. Berbeda dengan ternak itik tadi, peternakan sapi ini bernama Kalimosodo. Lokasinya berada di bagian belakang Pesantren Jogo Alit. Di tempat tersebut, sapi-sapi dipelihara oleh warga desa.

Salah satu yang turut memelihara sapi bernama Widodo. Ia memelihara sapi di kandang Kalimosodo sejak dirinya memutuskan mengakhiri pekerjaan sebagai sopir truk pengangkut tebu. Sebelum menjadi peternak, Widodo kerap berganti pekerjaan, mulai dari ikut dealer, menjadi tukang las, hingga mejadi sopir truk beberapa tahun ke belakangan.

“Saya biasanya berangkat nyopir pukul satu malem, lalu sampe rumah pukul enam pagi”, papar Widodo.

Saat memulai beternak sapi, ia tak langsung meninggalkan pekerjaannya. Pada mulanya beternak sapi menjadi pekerjaan sampingannya di samping pekerjaannya sebagai sopir. Namun, kini ia beternak sapi penuh waktu. Sehari-hari ia merawat sapi, memberinya makan, mengecek tubuh sapi agar tidak ditumbuhi kutu, mengecek kesehatannya agar dapat dijual di hari raya.

“Awalnya cuma satu sekarang sapi yang dipelihara tiga. Alhamdulillah,” jelas Ardianto.

***

Pesantren Joglo Alit sepintas tak terlihat seperti pesantren. Pagi sampai sore, santri-santri berlalu lalang membawa kitab, penampakan umum di pesantren, tak terlihat. Tetapi terdapat warga desa yang mengolah lele, ibu-ibu bertani, dan para peternak. Namun bukan berarti kegiatan mengaji tak ada sama sekali. Saat sore menjelang, beberapa anak-anak desa akan berdatangan untuk mengaji dan belajar tafsir dengan bahasa Inggris.

Visi utama Pesantren Joglo Alit, selain memberdayakan ekonomi warga, adalah membangun budaya literasi. Literasi, menurut Qowim, bukan hanya soal buku, baca dan menulis.  Literasi juga mencakup segala pengetahuan yang membantu masyarakat menghadapi persoalan-persoalan riil yang ada di depan.

Sebut saja, persoalan regenerasi. Beberapa keluarga petani dan peternak desa tak bisa melanjutkan usahanya di generasi selanjutnya. Salah satu sebabnya: mereka tak bangga anaknya menjadi petani. Menghadapi persoalan ini, Qowim pun merasa perlu mengenalkan anak-anak dengan dunia tani dan ternak. Di dekat lokasi peternakan, Qowim juga membikin perpustakaan yang dilengkapi wifi.

“Kita buat mereka proud menjadi peternak dan petani,” tegas Qowim.

Reporter Atikah Nurul Ummah, Aliefian Damarizky | Redaktur Sidra Muntaha | Fotografer Aliefian Damarizky