Home BERITA Setelah Sebulan Berjalan, Ini Tanggapan Dosen dan Mahasiswa soal PTM

Setelah Sebulan Berjalan, Ini Tanggapan Dosen dan Mahasiswa soal PTM

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.comPerkuliahan daring telah berjalan hampir dua tahun. Kegiatan belajar di kelas, terpaksa diadakan dalam jaringan. Namun pembelajaran model ini membawa permasalahan baru, seperti banyaknya biaya untuk kuota internet hingga kendala jaringan. Sehingga, ketika kasus Covid-19 mulai melandai, kampus mulai menginisiasi kegiatan perkuliahan secara normal di ruang kelas.

Perkuliahan Tatap Muka (PTM) di UIN Sunan Kalijaga telah diberlakukan sejak 11 Oktober lalu untuk mahasiswa angkatan 2020/2021 dan 2021/2022. Pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran Nomor 173 Tahun 2021. Surat yang ditandatangani rektor tersebut berisi ketentuan dan syarat pemberlakuan PTM untuk mahasiswa, dosen, maupun tenaga pendidik (tendik). Beberapa program studi pun mulai menerapkan kebijakan tersebut.

Salah satu prodi yang melaksanakan perkuliahan luring dan daring bersamaan (hybrid) adalah Manajemen Dakwah (MD) Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Muhammad Toriq Nurmadiansyah, selaku kepala prodi mengungkapkan alasan perlunya PTM diadakan. Ia mengaku prihatin dengan permasalahan kuliah daring. Selain diberatkan karena biaya kuota internet, perbedaan waktu di daerah tinggal tiap mahasiswa juga menjadi kendala tersendiri. Pun menurutnya keperluan yang dibutuhkan untuk PTM seperti alat cek suhu dan kamera di ruang kelas yang menunjang perkuliahan hybrid sudah dipersiapkan.

“Fakultas menyiapkan fasilitas untuk melakukan perkuliahan tatap muka,” papar Toriq.

Kenyataannya tak semua mata kuliah melaksanakan PTM. Alasannya beragam, semisal dosen maupun mahasiswa yang tak memenuhi persyaratan untuk melaksanakan PTM. Manajemen Pemasaran adalah salah satu mata kuliah di MD yang menjalankan kuliah tatap muka. 

Aris Risdiana, dosen pengampu mata kuliah tersebut menuturkan bahwa alasan ia memilih untuk mengajar secara luring berangkat dari kebutuhan mahasiswanya. Setelah dikeluarkannya edaran dari kampus, Aris lekas menanyai tanggapan mahasiswanya terkait mekanisme pembelajaran. Mereka sepakat kuliah tatap muka.

“Manajemen Pemasaran itu core keilmuannya berangkat dari apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Mahasiswa itu, kan, konsumen saya,” jelasnya.

Adalah Fitrotul Maulidiyah, mahasiswi yang kini mengikuti perkuliahan luring. Senada dengan pernyataan Aris, sebagai mahasiswa, ia mengaku butuh pengalaman pembelajaran tatap muka. Studinya telah mencapai semester ke tiga, tapi perkuliahannya terbatas layar dan belum pernah merasakan duduk di bangku kuliah.

“Pengen ngerasain aja, sih, jadi mahasiswa yang sebenernya,” katanya saat ditanyai ARENA terkait alasan mengikuti PTM, Kamis (28/10).

Mengetahui informasi tentang PTM, Fitrotul lantas mempersiapkan berkas persyaratan yang tertera dalam Surat Edaran. Ia mengaku semangat mengikuti kuliah luring sebab ketika kuliah daring sering terjadi kendala jaringan internet di tempatnya. Menurut mahasisiwi asal Gresik tersebut, perkuliahan secara luring lebih interaktif karena ia dapat bertanya kepada dosen secara langsung serta membangun relasi dengan teman-temannya.

Kendati demikian, persyaratan untuk mengikuti PTM menurut Aris terbilang cukup ribet. Ia menilai peraturan PTM terlalu kaku dan tanpa toleransi. Mau tak mau ia harus tetap memenuhi persyaratan untuk dapat mengajar PTM, meski dalam penerapannya poin-poin persyaratan itu tidak diperiksa kelengkapannya. Hal ini juga dialami oleh Fitrotul. Awalnya ia waswas karena tak mengunggah persyaratan-persyaratan yang sudah dipenuhi. Tapi ternyata, ia tetap dapat mengikuti PTM di kampus. 

Aris mengharapkan agar tingkat keketatan persyaratan PTM untuk diturunkan agar semakin banyak mahasiswa yang bisa mengikuti PTM. Bagaimanapun, banyak mahasiswa asal luar Jawa yang belum bisa mengikuti PTM karena terkendala persyaratan. Apalagi, menurut Aris banyak mahasiswanya dari luar Jawa yang mengaku cukup sulit untuk mendapatkan vaksin. 

Kendala Regulasi dalam Proses PTM

Setelah berjalan, beberapa civitas akademik kampus menyatakan regulasi PTM perlu ditilik kembali karena dianggap janggal. Dengan sistem pembelajaran campuran (hybrid) seperti saat ini, perkuliahan hanya boleh dilangsungkan selama satu jam.

Bagi dosen maupun bagi mahasiswa, waktu sejam untuk mata kuliah tiga SKS itu kurang. Waktu yang dibutuhkan untuk satu SKS itu adalah 50 menit. Dengan demikian, mata kuliah yang memiliki bobot tiga SKS idealnya dilakukan dalam waktu 150 menit. Lebih-lebih pada mata kuliah yang membutuhkan praktik lapangan. 

Aris selaku dosen pengajar mengaku, dengan model seperti ini penyampaian materinya terbatas. Ia hanya bisa menyampaikan lima slide materi. Ini membuat Aris lebih memilih menyampaikan sedikit isi materinya secara jelas walaupun tak banyak. Menurutnya, saat ini cara semacam itu lebih penting daripada ia harus mengejar capaian keseluruhan materi.

Keluhan juga disampaikan Niaz—bukan nama sebenarnya. Menurut mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam itu, pemotongan durasi membuat pembelajaran kurang efektif. Materi yang disampaikan kurang maksimal. Terutama untuk mata kuliah dengan bobot lebih dari dua SKS. Belum lagi kalau ada kendala-kendala lain yang memangkas jam perkuliahan. Seperti ketika pertama kali masuk, ia terlambat sekitar setengah jam karena itu pengalaman pertamanya masuk kampus. 

“Belum tahu gedungnya, jadi muter-muter dulu,” ungkap mahasiswa semester pertama itu.

Bahkan, kata Niaz, ada salah satu dosennya yang memutuskan untuk kembali melaksanakan kuliah jarak jauh setelah sempat mengadakan PTM. Alasannya pembelajaran 60 menit itu dinilai kurang efektif. 

Selain itu, regulasi lain yang menjadi sorotan adalah pemberlakuan PTM bersamaan dengan Perkuliahan Jarak Jauh (PJJ) dalam satu kelas. Menurut Niaz, regulasi ini menyusahkan mahasiswa yang ikut luring. Dalam kelas, dosen biasanya membagikan layar room meeting ke proyektor. Namun ketika diskusi berlangsung suaranya tak dapat terdengar. Lebih parah lagi jika dosen tak membawa pengeras suara. 

“Jadi meskipun di dalam kelas, kami terpaksa harus join Google Meet,” ungkapnya.

Salah satu dosen Ushuluddin, Muhammad Arif mengeluhkan hal serupa. Menurutnya, pemberlakuan hybrid learning ini cukup menyulitkan. Ini dikarenakan kelas hanya ditunjang dengan fasilitas seadanya. Sehingga meski sudah hadir di kelas, mahasiswa tetap mengikuti kelas daring melalui ponsel masing-masing. 

“Andai setiap ruang kelas sudah seperti studio mungkin enak,” kelakarnya.

Menurut Arif pembelajaran model ini cukup merepotkan dosen. Kelas menjadi tidak kondusif sebab fokusnya terpecah. Karena di saat yang bersamaan mereka harus melayani dua metode perkuliahan sekaligus. 

Dalam pembelajaran model ini juga rawan terjadi kesenjangan komunikasi antara mahasiswa luring dan mahasiswa daring. Hal ini juga diungkapkan Fahmi Idris, mahasiswa semester tiga jurusan Perbandingan Mazhab. Saat di kelas, kerap kali dosen tak dapat membagi secara adil penyampaian materinya. Mahasiswa luring pun cenderung lebih interaktif di kelas dari mahasiswa yang online.

Selain itu, selama proses belajar di kelas, mahasiswa dilarang bicara. Menurut Fahmi, mustahil meniadakan interaksi dalam proses pembelajaran. Diskusi selalu membutuhkan pembicaraan antar-mahasiswa. Pun dengan Niaz yang merasa pembelajarannya terganggu jika tidak diperbolehkan berbicara. 

Menanggapi keluhan durasi belajar, Iswandi Syahputra, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, mengatakan bahwa di situasi pandemi ini, tidak bisa mengukur sesuatu yang normal dengan sesuatu yang darurat. Ada aspek-aspek tambahan yang perlu dipertimbangkan dan itu sudah diatur dalam aturan pembelajaran. 

“Pembelajaran itu, kan, fleksibel. Enam puluh menit di kelas, sisanya ya bisa tugas atau studi mandiri,” ungkapnya saat diwawancarai ARENA pada Sabtu (23/10).

Kemudian terkait aturan larangan bicara, Iswandi mengatakan jika hal tersebut untuk mengantisipasi situasi yang tak terkendali atau loss control. Sehingga, pada praktiknya di kelas, kebijakan itu dikembalikan pada dosen. Kalau memang dibutuhkan pertanyaan atau diskusi, sebenarnya bisa dilakukan kalau dosen mengizinkan. Meski demikian, pernyataan itu belum ditulis lebih rinci dalam peraturan.

Pada 2 November lalu, keluar Surat Edaran Rektor terbaru Nomor B-3969 yang berisi perubahan pertama atas Surat Edaran Nomor 173. Ada beberapa poin yang direvisi, seperti syarat wajib vaksinasi bagi mahasiswa semester 5 kini diturunkan hanya sampai dosis pertama. Selain itu, mahasiswa yang bisa melaksanakan PTM juga bertambah dengan mahasiswa angkatan 2019/2020. Regulasi tentang larangan berbicara di dalam kelas pun sudah tidak ada. Namun, tak ada perubahan berarti terkait metode pembelajaran hybrid. Begitu pula durasi perkuliahan tetap 60 menit. 

Reporter Aji, Nabil, Ronal, Zamzama | Redaktur Dina Tri Wijayanti