Home BERITA Mahasiswa dan Buruh Melawan Upah Murah 2022

Mahasiswa dan Buruh Melawan Upah Murah 2022

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menggelar aksi Melawan Politik Upah Murah 2022 di Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Dalam aksi tersebut, aliansi buruh DIY bersama mahasiswa menuntut pemerintah untuk menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Dalam aksi ini, massa aksi melakukan aksi simbolik dengan boneka manekin yang digantuk dengan tali tambang. Aksi simbolik ini secara tersirat menyampaikan UU Ciptaker dan PP 36 tahun 2021 semakin membuat nasib buruh seperti digantung.

Irsyad Ade Irawan, perwakilan MPBI DIY mengatakan bahwa penetapan UMP dan UMK tidak membawa angin segar, khususnya bagi pemulihan ekonomi pekerja. Walau posisi upah minimum DIY mengalami kenaikan, yaitu peringkat 33 dari 34 provinsi, kondisi upah juga masih rendah.

Saat ini formula untuk menetapkan upah minimum mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Dalam PP ini, upah minimum tidak didasarkan pada kenaikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

“PP 36 tidak layak dipatuhi sebagai penetapan upah upah buruh karena telah mengurangi peran Dewan Pengupahan tingkat I, II, dan III, karena hanya berdasarkan pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan,” ungkap Ade.

Layaknya pertumbuhan rata-rata upah buruh yang semakin lambat, persentase kenaikan UMP sepanjang enam tahun enam tahun terakhir pun penurun. Setelah tahun 2016, kenaikan UMP di DIY tidak pernah menyentuh angka sepuluh persen lagi.

Sebelumnya, Sri Sultan HB X, Gubernur DIY telah mengumumkan UMP 2022 naik sebesar Rp.75.915,53 menjadi Rp.1.840.915, atau mengalami kenaikan 4,30 persen.  Sementara, berdasarkan Survei KHL pekerja/buruh DIY per Oktober 2021, besaran angka KHL DIY sebesar Rp.2.959.256.

“Dilihat dari upah yang ditetapkan untuk tahun 2022 dan memperhatikan kembali angka kebutuhan hidup layak pekerja di lima kabupaten di wilayah DIY, ini menunjukkan angka defisit pendapatan yang cukup besar. Kenaikan upah empat persen masih jauh dari harapan buruh,” ucap Ade.

Marga, salah satu buruh di Yogyakarta dalam orasinya menyampaikan bahwa kenyataannya UU Cipta Kerja tidak berpihak pada pekerja di Indonesia. Pemerintah menetapkan upah minimum tanpa melibatkan pekerja secara penuh.

Irsyad mengungkapkan, kenaikan upah yang tidak signifikan mendongkrak kesejahteraan buruh ini seharusnya dicarikan alternatif lain oleh pemerintah DIY. Terlebih DIY juga memiliki Dana Keistimewaan dan seharusnya memiliki formula khusus untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.

Reporter Aulia Iqlima | Redaktur Sidra