“Bila Anda berjalan di tengah kota seperti ini… di antaranya benar-benar tidak memiliki apa-apa kecuali pakaian lusuh yang membungkus badan mereka–ketika Anda menyaksikan bagaimana para penduduknya hidup dan dengan mudah mati, sulit mempercayai bahwa Anda sedang berjalan di antara manusia. Semua imperium kolonial sebenarnya dibangun di atas kenyataan itu,” tulis George Orwell.
Kedatangan bangsa Eropa ke penjuru dunia dengan semangat ekspansionis memang menimbulkan berbagai persoalan pelik. Selain berniat menduduki satu wilayah dan mendominasi segala aspek kehidupannya, mereka turut membawa kepentingan-kepentingan, dan mencoba membangun sebuah anggapan bahwa orang kulit putih lebih tinggi derajatnya dari pada orang kulit hitam atau cokelat ataupun kuning. Sehingga mereka dipaksa tunduk atas aturan-aturan yang orang kulit putih buat.
Pandangan ini tentu menjadi kritik tajamnya. Pengalaman dan kedalaman analisis saat masih tergabung dalam bagian imperium Inggris, membuatnya sadar betul akan ketidakadilan yang dialamatkan kepada para pribumi. Dalam salah satu esai berjudul Hukuman Gantung, misalnya, Orwell mengalami suatu fase di mana ia, sebagai salah satu sipir penjara di Burma, harus melihat rentetan peristiwa mengerikan. Ia melihat betapa mirisnya para pribumi dikurung di dalam sel-sel kecil dan menunggu gilirannya dieksekusi mati.
Salah satunya adalah seorang Hindu, yang berjalan perlahan namun pasti menuju tempat pengeksekusian. Mencoba tenang seolah merelakan nasibnya yang tak lama lagi akan lenyap. Setelah sampai di tiang gantung, tali diikat kebagian leher dan, pada bagian kepalanya, ditutupi karung agar menutupi ekspresi penderitaan.
Melihat kejadian itu Orwell merasa ada pergolakan dalam dirinya. Api perlawanan menyala. Bahwa mereka tidak memperhatikan hak manusia untuk hidup lebih lama dan dengan mudahnya memberikan hukuman mati.
“Ia dan kami adalah sekelompok orang yang berjalan bersama, yang melihat, mendengar, merasakan, dan mencoba memahami dunia yang sama; dalam waktu dua menit, dengan suatu kertak yang datang sekonyong-konyong, satu di antara kami akan pergi–hilang satu jiwa, hilang pula juga satu dunia.” (hlm.12)
Di tempat yang sama yakni Burma, ketika merangkap jabatan sebagai perwira polisi, ia semakin kuat menyatakan dirinya menolak segala bentuk diskriminasi kepada pribumi. Esai berjudul Menembak Seekor Gajah adalah titik Orwell mengalami benturan keras atas pemerintahan yang zalim itu. Penulis 1984 itu menceritakan masa lalu ketika ia masih belum menyadari tindakannya merupakan manifestasi imperialisme, dan baru menyadari ketika dirinya diharuskan membunuh seekor gajah atas dasar kehormatan.
Suatu hari di Burma (ini merupakan kenangan Orwell), seekor gajah sirkus nan jinak lepas dan memporak-porandakan salah satu desa di sana. Sebagai perwira polisi, ia diberi mandat untuk menangani amukan gajah yang sedang birahi itu–yang ditinggal oleh perawatnya ke luar kota. Orwell bergegas dengan menunggangi seekor kuda untuk memeriksa langsung yang sedang terjadi.
Sebelum atau saat berangkat, tak ada pikiran sedikit pun untuk membunuh gajah itu. Namun ketika mendapati seorang kuli meregang nyawa akibat diinjak, ia menyuruh bawahannya meminjam senjata laras panjang ke polisi lain, berjaga-jaga kalau gajah tersebut mengancam dirinya dan orang lain.
Tak berselang lama, bawahannya datang membawa senjata laras panjang beserta lima selongsong peluru. Orwell terkejut ketika masyarakat begitu antusias dan mengerumuninya. Mereka seperti menunggu atraksi seorang pesulap. Di situ Orwell menghadapi sebuah dilema: di satu sisi ia tak mau membunuh gajah dan, di sisi lain, jika tak membunuhnya, maka martabat orang kulit putih akan hancur dan ia akan ditertawakan oleh pribumi yang menontonninya. Maka ia memilih untuk menembak gajah hingga meregang nyawa.
Tentu Orwell terlambat menyadari, dan baru menyadari bahwa begitulah imperialisme memainkan perannya. Mereka mencoba mengimpresikan dirinya, si kulit putih, sebagai seorang yang memiliki kuasa atas bangsa lain. Sebab “…sudah menjadi syarat dalam kekuasaannya bahwa ia harus membuat para “pribumi” terkesan sepanjang hidupnya, sehingga di setiap masa genting ia harus melakukan apa yang para “pribumi ” harapkan darinya.” (hlm.26).
Padahal menurut Orwell, ketika orang kulit putih menjadi seorang yang berkuasa di tempat lain, sebenarnya kemerdekaannya sendirilah yang ia binasakan. Mereka tak ubahnya seperti sebuah boneka murahan tak berisi, dan meminta dengan paksa untuk diluhurkan. Bisa dikatakan esai Menembak Seekor Gajah menjadi suatu refleksi besar atau bentuk penyadaran atas praktik imperialismenya, dan kelak ia menentangnya habis-habisan.
Dalam buku Bagaimana Si Miskin Mati, kita dapat menemukan esai-esai tentang sanggahan besar Orwel dalam praktik imperialisme, perang, maupun pandangan politiknya, dan ia menggunakan segenap pengalaman sebagai seorang yang terjun langsung dalam imperium Inggris untuk menuliskan esainya. Kecermatannya dalam pendeskripsian tempat atau tokoh atau pribadinya sendiri membantu para pembaca agar mendalami maksud yang ingin disampaikan oleh Orwell.
Membaca beberapa esai dalam buku ini, membuat saya seperti dibawa ke mesin waktu untuk merenungkan kembali tragedi-tragedi di masa lampau yang dilakukan atas penaklukan suatu bangsa oleh bangsa lain. Bukan bermaksud membangkitkan rasa kebencian. Sebab, seolah sejarah terus mengalang dan melahirkan kecamuk tak ada akhir. Penderitaan orang Burma, tentunya, sama peliknya yang dialami orang Indonesia. Efek samping dari ekspansionis melahirkan persoalan kemiskinan; baik itu kemiskinan materi, berpikir, kebebasan yang, notabenenya, sengaja diciptakan untuk melanggengkan sebuah pemerintahan absolut.
Judul Bagaimana Si Miskin Mati | Penulis George Orwell | Penerbit Diva Press | Cetakan 2019 | Tebal 282 Halaman | Peresensi Bisma Aly Hakim