“Alam itu bagaikan tubuh manusia, ada air, batu, tanah. Tanah bagaikan daging, air bagaikan darah, batu bagaikan tulang. Tanpa itu semua manusia tidak bisa tumbuh, kalaupun bisa hidup tanpa salah satunya juga nggak sehat.”
Lpmarena.com-Demikian penjelasan anggota Wadon Wadas–komunitas perempuan Wadas–Mulyati (50) untuk menggambarkan simbiosis dan ikatan yang kuat antara warga Wadas dengan alam. Meski wajahnya tampak lelah, tetapi Mulyati menyempatkan berbincang dengan ARENA (28/04) sepulang dari menyadap karet di kebun.
Sudah 33 tahun Mulyati menikmati limpahan hasil bumi Wadas yang mempunyai luasan 4,37 kilometer kubik di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dalam sebulan, petani karet seperti dia, rata-rata dapat menyadap karet hingga 15 kali.
Gambaran kekayaan bumi Wadas juga terekam dalam video yang diproduksi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta berjudul Tanah Surga di Bumi Wadas, Purworejo yang diunggah dua tahun lalu. Di sana dijelaskan, komoditas perkebunan di Wadas dapat mencapai Rp8,5 miliar per tahun dan komoditas kayu keras mencapai Rp5,1 miliar per 5 (lima) tahun. Jumlah itu jauh lebih besar dari Upah Minimum Regional (UMR) di Purworejo yang hanya Rp1.905.400 per bulan. Berdasarkan Peraturan Daerah Purworejo Nomor 27 Tahun 2011-2031 tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah, bahwa wilayah Kecamatan Bener–termasuk Desa Wadas–ditetapkan sebagai kawasan perkebunan.
Berjuang Sekaligus Memanen
Namun keberlanjutan hasil bumi Wadas terancam usai Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah diterbitkan. Terlebih SK itu diperpanjang dengan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 539/29 Tahun 2020. Akibat aturan itu, Wadas akan menjadi salah satu desa terdampak karena ditambang kuari batu andesitnya untuk pembangunan Bendungan Bener.
Sejak itulah, aktivitas Mulyati pun bertambah. Dari menyadap karet dan mengurus kebun sehari-hari, juga membagi waktu untuk berjuang menolak penambangan kuari batuan andesit di desanya bersama Wadon Wadas. Warga tak lagi bisa memanen tanaman-tanaman tahunan seperti kelapa, cengkeh, petai, durian, kemukus, vanili, apabila lahan desanya ditambang.
“Semua akan hilang kalau batuannya diambil. Tanahnya nanti gersang, gak bisa ditanami lagi,” ujar Mulyati.
Begitu pula dengan Kiptiyah (60). Usai memulai hari dengan kegiatan memasak untuk suaminya, dia pergi ke alas untuk mengambil kayu dan umbi-umbian. Sekitar pukul 11 siang, Kiptiyah berangkat ke pos jaga sambil membawa beberapa bilah bambu untuk membuat besek. Pos-pos jaga itu didirikan warga sejak Februari 2021 untuk mengantisipasi masuknya orang-orang yang diam-diam datang mengukur dan mematok lahan untuk pertambangan. Dan sejak Juni 2021, Wadon Wadas memindahkan aktivitas membuat besek dari rumah ke posko sembari ikut berjaga.
Bagi petani seperti Mulyati dan Kiptiyah, aktivitasnya yang kian bertambah karena menyadari penambangan akan membawa dampak buruk bagi pekerjaannya. Mengingat para petani menjadikan tanah Wadas sebagai tumpuan hidup sehari-hari, untuk diwariskan kepada anak-cucu.
“Tuhan sudah memberi semuanya lewat alam. Kalau ditambang, kami mau kasih apa ke anak-cucu?” kata Kiptiyah, (16/11).
Di pos penjagaan, Kiptiyah bertemu dengan perempuan-perempuan Wadas lainnya. Mereka membuat iratan atau bilah bambu tipis, kemudian dianyam menjadi besek. Besek adalah wadah sekaligus tutup berbentuk segi empat untuk menaruh makanan. Dalam acara hajatan di desa-desa, biasanya para tamu pulang diberi bekal makanan dalam besek oleh pemilik hajatan.
Kiptiyah belajar membuat besek sejak umur 17 tahun. Walau kini wajahnya sudah berkerut-kerut, namun tangannya tetap lincah membuat iratan tipis dan menganyamnya menjadi besek. Dalam sehari, Kiptiyah dapat membuat 10-15 pasang besek. Setelah terkumpul 50 pasang, barulah dijual dengan harga Rp75.000.
“Walau hasilnya gak seberapa, itung-itung ngisi waktu luang sambil menjaga desa kami,” ujar Kiptiyah sambil membelah bilah bambu menjadi setipis mungkin.
Terancam Kehilangan Sumber Air
Desa Wadas yang tentram, subur dan damai, kini tercancam dikeruk habis karena dijadikan lokasi tambang untuk pembangunan bendungan Bener. Warga berharap Wadas tidak dijadikan tempat pertambangan karena mayoritas mata pencarian ialah petani. Dampak terbesar yang ditakutkan warga ialah sumber-sumber air akan mati.
“Kalau sampai Wadas jadi penambangan, kami gak bisa bayangin gimana cari air bersih. Kami mau menanam gimana? Pasti tanah jadi rusak semua, kan? Bakal tandus,” keluh Yati (50), (15/03).
Terdapat 28 titik sumber mata air di lahan Wadas seluas 145 hektare itu. Untuk mengalirkan air, warga menggunakan pipa yang kemudian disambung memakai selang rol hingga ke rumah-rumah. Mata air menjadi sumber utama untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti menanam sayur dan ibu-ibu yang melakukan kegiatan domestik.
Yati menjelaskan dengan gamblang betapa pentingnya air dalam kegiatan domestik perempuan sehari-hari. Mulai untuk membuat makan, minum, memandikan anak. Semua kegiatan rumah tangga membutuhkan air.
“Yen ditambang ora iso ibadah,” imbuh Yati.
Di sisi lain, secara topografis, Wadas terletak di Perbukitan Menoreh yang merupakan daerah rawan longsor. Hal ini juga ditetapkan dalam Pasal 42 huruf c Peraturan Daerah (Perda) Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031, bahwa Desa Wadas di Kecamatan Bener merupakan kawasan rawan bencana tanah longsor.
Kerawanan bencana ini secara tidak langsung mengembangan pengetahuan mitigasi berbasis lokal di Wadas. Pengetahuan lokal warga dibuktikan dengan rimbunnya pepohonan bambu dan kayu keras, seperti jati dan mahoni di alas maupun di sekitar rumah warga. Dampaknya, usai bencana longsor besar pada 1988, Wadas tidak pernah mengalami kejadian serupa dalam tempo tiga dekade terakhir.
“Kalau Wadas hancur kami gak bisa berinteraksi dengan Ibu Bumi (bumi di Wadas beserta isinya). Gak bisa bikin besek, nyadap karet, bikin gula aren. Apalagi pohon bambu sama kayu keras itu buat menahan tanah dari longsor. Wadas masuk daerah rawan longsor, kan?” ungkap Sriyana saat ditemui di salah satu pos Randu Parang, (17/11).
Ungkapan Sriyana diperkuat oleh pakar bambu, Elizabeth A Widjaja. Bahwa bambu berguna untuk menahan erosi tanah, daunnya dapat menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan banyak oksigen.
“Jika terjadi penambangan, otomatis pohon-pohon dibabat habis. Itu bisa mengakibatkan longsor besar karena pertambangan memunculkan getaran tanah,” kata Elizabeth saat diwawancarai via telepon oleh ARENA, (19/11).
Pertambangan kuari batuan andesit juga bertolak belakang dengan Pasal 61 ayat 2 huruf c Perda RTRW 2011-2031 Purworejo. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Wadas tidak termasuk sebagai desa yang memiliki batuan Andesit. Daerah yang memiliki batuan Andesit meliputi wilayah Kecamatan Bruno, Pituruh, Bagelan, Loano, dan Kaligesing.
“Wadas dipilih sebagai lokasi pertambangan karena pemerintah mempertimbangkan jarak dan akses yang lebih mudah,” kata Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Yogyakarta, Raudatul Jannah. Sementara jarak Wadas ke Bendungan Bener sekitar 10 kilometer.
Terancam Dampak Berlapis
Konflik agraria pada dasarnya berdampak pada siapapun. Namun mempunyai dampak yang berbeda bagi perempuan, anak, difabel, dan lansia. Mengingat dalam konstruksi sosial, posisi dan peran perempuan sebatas ranah domestik. Perempuan jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan sering tidak mengetahui proses-proses pengambilan keputusan terkait hak atas tanah atau hak atas ruang dan sumber hidup lainnya.
“Peran dan posisi perempuan masih timpang dalam masyarakat,” kata Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Kinasih Sana Ullaili dalam wawancara melalui Whatsapp, pada (09/12).
Dampak krusial dari pengabaian keterlibatan perempuan adalah banyak perempuan kehilangan sumber dan ruang hidup. Juga kehilangan ruang ekspresi, budaya, dan politik yang melekat pada tanah dan air. Padahal selama ini, perempuan merawat sumber dan ruang hidupnya dengan cara-cara lestari sesuai dengan siklus alam dan kebutuhan hidupnya. Jika alam terus lestari, maka kebutuhan khusus dan dasar perempuan berupa air tepenuhi. Begitu juga kebutuhan pangan keluarga terpenuhi dengan cukup tanpa harus membeli.
“Pada konflik agraria di Wadas, perempuan terancam mengalami dampak berlapis,” imbuh Sana.
Mengingat latar belakang perempuan Wadas umumnya adalah petani, pengelola pangan, pengrajin bambu yang semuanya diambil dari alam sekitarnya. Semua itu adalah ruang hidup, sumber hidup, ruang politik, ruang budaya, ruang publik perempuan Wadas.
Pertambangan akan menyebabkan tanah yang menjadi tumpuannya hancur. Kebutuhan akan air bersih dan pangan yang sehat pun tidak terpenuhi dengan mudah, karena harus membeli air dan pangan. Pengeluaran perempuan Wadas pun akan berlipat. Ancaman akan beban ganda pun sangat mungkin terjadi.
“Bagi perempuan buruh petani atau gurem akan mengalami kemiskinan struktural. Ancaman migrasi bisa menjadi kenyataan karena ruang dan sumber hidup hancur,” papar Sana. ***
Reporter Aulia Iqlima Viutari | Redaktur Nur Hidayah | Foto Aulia Iqlima Viutari (LPM Arena), Nur Ainun (LPM Suaka)
*Peliputan ini merupakan bagian dari program “Building Citizen Awareness on the Growing Agrarian Conflict in Yogyakarta and Its Adjacent Region” yang diselenggarakan oleh konsorsium bersama yakni AJI Yogyakarta, LBH Yogyakarta, dan Wahana Lingkungan Hidup