Lpmarena.com – Puncak pemilwa sudah hampir tiba. Serangkaian proses mulai dari perekrutan Panitia Pemilihan Umum Mahasiswa (PPUM) hingga penetapan calon presiden pun sudah dilalui. Namun, ARENA menemukan kejanggalan dalam Undang-Undang Pemilwa yang beredar, baik itu UU Tahun 2019 maupun 2020. Produk hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif mahasiswa itu tak memiliki acuan dalam pembentukannya.
Hal tersebut diafirmasi oleh Padri Irwandri, Wakil Ketua Komunitas Pemerati Konstitusi (KPK) 2020. Ia menyebut, pembuatan undang-undang mestinya memiliki acuan. “Undang-undang negara Indonesia, misalnya, mesti mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011,” jelas Padri.
Adapun, UU yang dimaksud memuat tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Artinya, setiap pembentukan undang-undang negara mesti memenuhi asas, peraturan, dan proses-proses yang termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Namun, tidak halnya dengan UU Pemilwa. UU yang dibuat dan direvisi hampir tiap tahun itu tak memiliki acuan dalam pembuatan, pengesahan, hingga pemberlakuannya.
Tanpa acuan, undang-undang disinyalir dapat dibuat secara manasuka. Lebih jauh, tanpa acuan berarti tak ada yang mengatur apakah undang-undang tersebut sudah berlaku atau tidak.
Mengenai ketiadaan acuan itu, ARENA lantas mengonfirmasi ke Ketua Senat Mahasiswa Universitas, Abdul Azisurrohman. Pria yang kerap disapa Azis itu mengakui dalam pembentukan undang-undang di UIN, memang tak ada acuan yang jelas.
“Acuannya hanya kebiasaan. Dalam teori ilmu hukum ‘kan juga jelas kalau sumber hukum itu salah satunya kebiasaan,” pendek Azis ketika ditemui Selasa (14/12) lalu.
Pernyataan itu disanggah Padri. Menurut Padri Sema yang sudah terlembagakan dan memiliki produk hukum mestinya memiliki acuan. “Jika hanya dari kebiasaan, ya semua orang bisa membuat UU,” seloroh Padri.
UU Pemilwa tahun 2019 dan 2020 yang beredar juga tak menyebutkan asas dari pemilwa di UIN Sunan Kalijaga. UU Pemilwa, menurut keterangan Azis, hanya didasarkan pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 4961 Tahun 2016.
Padahal, SK tersebut hanya membagi dan mengatur tupoksi Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa. Seyogyanya, Dema dan Sema mampu mengatur dan membuat acuan dasar tanpa harus terpaku dengan SK Dirjen tersebut. Sebab SK Dirjen tersebut hanyalah dasar hukum rujukan bukan prosedur pembentukan (legal standing).
ARENA juga menanyakan adakah Sema U memiliki sebentuk program legislasi nasional yang hendak digarap dalam satu tahun belakangan. Ia menyebut tidak ada.
“Secara peraturan kita (UIN Sunan Kalijaga) memang masih kurang baik” tutur Aziz di penghujung percakapan dengan Arena.
Hilangnya Naskah Akademik
Meski kurang tepat, Azis sempat menyebut bahwa naskah akademik adalah salah satu acuan dalam pembentukan UU Pemilwa, Namun, saat ARENA bertanya di mana naskah akademik tersebut bisa diakses, Azis menjawab, “Hilang.”
Naskah akademik UU Pemilwa yang dikeluarkan Senat Mahasiswa, menurut keterangan Azis, terakhir dibuat 2005. Azis pun berpendapat UU Pemilwa yang terbit setiap tahun pun sifatnya hanya mengubah pasal-pasal yang sudah tak relevan di tahun sebelumnya. “Bukan undang-undang baru, tapi cuma pengubahan, jadi nggak butuh naskah akademik baru,” terang Azis.
Padahal, naskah akademik baru semestinya dibuat sebab konteks yuridis, filosofis dan sosiologis yang melingkupi pemilwa tiap tahun pasti berbeda. Mengenai hal ini, Padri berkata “Mudahnya, lah 2019 yang offline dengan 2020 yang online saja sudah beda apalagi sangat jauh dengan 2005.”
Reporter Azzam | Redaktur Sidra Muntaha