Home CATATAN KAKI Bantahan terhadap LPM Arena dalam Menilai UU Pemilwa

Bantahan terhadap LPM Arena dalam Menilai UU Pemilwa

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Abdul Azisurrohman*

Baru-baru ini, civitas akademika UIN SUKA cukup geger terkait postingan LPM ARENA yang berjudul Sisi Janggal UU Pemilwa: Tak Ada Acuan Pembentukan dan Naskah Akademik. Pasalnya, di postingan tersebut banyak hal carut-marut yang membuat publik, terlebih mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, merasa bingung, bahkan semakin skeptis terhadap undang-undang pemilwa yang kini sudah ditetapkan dan disepakati.

Seakan menggiring opini bahwa undang-undang tersebut disinyalir dan dibuat secara manasuka oleh senat mahasiswa (SEMA) tanpa pertimbangan dan pengkajian yang mendalam, mereka mempermasalahkan UU Pemilwa yang dianggap tidak sesuai prosedur, tidak ada acuan naskah akademiknya.

Ach. Nurul Luthfi selaku Pimpinan Umum LPM ARENA ketika mewawancarai saya via WhatsAppmengatakan bahwa ketika membentuk undang-undang harus ada naskah akademiknya. “Naskah akademik seharusnya ada setiap UU dibentuk dan direvisi Pak, Kalau nggak ada berarti nggak sah UU-nya”.

Senada dengan itu, Padri Irwandi selaku Wakil Ketua Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) 2020 menegaskan bahwa pembuatan undang-undang harus mengacu pada undang-undang yang tertulis. “Undang-undang negara Indonesia, misalnya, mesti mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011,” Kata Padri.

Adapun, UU yang dimaksud memuat tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Artinya, setiap pembentukan undang-undang negara mesti memenuhi asas, peraturan, dan proses-proses yang termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

Dalam konteks ini tentu dapat diajukan pertanyaan balik; apakah UU Pemilwa berkualifikasi sebagai UU sehingga harus mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2012? Tentu tidak!

Apa yang dinyatakan Padri Irwandri soal pembentukan UU harus mengacu kepada UU No. 12 Tahun 2011 tentu benar adanya jika hal itu dimaksudkan terhadap UU dalam konteks hukum nasional.

Tapi hal itu tentu mengandung konsekuensi logis, yaitu adanya upaya hukum judicial review terhadap UU yang dinilainya cacat secara formil maupun materil. Lalu kemana ia harus mengujikan UU Pemilwa yang dianggapnya tidak sah lantaran tidak memiliki naskah akademik?

Saya sendiri berpendapat UU Pemilwa di tingkat kampus bukanlah merupakan UU, sekalipun menggunakan nomenklatur UU. Karena itu tidak ada keharusan untuk mengikuti mekanisme pembentukan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 tahun 2011 yang harus menyertakan naskah akademik dalam proses pembentukannya.

UU pemilwa merupakan aturan yang berlaku di tingkat pemerintah mahasiswa di internal kampus masing-masing. Sehingga, wajib-tidaknya adanya naskah akademik dalam pembentukan aturan harus dilihat pada sistem hukum yang berlaku dalam pemerintahan mahasiswa itu sendiri.

Permasalahannya, tidak ada aturan baku yang mengatur tentang mekanisme pembentukan UU di tingkat kampus. Hal ini juga dipahami sendiri oleh Padri Irwandri dalam berita LPM ARENA (17/12).

“Namun, tidak halnya dengan UU Pemilwa. UU yang dibuat dan direvisi hampir tiap tahun itu tak memiliki acuan dalam pembuatan, pengesahan, hingga pemberlakuannya,” tulis Arena.

Lantas bagaimana bisa muncul penilaian bahwa UU Pemilwa yang sudah diberlakukan sedari dulu itu nyatakan tidak sah oleh mereka? Apa dasarnya? Bagaimana pula SEMA U atau DEMA U terdahulu, yang mereka juga dipilih menggunakan undang-undang pemilwa yang sama?

Adapun soal belum adanya aturan baku tentang mekanisme pembentukan aturan di tingkat kampus. Tentu hal itu adalah sebuah kekurangan yang harus diakui bersama. Namun begitu, hal itu tidak lantas berarti bahwa pembentukan UU Pemilwa dilakukan dengan suka-suka.

Pembentukan UU di tingkat kampus dapat mengacu pada “kebiasaan” yang memang sudah menjadi praktek-praktek umum dalam membuat aturan sebelum-sebelumnya. Dalam hal ini, saya berpendapat bahwa praktek pembentukan UU di tingkat kampus telah menjadi konvensi ketatanegaraan karena telah memenuhi tiga prasyarat.

Pertama, harus ada preseden yang timbul berkali-kali. Kedua, preseden yang timbul karena adanya sebab secara umum dapat dimengerti atau dapat diterima. Ketiga, preseden tersebut karena kondisi politik yang ada.

Mengutip perkataan Donald A. Rumokoy, bahwa konvensi ketatanegaraan adalah segenap kebiasaan atau tindakan ketatanegaraan yang bersifat mendasar, yang dilakukan dalam menyelenggarakan aktivitas bernegara oleh alat-alat kelengkapan negara, dan belum diatur dalam konstitusi serta peraturan ketatanegaraan lainnya, dengan maksud untuk melengkapi ketentuan-ketentuan ketatanegaraan atau sebagai faktor pendinamisasi pelaksanaan konstitusi.

Karena itu, suka tidak suka UU Pemilwa adalah sah secara hukum karena dibentuk berdasarkan praktek-praktek atau konvensi ketatanegaraan yang berlaku di tingkat pemerintahan mahasiswa UIN SUKA.

Pendapat ini tentu merupakan pendapat saya pribadi. Sama halnya dengan pendapat Ach. Nurul Luthfi mapun Padri Irwandri. Tidak ada satu pun pendapat yang memiliki kekuatan hukum kecuali putusan pengadilan.

Terlepas dari itu semua, penting bagi saya untuk mengingatkan kita semua akan sebuah kaidah hukum yang umumnya berlaku dalam pengujian formil maupun materi terhadap sebuah aturan, yaitu “vermoeden van rechtmatigheid” atau “praesumtio iustae causa”. Suatu tindakan penguasa dianggap sah sesuai aturan hukum sampai dicabut oleh pihak yang berwenang atau oleh keputusan pengadilan.

*Ketua Senat Mahasiswa Universitas 2020-2021

Gambar: practiceweb.co.uk