Oleh: Muhammad Alfaridzi*
Ada banyak persoalan muncul setelah kita menyeselaikan satu persoalan. Misal saja, si Udin akan menganggap dirinya lelaki sejati bila ia dikhitan. Padahal itu satu dari sekian tahap kehidupan yang berjajar setelah ia menuntaskannya. Lantas akankah si Udin berhasil melewati kemungkinan persoalan patah hatinya yang sangat rumit di kemudian hari, setelah ia menganggap dirinya lekaki sejati setelah dikhitan?
Atau akankah ia merasa lebih demokratis usai ikut serta dalam Pemilwa? Saya rasa tidak.
Begitu juga dengan permasalahan yang ada di UIN Suka. Banyak persoalan dari tahun ke tahun mengambil nomor antrean dalam realitas mahasiswa. Sekelumit persoalan yang tak pernah usai. Seolah olah isu seperti ini dirawat dan dijadikan bahan mut-mutan bagi mahasiswa. Entah apa sebabnya.
“Tak pernah selesai atau tak ingin diselesaikan?” bisik si Udin saat ibunya mengeluh karena sering jadi omongan tetangga.
Persoalan tersebut bisa kita susun satu per satu seperti struk belanja ibunya Udin sepulang dari Indomaret Sapen. Mulai dari gerakan mahasiswa, komersialisasi pendidikan, mutu pendidikan dan infrastruktur kampus. Semua ini ada dalam buku Catatan Hitam Kampus Putih yang baru saja diterbitkan oleh LPM ARENA.
Mari kita ambil satu bagian saja dalam daftar tersebut: pemilihan mahasiswa (pemilwa) yang merupakan bagian dari gerakan mahasiswa.
Jika Anda tidak mengetahui istilah itu (Pemilwa), saya akan menyarankan Anda untuk mengambil ponsel cerdas. Ketiklah di mesin pencari yang amat modern itu, “Apa itu pemilwa” atau “Pemilwa adalah …” dan ia akan mengeluarkan 1001 definisi mengenai Pemilwa. Namun Anda tidak akan menjumpai masalah-masalah terkait pemilwa di sana. Di sini, saya pastikan Anda akan menjumpainya.
Agenda tahunan tersebut memiliki banyak problem yang tak pernah usai dibahas. Di antaranya terlihat pada pembentukan UU yang tidak memiliki acuan dan naskah akademik—seperti yang hangat diberitakan LPM ARENA beberapa hari belakangan. Senat mahasiswa sendiri juga mengakui tidak ada acuan dalam pembentukan UU tersebut. Eh, kok gitu ya?
Di sisi lain persoalan juga timbul dari sosialisasi pemilwa yang njelimet–nyaminta ampun. Kenapa saya katakan demikian, karena mahasiswa harus mengetahui informasi pemilwa melalui akun Instagram Komisi Pemilihan Umum Mashasiswa (KPUM) Fakultas masing masing selama pemilwa berlangsung. Mulai dari pengusulan partai, para calon, kampanye hingga jadwal pemilihan.
Pemilwa, Cacat Prosedural dan Teknis
Tontonan menarik dapat kita lihat pada postingan terakhir @sema-uinyk, berisi Surat Keputusan (SK) penetapan Panitia Pemilihan Umun Mahasiswa (PPUM) namun dengan judul postingan “Penetapan KPUM”. Nampaknya teman-teman Sema U tak bisa membedakan antara PPUM dan KPUM. Padahal perbedaan antara KPUM dan PPUM telah dijelaskan dalam UU Pemilwa Pasal 6 terkait Mekanisme Pembentukan dan Ketentuan Panitia Pemilihan Umum Mahasiswa.
Saya tak akan berburuk sangka. Mungkin ini hanya kesalahan teknis yang disebabkan oleh ketidakmengertian mereka terhadap aturan yang mereka tulis sendiri dan diwarisi hingga menjadi tradisi. Ini adalah sebaik-baik sangkaan.
Merujuk pada UU Pemilwa Pasal 19 Ayat 1 tentang mekanisme yang dilakukan secara daring, KPUM Universitas maupun Fakultas diharuskan membuat akun media sosial dalam memublikasi kegiatan pemilwa dari awal hingga akhir.
Sayangnya, akun Instagram @kpum_uinsuka2021 hanya memiliki follower tak lebih dari 659 tanpa K. Ini jelas menandakan info mengenai pemilwa setingkat universitas pun sepi peminat.
Sedangkan pada tingkat fakultas @kpum_fishum hanya memiliki 269 follower, @kpumf-ushuluddin dengan 257 follower, @kpum_fsyariah 193 follower, @kpumfebi_uinsuka 229 follower, @kpumfabi_uinsuka 158 follower, @kpum_fitksuka 305 follower, @kpumfdkofficial 114 follower, dan @kpum_fstuinsuka 188 follower.
Saya merasa pesimis sosialisasi pemilwa semaca ini bisa tersampaikan. Bandingkan saja jumlah mahasiswa fakultas dengan pengikut akun KPUM fakultas. Apalagi di Instagram, aplikasi yang haus kuota.
KPUM Fakultas Ushuluddin, misalnya, mengadakan kampanye monolog pada Jumat pukul 9 hingga 11 di halaman fakultas. Namun, tak ada postingan mengenai visi dan misi dari para calon pada halaman Instagram mereka. Lantas siapa sararan mereka? Apakah cukup dengan mengandalkan siaran langsung melalui apk yang haus kuota itu? Mungkin teman-teman akan penuh pertimbangan untuk melihatnya.
Perihal aturan teknis, UU Pemilwa juga tidak menjelaskan serta mempertimbangkan audiens difabel dengan cara menyediakan fasilitator bahasa isyarat. Ini terlihat pada kampanye monolog calon presma dan wakil presma, 18 Desember lalu.
Ini menandakan kontradiksi yang sangat jelas dalam aturan. Pemilwa seolah memberikan hak memilih sebagaimana pada Pasal 21 Ayat 1, namun tak memberikan hak mendengar dan menilai untuk seluruh mahasiswa. Sungguh tak inklusif sekali pemilwa ini.
Dengan mengambil benang merah dari persoalan di atas, pemilwa bukan lagi pendidikan politik dengan cerminan nilai-nilai demokrasi, melainkan pemilwa yang monolog: mereka yang mengadakan, mencalonkan, menjabat dan merangkap jabatan sebagai penonton.
Mungkin orang akan menganggap saya apolitis, tapi terserah. Selama teknis pemilwa belum jelas dan tak tepat sasaran, saya komitmen untuk tidak akan memilih. Buat apa ndakik-ndakik ngomong demokrasi kalau hal elementer begitu tidak diurus?
Lagipula, meminjam istilah salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt Jurgen Habermas, demokrasi (deliberatif) berarti konsultasi, menimbang-nimbang, atau musyawarah. Bercermin dari pemilwa, demokrasi kita justru tampak terperangkap dalam konflik kepentingan yang bersifat pribadi, perilaku politik yang lebih mengutamakan pencitraan. Debat kusir di ruang publik dan pertarungan kekuasaan demi ambisi dan keuntungan pribadi atau kelompok tak mempertimbangkan para rakyat UIN dari berbagai macam kondisi.
Aku klik, maka Tak Berpengaruh Apa-Apa
Lantas bagaimana nasib demokrasi di kampus putih ini sekarang dan ke depannya? Ini bisa dijawab macam-macam, tapi Anda mungkin perlu mengajukan pertanyaan yang lebih darurat: haruskah saya ikut serta dalam pemilwa seperti ini?
Sebagai teman baik saya sarankan dua jurus jitu.
Pertama, seperti yang ditulis Ajid FM dalam Ramai-Ramai Mengabaikan Pemilwa dalam rubrik “Catatan Kaki” 2019 lalu. Atau tawaran kedua, “Anda bisa menikmatinya sebagai pertunjukan belaka. Pahamilah, mereka hadir hanya untuk memberi pertunjukan. Seberapa pun jeleknya, ya, ditonton saja,” dikutip dari teks foto esai yang ditulis Sidra pada 2020. Jika merasa waktu Anda terbuang untuk menyaksikan semua itu, maka kembalilah ke saran pertama. Abaikanlah pemilwa.
Namun, jika teman yang kusayangi masih gigih untuk menjatuhkan pilihan maka kita datangkan lagi Habermas dalam pembicaraan serius ini. Tergolong tindakan apakah pilihan tersebut?
Mekanisme pamilihan yang diatur secara daring menandakan satu klik merupakan satu suara. Maka tindakan mengklik tersebut dapat digolongkan menurut teori tindakan Habermas.
Lantas, apakah klik anda merupakan tindakan teleologis, yang bertujuan agar visi misi sang calon terwujud? Atau klik berdasarkan tindakan normatif, sebatas memenuhi kewajiban karena Anda diberi hak pilih? Atau tindakan dramatis (iseng aja gitu)?
Atau tindakan komunikatif, demi menjaga perasaan para peserta dan panitia agar mereka tidak kecewa? Pasalnya mereka telah bekerja keras dalam menyelenggarakan pemilwa yang sepi peminat itu. Klik Anda bisa jadi adalah bentuk kepekaan terhadap rasa lelah mereka.
Tergolong tindakan manakah klik Anda? Jika Anda bisa mempertanggungjawabkannya secara rasional, menunjukan alasan Anda memilih, setidaknya itu lebih baik dari iseng semata.
Namun jika tidak, alangkah baiknya Anda menjaga NIM serta password anda dari siapapun. Atau lebih baik Anda berikan kepada kekasih Anda. Sesekali, kita perlu jujur, setidaknya pada kekasih, tentang tumpukkan tugas tak tuntas di e-learning dan nilai jelek yang berada di bawah IPK 3.00—yang tak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri.
Ini penting, sekaligus agar pacar Anda menunda pertengkaran karena merasa kasihan dengan tumpukan tugas, dan kegagalan Anda mencalonkan diri sebagai apapun. Termasuk dalam Pemilwa.
Bilamana ada pihak yang tersinggung, saya tawari dua pilihan. Pertama, mari kita jalin tindakan komunikatif yang rasional ala Habermas tadi, demi mencapai kesepehamahan dan saling pengertian dalam menyelesaikannya. Sekaligus menghindari tindakan premanisme dan baku hantam.
Jika itu sulit diwujudkan maka lakukanlah yang kedua: kelak bila si Udin menjadi mahasiswa UIN, laranglah ia ikut serta dalam pemilwa tahun depan. Karena aspirasi saya sebagai rakyat UIN tidak didengar. Dan bisikkan pada Udin, “Demokrasi UIN telah mati.”
*Mahasiswa filsafat yang sejak berambut pendek hingga kini gondrong masih menolak pemilwa
Ilustrasi: Bisma Aly Hakim