Oleh: Rizqo Dzulqornain*
Diskursus UU Pemilwa kembali menjadi perbincangan di kampus putih, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Antusiasme mahasiswa ditunjukkan dengan ragam argumentasi multi-perspektif yang menilai keabsahan dari UU Pemilwa. Kajian demi kajian digelar guna memberi validitas atas pendapat kelompoknya masing-masing. Salah satu kajian tertuang dalam tulisan ini yang akan mengupas UU Pemilwa dari segi filsafat hukum.
Pertama-tama, mari kita dudukkan terlebih dahulu pemahaman mengenai apa itu hukum. Hukum memiliki ragam bentuk mulai dari undang-undang negara, peraturan bupati, peraturan rektor, bahkan peraturan organisasi. Membatasi pengertian pada undang-undang negara, tidak membuat pengertian dasar tentang hukum hilang. Setiap peraturan yang mengatur kehidupan orang-orang dalam masyarakat, perkumpulan besar atau kecil, lembaga swasta, semuanya disebut hukum.
Hanya saja, hukum yang sesungguhnya adalah yang dibuat oleh kekuasaan politik (baca: pemerintah). Ada juga hukum tapi sebenarnya bukan hukum karena tidak berkaitan dengan pemerintah sebagai pembentuk hukum (O. Notohamidjojo, 1967). Makna hukum apabila direlasikan dengan UU Pemilwa telah melepaskan wadah “UU” ataupun jenis peraturan lainnya dan memandang UU Pemilwa sebagai suatu hukum. Baik disebut UU, peraturan, atau yang lain, UU Pemilwa adalah hukum yang berlaku, mengatur, dan mengikat bagi mahasiswa.
Memahami UU Pemilwa sebagai hukum memiliki konsekuensi dari sisi legalitas. Bagaimana kita mengetahui suatu peraturan bersifat legal dan sungguh-sungguh merupakan hukum? H. L. A. Hart menjawabnya dengan dua kaidah hukum. Pertama, kaidah primer yang menentukan kelakuan seseorang. Kedua, kaidah sekunder yang menjadi pengenal dan menentukan mana hukum yang sah dan syarat bagi perubahan kaidah primer (H.L.A. Hart, 1977).
UU Pemilwa, maupun UU lainnya, termasuk dalam kaidah primer yang mengatur perilaku mahasiswa. Sedangkan kaidah sekunder yang menentukan keabsahan dari materi muatan, prosedur pembentukan, hingga perubahan UU Pemilwa (maupun UU lainnya). Tentu keabsahan UU Pemilwa menjadi persoalan ketika UU Pemilwa sebagai kaidah primer berjalan sendiri tanpa adanya kaidah sekunder.
Imanuel Kant memiliki gagasan fundamental mengenai apa yang ada (fakta; das sein) dengan apa yang seharusnya (norma; das sollen). Orang biasanya saling menghormati (fakta) bukan berarti seharusnya begitu (norma). Logika yang sama mengharuskan penerimaan bahwa, orang harus saling membunuh bila mereka biasa saling membunuh. Hal ini tentu tidak bisa diterima. Apa yang ada berbeda dengan apa yang seharusnya. Fakta adalah fakta, bukan norma.
Pembentukan UU Pemilwa menurut Abdul Azisurrohman, Ketua Sema U, didasarkan pada konvensi karena telah menjadi “kebiasaan” yang dilakukan berkali-kali. Patut dipahami bahwa pembentukan UU Pemilwa berdasarkan konvensi merupakan fakta. Namun, bukan berarti pembentukan UU Pemilwa berdasarkan konvensi merupakan apa yang seharusnya. Keabsahan UU Pemilwa tidak bisa didasarkan pada konvensi yang merupakan fakta. Seharusnya, keabsahan UU Pemilwa didasarkan pada satu kaidah sekunder (baca: pedoman).
Layaknya undang-undang yang dibentuk oleh DPR, dalam pembentukan undang-undang harus sesuai dengan asas pembentukan. Adapun materi muatannya harus mencerminkan asas-asas seperti pengayoman, kekeluargaan, keadilan, kemanusiaan, dsb.
Apabila undang-undang yang dibentuk menyangkut kepentingan masyarakat, partisipasi publik menjadi hal penting terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas (S.D. Harijanti, 2021).
Dalam kaitannya dengan pemilwa, partisipasi mahasiswa dalam pembahasan (baik dalam pembentukan maupun perubahan) UU Pemilwa memiliki tujuan:
- menciptakan kecerdasan kolektif yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas untuk kualitas hasil yang lebih tinggi;
- membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif dalam mengambil keputusan;
- meningkatkan kepercayaan dan keyakinan mahasiswa terhadap lembaga legislatif;
- Memperkuat legitimasi dan tanggungjawab bersama untuk setiap keputusan dan tindakan;
- Memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka
- Menciptakan lembaga legislatif yang lebih akuntabel dan transparan.
Jauh melihat UU Pemilwa sebagai hukum di masa mendatang, keabsahan UU Pemilwa tidak berhenti sebatas perlu dibentuknya pedoman pembentukan UU. Pada gilirannya perlu pula disediakan mekanisme hukum bagi para pencari keadilan apabila terjadi: 1) perkara contentius yang mempertemukan dua pihak yang bersengketa mengenai hasil pemilihan; 2) pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilwa; 3) kecurangan-kecurangan yang dilakukan sebelum pemungutan suara yang mempengaruhi terhadap penghitungan suara; dan 4) uji formil terkait prosedur pembentukan UU dan uji materiil terkait bunyi ayat, pasal, dan/atau bagian UU Pemilwa yang dianggap bertentangan terhadap peraturan yang lebih tinggi.
Ratio legis telah menuntun pemahaman kita untuk memberikan perhatian lebih terhadap keabsahan suatu peraturan. Keabsahan dapat ditemukan apabila UU Pemilwa dibentuk sesuai dengan pedoman yang menentukan prosedur pembentukan, materi muatan, hingga perubahan UU Pemilwa.
Partisipasi publik yang terbuka lebar juga merupakan hal penting pada saat pembentukan atau perubahan peraturan.
Terakhir, memberikan kanal-kanal hukum bagi pencari keadilan. Sebagaimana ungkapan yang disampaikan Zainal A.M. Husein, “Teori hadir untuk membatasi agar praktik tidak jauh menyimpang dari yang seharusnya”. Kajian ini dibuat guna mengurai problema keabsahan UU Pemilwa serta memberikan solusinya.
*Mahasiswa Hukum Tata Negara 2018
Sumber gambar: pxhere.com