Meski UKT kerap diklaim telah mencakup seluruh kebutuhan mahasiswa di tiap semester, masih ada biaya lain yang dibebankan pada mahasiswa, salah satunya ujian sertifikasi ICT
Lpmarena.com – Uang Kuliah Tunggal (UKT) wajib dibayarkan mahasiswa setiap awal semester sesuai penggolongannya. Sistem subsidi silang ini mencakup seluruh kebutuhan operasional mahasiswa di setiap semesternya. Namun dalam kenyataannya, biaya yang dibebankan mahasiswa ternyata tak tunggal. Mahasiswa harus merogoh kocek lagi untuk komponen lain. Salah satunya pembayaran ujian sertifikasi Information and Communication Technology (ICT).
Tes tersebut merupakan ujian untuk mendapatkan sertifikat ICT yang wajib diperoleh mahasiswa sebagai salah satu syarat mengikuti sidang munaqosah. Tes ini menguji empat aspek: pengetahuan terkait internet, kemampuan menggunakan Microsoft Word, Excel, dan Power Point. Dalam pelaksanaannya, ujian ini diselenggarakan oleh Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD).
Kepala PTIPD, Muhammad Taufiq Nuruzzaman, tak menampik adanya pungutan biaya untuk mengikuti tes ICT. Namun, katanya, tak semua tes ICT berbayar. Terdapat tiga macam tes, yaitu Placement Test, Training, dan Ujian Sertifikasi. Ujian Sertifikasi inilah yang memungut biaya Rp50.000. Sedangkan dua tes lainnya bersifat gratis. Mahasiswa cukup lulus dari salah satu di antara ketiga tes tersebut.
“Prosedurnya adalah mengikuti Placement Test. Jika lulus, maka sudah lulus ICT. Jika tidak (lulus), maka mengikuti Training dan ujian Training. Jika lulus, maka lulus ICT. Jika tidak lulus juga, maka silakan mengikuti ujian Sertifikasi ICT,” terang Taufiq saat diwawancarai ARENA pada Senin (13/12) via WhatsApp.
Dengan kata lain, Ujian Sertifikasi adalah pilihan terakhir mahasiswa setelah gagal di Placement Test dan Training. Di bulan November 2021 saja, hanya ada 6273 mahasiswa angkatan 2020 & 2021 yang mengikuti Placement Test dari total 8000 lebih mahasiswa. Itu masih menghitung keikutsertaan, belum menghitung kelulusannya. Sayangnya, sampai berita ini ditulis (29/12), pihak PTIPD belum menyelesaikan proses koreksinya.
Persoalannya, di antara mahasiswa tersebut, tak sedikit mahasiswa yang akhirnya mau tak mau mengambil pilihan tes yang berbayar. Mahasiswa mengaku merasa kesulitan memenuhi nilai ketuntasan minimal untuk dinyatakan lulus. Namun ketika mengikuti tes berbayar, mahasiswa mendapat hasil yang berbeda dari tes yang gratis.
Itulah yang dialami oleh Anjas–bukan nama sebenarnya. Anjas adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi semester tujuh yang hendak melakukan sidang munaqosah. Pada 4 November lalu ia mengikuti tes ICT untuk pertama kalinya dan karenanya tak mengeluarkan biaya.
Namun sampai berhari-hari kemudian, nilainya tak kunjung keluar. Ia mencoba bertanya pada customer service PTIPD lewat WhatsApp dan dijawab, “Coba cek situs web secara berkala.” Tak ada keterangan nilai di kolom riwayat ujian, meski Anjas telah mengecek situs Sistem Informasi Akademik (SIA). Berkali-kali ia bertanya, berkali-kali pula ia mendapat jawaban yang sama. Kadang malah tidak terjawab. Anjas makin cemas. Batas ujian sidang skripsinya makin dekat.
Sementara, dari teman-teman tongkrongannya, Anjas pernah mendengar rumor bahwa jika ingin lulus ICT maka harus ikut tes yang berbayar. “Yang penting bayar saja, pasti lulus. Kalau enggak bayar akhirnya disusahin (untuk lulus),” tuturnya pada ARENA pada Rabu (08/12).
Akhirnya, karena tak kunjung mendapat kepastian, pada 16 November lalu Anjas terpaksa mengikuti ujian sertifikasi yang kedua. Ia pun membayar Rp50.000, meski nilai tes yang pertama belum keluar.
Dalam tes keduanya ini, tentu saja Anjas bisa menyelesaikan dengan lebih mudah. Sebab ia mendapatkan soal-soal yang sama. Ia mengirim jawaban yang sama dari tes sebelumnya. Perbedaannya, Anjas kali ini makin memperbaiki jawaban Microsoft Excel-nya.
Lalu pada 22 November 2021, nilai tes ICT pertama Anjas muncul di laman SIA. Ia mendapatkan rata-rata nilai 51,25 dengan nilai D. Nilai itu tentu tidak cukup untuk persyaratan sidang munaqosah. Tapi ia masih punya harapan pada nilai ujian kedua.
Benar saja, tak sampai dua pekan nilai keduanya juga muncul. Ia mendapat nilai B dengan angka 71,25. Nilai yang sudah mencukupi batas minimal persyaratan. Tapi bagi Anjas, hal itu cukup membuatnya heran.
“Nilai tes keduaku itu sama semua dengan tes pertama (dari 4 kolom penilaian). Bedanya cuma di Microsoft Excel dan Word. Excel kan wajar, karena memang aku lebih perbaiki. Yang ganjil itu yang Word,” kata Anjas.
Nilai Microsoft Word-nya memang beranjak naik dari 40 ke 85 dengan soal dan jawaban yang sama. Selain itu, rentang waktu keluarnya nilai antara tes pertama dan tes kedua jauh berbeda. Saat tes pertama Anjas perlu menunggu hingga 18 hari, sedangkan dalam tes terakhir hanya butuh delapan hari.
Pada saat yang sama, mahasiswa lain yang juga mengambil ujian sertifikasi justru masih menanyakan kepastian nilai mereka di grup WhatsApp peserta ICT. Nilai tak muncul serentak. Padahal mereka menjalani tes di waktu yang sama.
“Aku enggak tahu ya mereka bayar atau enggak. Yang jelas nilaiku keluar dan aku sudah bayar,” pungkasnya.
Apabila ditilik lagi, tes untuk sertifikasi semacam ini sudah masuk dalam komponen biaya UKT. Dalam pasal 5 Permendikbud Nomor 55 tahun 2013 ditegaskan, bahwa Perguruan Tinggi Negeri tidak boleh memungut uang pangkal dan uang pungutan lain selain Uang Kuliah Tunggal dari mahasiswa. Pun dalam laman profilnya, salah satu dari lima kredo PTIPD adalah “make it free”. Hal itu berarti apapun program yang dimiliki PTIPD mestinya bernilai free atau bebas biaya.
Saat dikonfirmasi, Taufiq menepis pengertian tersebut. PTIPD telah memberikan dua kali kesempatan free, dan tak bisa memberikan free untuk ketiga kalinya.
“Oleh karena itu Placement dan Training mohon dimanfaatkan oleh mahasiswa. Karena jika tidak lulus maka harus mengikuti sertifikasi ICT yang berbayar 50 ribu,” jelas kepala PTIPD yang menjabat sejak 2020 itu.
Adanya pembayaran itu pun, kata Taufiq, karena kebutuhan akomodasi berupa honor untuk para pembuat soal, korektor, pengawas, biaya administrasi, dan tenaga Information and Technology (IT). Bukan untuk hal-hal lain.
Lalu bagaimana dengan tes yang gratis? Apakah tak membutuhkan kebutuhan akomodasi pula?
Taufiq mengungkapkan jika kebutuhan akomodasi dalam Placement Test dan Training sudah ditanggung oleh Badan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diturunkan dalam UKT. Sehingga mahasiswa tak mengeluarkan biaya sedikit pun saat mengikuti kedua tes tersebut.
Terkait dengan kasus perbedaan nilai yang dialami Anjas, Taufiq mengatakan jika mahasiswa mestinya menanyakan hal itu kepada Customer Service (CS) PTIPD tentang penyebabnya. Menurutnya masing-masing kasus berbeda permasalahan detailnya, sehingga ada masalah kecil yang memengaruhi keluarnya nilai.
“Yang sering menjadi masalah adalah jawaban Word itu sama dengan peserta lain sehingga dapat nilai 0 dan tidak lulus. Jadi silakan di-crosscheck ke CS PTIPD,” kata Taufiq.
Anjas sendiri tak mendapatkan nilai 0 dalam nilai Word. Artinya dia memang mengerjakan sendiri dan tak menjiplak dengan jawaban mahasiswa lain.
Menanggapi hal itu, Anjas mengatakan jika pengecekan ulang pada Customer Service PTIPD tak menghasilkan apapun. Karena Customer Service yang dimaksud tidak tanggap dalam menjawab chat yang masuk. Jangankan menanyakan penyebab berbedanya nilai ICT, menanyakan kapan keluar nilai saja jawabannya lama, begitu Anjas mengeluh.
“Buat tanya nilai saja, sekali kutanya jawabannya diplomatis banget. Aku tanya lagi malah gak dibalas.”
Reporter Mas Ahmad Zamzama | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Sumber Gambar it.uin-suka.ac.id