Oleh: Polanco S. Achri
Ada banyak yang beranggapan bahwa tujuan pendidikan adalah melahirkan orang pandai, melahirkan seorang yang dipenuhi pengetahuan. Lebih lanjut, dari anggapan tersebut, dapatlah dijumpai sebuah pernyataan bahwa seorang yang tak pandai, tak dipenuhi pengetahuan, dan tak mengenyam bangku sekolah atau “lembaga resmi pendidikan” merupakan seorang yang tak terdidik atau tak berpendidikan. Anggapan semacam itu tidaklah sepenuhnya salah atau keliru, tapi agaknya tidak tepat. Oleh karenanya, mempertanyakan tujuan pendidikan menjadi penting. Jadi, apa sebenarnya tujuan dari pendidikan?
Ada baiknya catatan ini berangkat dari sebuah contoh kejadian. Contoh tersebut begini: saat ada seorang yang pandai dan dipenuhi banyak pengetahuan, tetapi melakukan kecurangan, ketidakadilan, atau gemar merendahkan martabat manusia lain; maka, dengan lekas, orang-orang akan mengatakan bahwa orang tersebut adalah seorang yang tidak berpendidikan, adalah seorang yang tidak terdidik. Dengan demikian, dari sana, dapatlah lekas dikatakan bahwa pendidikan bukanlah sekadar menambah ataupun memasukkan pengetahuan dalam diri seseorang, melainkan lebih dari itu.
Apabila membuka KBBI, dapat dijumpai suatu pengertian yang berbunyi, “Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.” Melalui pengertian tersebut dapat dibaca: persoalan yang berkenaan dengan pengetahuan tidaklah termasuk dan genap dimasukan. Namun, mestilah diingat, pengetahuan dan ilmu mestinya dibedakan, mesti diberi pengertian sendiri-sendiri; meski masih saling berkaitan dan tak bisa serta merta dipisahkan. Apabila menghendaki pengertian yang lebih dalam dan menguatkan, dapatlah disimak pengertian dari Ki Hajar Dewantara. Ia menyampaikan bahwa hakikat pendidikan ialah “Sebagai usaha untuk menginternalisasikan nilai-nilai budaya ke dalam diri anak, sehingga anak menjadi manusia yang utuh baik jiwa maupun rohaninya.” Dengan demikian, dari sana, tanpa maksud menyederhanakan, dapatlah dikatakan, tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan seorang manusia!
Dalam catatan ini, mestilah disepakati terlebih dahulu bahwa manusia dan orang adalah dua hal yang berbeda. Manusia adalah makhluk yang berakal budi dan bukan hanya “suatu makhluk yang memiliki ujud tubuh berjalan tegap dengan dua kaki”. Lebih lanjut, manusia adalah capaian dari apa yang disebut dengan pendidikan. Seorang yang terdidik akan menjadi manusia! Orang tersebut akan memiliki rasa kemanusiaan. Ia menjadi manusia, dan tidak hanya seperti manusia; dan seseorang tadi pun akanlah mampu memanusiakan orang lain, akanlah mampu menghargai makhluk lainnya. Dari sana, dengan demikian, hendaknya anggapan yang disampaikan di awal, tentang tujuan dari pendidikan yang melahirkan orang pandai-berpengetahuan, mesti dibenahi dan dibawa ke ranah yang lebih tepat. Amat disayangkan bila nantinya ada yang lebih jauh beranggapan bahwa seorang yang tidak bersekolah, seorang yang tidak pandai dan tidak dilimpahi pengetahuan, adalah seorang yang tidak terdidik, tidak berpendidikan.
Pandemi dan Pendidikan di Ini Negeri
Ketakutan akan hilangnya suatu generasi adalah ketakutan yang lumrah, ketakutan yang memang mesti hadir dan ada. Namun, ketakutan tersebut masihlah pada tataran ketakutan akan hilangnya orang pandai-berpengetahuan, dan belum ketakutan pada hilangnya suatu generasi yang amat mungkin kehilangan sifat manusia dan kemanusiaannya. Meski demikian, tidaklah salah bahwa hilangnya dokter, hilangnya guru, hilangnya arsitek, dan juga hilangnya tenaga ahli adalah suatu kehilangan yang terlampau besar dan terlampau mahal. Namun, bukankah begitu mahal pula bayaran yang mesti diterima jika ini negeri kehilangan manusia dan kemanusiaan? Betapa menakutkannya membayangkan sebuah negeri tanpa ada empati dan simpati dari masyarakat dan segala komponen di dalamnya!
Di masa pandemi semacam ini, di masa yang terlampau hadir mengoyak segala lini dan sisi, pendidikan menjadi suatu yang banyak mengambil perhatian. Ada banyak opini, esai, dan catatan tentang pendidikan di masa pandemi yang ramai melintas, baik di media massa maupun media sosial, yang mencoba menanggapi dan juga memberikan solusi. Persoalan sekolah daring, keterbatasan akses, pendidikan di rumah yang sebenarnya juga sulit sebab tidak semua orang tua bisa hadir dan mampu menemani, memanglah persoalan tersendiri. Catatan ini tak ingin menambah keriuhan, dan hanya ingin mengingatkan bahwa capaian pendidikan adalah melahirkan manusia, sehingga tidaklah dikatakan gagal jika pendidikan ini negeri bisa dan mampu melahirkan (seorang atau sekumpulan) manusia. Bukankah di masa yang begini, bahkan di masa yang akan datang nanti, amatlah dibutuhkan seorang yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti berakal budi, berempati, dan menjunjung tinggi martabat sendiri?
Sebagai semacam penutup, catatan ini ingin sekali berkata bahwa selama warga dari ini negeri masih dan tetap menjadi sekumpulan manusia beserta sifat dan segala nilainya, maka agaknya ini negeri akan tetap baik-baik saja. Karenanya, sudahkah pendidikan ini negeri melahirkan manusia? Apabila belum, maka mari—sebab sesuatu belumlah dikatakan sebagai suatu hal yang gagal jikalau masih bisa diusahakan, masih bisa dikerjakan. Mari benahi tujuan, dan mencapai tujuan itu. Semoga warga ini negeri terus dan terus berusaha menjadi manusia!
Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Seorang sarjana sastra yang kini menjadi seorang pengajar di salah satu sekolah menengah kejuruan di Sleman. Menulis prosa-fiksi dan esai-esai pendek. Dapat dihubungi melalui FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.
Ilustrasi: Surya Puja Kelana