Home BERITA Masjid Jogokaryan di Antara Final AFF, Salat Berjamaah, dan Nasi Telurnya

Masjid Jogokaryan di Antara Final AFF, Salat Berjamaah, dan Nasi Telurnya

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Nonton bareng (nobar) lebih mampu menawarkan adrenalin daripada nonton sendirian. Lebih-lebih dalam liga sepak bola, penonton bisa memaki, berteriak, bernyanyi dan bertepuk tangan bersama. Namun bagaimana jadinya jika nobar itu dilakukan di masjid? Saya merasakan pengalaman unik itu untuk pertama kali saat menonton pertandingan final piala AFF 2020 Indonesia melawan Thailand di Masjid Jogokariyan, Mantrijeron, Kota Yogyakarta.

Salat Isya di masjid belum lama selesai, tetapi Rangga—salah seorang penonton yang saya temui—sudah beranjak dari safnya menuju serambi utama masjid. Ia yang datang bersama adik memilih duduk tepat di depan layar proyektor. Tengok kanan tengok kiri, ia tak sabar menanti pertandingan liga kedua itu dimulai. Belum ada gambar yang ditampilkan meski waktu sudah menunjuk pukul setengah delapan lebih.

“Sekarang agak sepi ya, Mas,” kata Rangga.

Penonton yang hadir malam itu memang tak sebanyak nobar kali pertama. Di leg pertama pada 29 Desember lalu, Indonesia dibabat habis dengan skor 4 – 0. Namun kekalahan serta gerimis yang menitik sejak sore tak menghalangi Rangga dan ratusan orang lain berbondong ke Masjid Jogokariyan untuk menonton leg kedua pada Sabtu (1/1). Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut tetap berangkat dari kos-kosan, menerobos hujan dan terduduk menunggu operator dari Remaja Masjid Jogokaryan (RMJ) menyalakan layar proyektor.

Alat-alat yang dibutuhkan pun telah tersedia. RMJ menyiapkan itu semua tanpa susunan kepanitiaan secara khusus seperti di acara-acara lain yang biasa mereka adakan.

“Kalau acara-acara besar seperti pasar ramadhan, itu baru kami bentuk kepanitiaan,” kata Yusnan, salah satu RMJ.

Mereka bahkan membagikan makanan gratis kepada penonton yang datang. Saya sontak mengambil sebungkus nasi dan segelas teh. Begitu pula Rangga dan adiknya. Masa jeda waktu babak pertama digunakan RMJ untuk menghidangkan nasi bungkus. Orang-orang mengambilnya satu persatu konsumsi tanpa berebut. Ada minuman hangat seperti teh dan jahe.

Konsumsi inilah yang menjadi daya tarik dalam nonton bareng ini. Jika di tempat lain saya harus merogoh kocek untuk makan, di sini saya bisa mendapatkannya secara cuma-cuma.

“Di kafe bisa-bisa habis 20 ribu ini, Mas. Itu belum parkirnya,” kelakar Rangga.

Menurut Nanda, ada sekitar 500 bungkus yang disiapkan khusus untuk acara ini. RMJ memesan ratusan nasi itu dengan gelontoran dana dari masjid. Nasi-nasi itu pun tak dipesan dari satu orang saja, melainkan dari beberapa warga setempat. “Biar merata. Warga sama-sama kebagian,” terang mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta itu.

Sambil makan, penonton disuguhkan video-video dokumentasi kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan Masjid Jogokariyan. Seperti bagi-bagi daging kurban, bakti sosial, pasar rakyat, resik-resik masjid, dan lain sebagainya. Beberapa orang tampak tak peduli dan fokus menghabiskan nasi.

Jeda babak pertama digunakan untuk makan nasi bungkus bersama-sama. (Zamzama/LPM Arena)

Nobar sebagai Media Dakwah

RMJ merupakan bagian dari komunitas yang terbiasa menggelar acara untuk menyemarakkan masjid. Nobar itu menjadi salah satu upaya dakwah mereka mengajak orang-orang pergi ke masjid. Mereka sengaja menunggu salat jamaah benar-benar usai.

Seperti saat leg pertama, acara tak buru-buru dimulai selepas imam memberi salam. Mereka memberi jeda beberapa menit untuk jamaah berdoa, meneruskan salatnya, berzikir, dan lain sebagainya. Tujuan kegiatan ini sendiri adalah agar orang-orang mau beribadah bersama di masjid. Mereka tahu betul, laga timnas Indonesia bisa menarik banyak pemuda.

“Biasanya kalau nonton sepak bola kan salatnya belakangan. Kalau di sini ya salat dulu kalau mau nonton,” ujar Nanda, salah seorang tim media di RMJ.

Ajakan salat berjamaah ini memang sangat terasa, apalagi saya pun mendengar berkali-kali peringatan lewat mikrofon agar para penonton bersiap mengambil air wudu. Kami juga diingatkan agar berdoa untuk kemenangan timnas Indonesia.

“Ayo, wudu dulu,” pekik satpam sambil menggelar tikar panjang di tengah kerumunan penonton.

Menurut pengalaman Rangga, ajakan ini terbilang sukses dan tepat sasaran. Biasanya saat menonton timnas berlaga, ia baru salat setelah pertandingan selesai. Rangga tertawa saat menceritakannya kepada saya.

Di tengah perbincangan kami, Yusnan tiba-tiba menghidupkan layar proyektor dan membuka acara nobar. Basmalah menggaung di langit-langit masjid. Penonton mulai bergemuruh dan menata duduk ternyamannya.

Ternyata, saat nobar dimulai, pertandingan sudah berlangsung sebelas menit dan Indonesia sedang unggul satu skor. Chant “Indonesia, Indonesia, Indonesia” terdengar bertalu-talu. Rangga sendiri cukup anteng. Sesekali ia bertepuk tangan untuk kejadian-kejadian yang menurutnya hebat: chance, intercept, dan penyelamatan-penyelamatan sang penjaga gawang, Nadeo Argawinata. Saya merasa mendengar keoptimisan dari setiap tepuk tangannya.

Sampai jeda babak pertama, Indonesia masih unggul. Sepanjang pertandingan pun saya hampir tak mendengar cacian atau umpatan yang biasa terdengar di tempat nobarlain. Juga hidung saya tak menghirup sama sekali aroma rokok.

Tak lama setelah babak kedua dimulai, penonton dikagetkan dengan aksi dua gol beruntun Thailand di menit 54 dan 56. Nasib Timnas Indonesia semakin di ujung tanduk dan harus mencetak 5 gol jika ingin juara. Namun hal ini tak menyurutkan optimisme penonton. Pertandingan justru kian menghibur sehingga tak ada yang beranjak pulang.

Mereka lalu berteriak lantang ketika Egy Maulana, salah seorang pemain gelandang, menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Sampai menit-menit akhir, Rangga saya amati masih kerap bertepuk tangan. Pertandingan lantas selesai dengan skor yang tak berubah. Tak jadi juara, Indonesia menjadi runner-up piala AFF untuk keenam kalinya.

“Apapun hasilnya, mari kita akhiri dengan bacaan hamdalah,” ujar salah satu RMJ dari meja operator menutup nobarmalam itu. Hujan di Yogyakarta belum kunjung reda. Tepuk tangan yang panjang serempak membahana. Riuh. Tak hanya para pemain Timnas yang bereuforia malam itu, para penonton di Jogokariyan, juga para pemuda RMJ Nampak puas. Mereka berhasil mengajak sekian banyak orang untuk salat berjamaan di masjid mereka. Saya lantas melangkah pulang. Sedikit terkena hujan, di jalan pikiran saya masih mengingat nobar malam itu, serta nasi telur dan tepuk tangan para penonton—di masjid.

Reporter Mas Ahmad Zamzama | Redaktur Dina Tri Wijayanti