Lpmarena.com – Ratusan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bersama Aliansi UMY Bergerak (AUB) menggelar aksi di depan Rektorat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (7/1). Demo ini merupakan buntut dari kekerasan seksual yang menimpa 3 orang mahasiswi yang pelakunya juga berasal dari mahasiswa sendiri.
Dalam demonstrasi tersebut, mahasiwa memiliki beberapa tuntutan. Salah duanya, ialah menuntut komitmen kampus untuk menangani kasus kekerasa seksual dengan kacamata yang tidak bias gender dan mengutamakankeselamatan penyintas.
Hal tersebut menjadi penting sebab AUB menerima laporan bahwa pihak whistleblower, pihak @dear_umycatcallers, dan korban dipanggil dan mendapatkan perilaku intimidatif dan seksis dari kampus. Kampus bahkan sempat menyatakan, pemerkosaan yang terjadi dilandasi konsen. Perihal ini diungkapkan Fikri Rasendriya, salah satu demonstran, ketika audiensi antara massa aksi dan Faris Al-Fadhat selaku perwakilan pihak kampus digelar depan Gedung Rektorat.
Admin akun @dear_umycatcallers juga dianggap melakukan tindakan yang mencoreng nama baik kampus dan dapat diberikan sanksi akademik bahkan diperkarakan. Sempat pula ada ada ancaman pemanggilan orang tua whistleblower dari pihak kampus.
AUB juga mendesak kampus untuk segera membuat SOP penanganan dan pencegahan yang berspektif gender dan memihak korban. AUB juga meminta SOP penanganan dan pencegahan kekerasan seksual dibuat demokratif dan terbuka.
Namun, Faris Al-Fadhat menganggap kode etik mahasiswa yang memberi sanksi pada pelaku tindakan asusila sudah cukup, tak perlu ada SOP. Pihak kampus pun mengatakan, mereka sudah menangani kasus tersebut sesuai dengan aturan yang mereka miliki. Pelaku sudah diberi hukuman, dikeluarkan dari kampus secara tidak hormat karena terbukti melanggar Peraturan Rektor Pasal 24 terkait tindakan asusila dan perzinaan.
Sebagai bentuk dukungan terhadap korban, kampus juga mengaku siap mendampingi korban baik secara psikologis maupun secara hukum. Rektorat juga secara terbuka bersedia menerima masukan dari mahasiswa.
Namun, ketika mahasiswa mengungkapkan ketidakpuasan dan mengutarakan pentingnya membuat SOP yang berperspektif korban, kampus berkelit. Pihak kampus mengaku tidak dapat menjanjikan secara nyata dibentuknya SOP baru secara transparan dan melibatkan mahasiswa dalam regulasi tersebut.
“Dari jawaban Rektorat hari ini, kita bisa megetahui, bahwa ruang yang aman masih tidak ada disini. Percuma kita kuliah kalau besok kita diperkosa,” ujar Okpan Gunawan, salah satu korlap aksi.
Reporter Afrahul Fadilah dan Nabiel Mumta Zaydane | Redaktur Sidra