Lpmarena.com–Kurawal Foundation bersama Galeri Buku Jakarta dan Jaringan Gusdurian mengadakan diskusi dan bedah buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi ke Regresi? di Simetri Coffee, Kotabaru, Senin (24/01). Abdul Gaffar Salim, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, memaparkan bahwa polarisasi menjadi masalah utama dalam demokrasi di Indonesia, khususnya di kalangan umat Islam. Ada kepentingan politik para politisi dalam polarisasi di Indonesia yang bisa diendus pada “perang dingin” antara para pendukung Anies dan Ahok, hingga garis antara NU dan Muhammadiyah di koalisi-oposisi pemerintahan.
“Problema utama demokrasi Indonesia adalah sistem polarisasi dalam masyarakat. Melihat beberapa kasus belakangan ini, polarisasi mudah ditemukan dalam tubuh umat Islam,” ungkap Salim. Menurutnya, Indonesia sebenarnya tak cocok dengan liberalistik karena masyarakatnya menganut sistem komunitarian.
Disambung Donny Ardyanto, Program Manager Kurawal Foundation, menyebut demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan serta kemunduran. Saat wajah Jokowi menjadi sampul Majalah Times, orang-orang menganggap hal tersebut sebagai kemajuan demokrasi. Padahal di mata Donny, demokrasi di Indonesia tetap-tetap saja.
Dalam perspektif demokrasi liberal, Indonesia pasca reformasi mengalami kemajuan demokrasi, dilihat dengan dibukanya ruang bagi partai politik baru serta pemilihan umum secara langsung. Namun saat ini, penerapan threshold (batas minimal suara yang mesti dimiliki) menurut Donny merupakan sebuah kemunduran.
“Ongkos politik naik terus. Mulai dari biaya pembuatan partai sebesar empat ratus, hingga modal menjadi pejabat. Contohnya bupati yang kurang lebih harus punya tiga puluh miliar,” ungkap Donny. Dia juga menilai bahwa sistem kepartaian tidak representatif dan berdampak pada ketidakstabilan kepercayaan publik. Tingginya biaya politik membuat warga kehilangan hak partisipasi politik.
Donny beralih pada kasus kriminalisasi di media yang bak senjata untuk menekan masyarakat, terutama jurnalis. Kriminalisasi adalah ancaman bagi siapapun, terutama bagi aktivis. Shinta Maharani, Ketua AJI Yogyakarta, juga menyesalkan tindakan represi marak terjadi dan mengungkung kebebasan berekspresi di media. Padahal, media merupakan kontrol keberlangsungan demokrasi.
UU ITE acap kali menjadi batu sandungan dan senjata untuk mengkriminalisasi para jurnalis. Shinta menyebutkan beberapa kasus kriminalisasi, termasuk penjemputan paksa yang dialami Haris Azhar, pendiri Lokataru dan Fatia Maulidiyanti, koordinator Kontras. “Media itu sebagai kontrol demokrasi. Sayangnya, jurnalis sering dikriminalisasi,” pungkasnya.
Reporter Azzam | Redaktur Musyarrafah