Home BERITA Dampak Lingkungan dan Pelanggaran Aktivitas Penambangan Pasir Sungai Progo

Dampak Lingkungan dan Pelanggaran Aktivitas Penambangan Pasir Sungai Progo

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengadakan diskusi dan konsolidasi yang bertajuk Derita dan Jeritan Penolakan Tambang Pasir Kali Progo di kantor LBH Yogyakarta, Jumat (04/02).

Septandi, perwakilan dari Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP), mengatakan penambangan pasir di Sungai Progo berdampak terhadap kerusakan lingkungan, pencemaran air sumur yang menyuplai kebutuhan air kepada kurang lebih 300 KK, dan menciptakan perpecahan masyarakat. Dia juga menyatakan, sebelum ada aktivitas pertambangan, daerah tempat tinggalnya tidak pernah mengalami kekeringan.

“Sekarang sampai tidak ada air, minta tetangga. Bahkan ada juga yang beli,” ungkapnya.

Hal serupa juga dialami oleh Yuliana, perwakilan PMKP. Dia mengeluhkan kebisingan akibat aktivitas pertambangan yang mengganggu, “Saya khawatir pada anak-anak kami, soalnya sekarang mereka belajar online.” Juga, Yuliana menambahkan, tidak adanya patokan yang jelas perihal batas-batas lahan mengakibatkan tambang kian melebar.

Budi Hermawan dari LBH Yogyakarta, secara lebih rinci menjelaskan dampak lingkungan penambangan, yaitu penggerusan dan degradasi yang mengakibatkan tebing longsor. Hal ini selain membahayakan rumah warga, merusak ekosistem air yang membuat warga kehilangan pekerjaan menjala ikan.

Penolakan warga pada aktivitas tambang sudah berlangsung cukup lama. Dikutip dari Tirto.id, warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) melakukan aksi penolakan aktivitas pertambangan sejak 2019. Dari Desember 2020 sampai Januari 2021, aksi penolakan mengalami eskalasi. Tepat Februari hingga Maret 2021, delapan belas orang warga Padukuhan Jomboran, Minggir, Sleman, mendapat panggilan dari Polres Sleman.

“Pada prinsipnya, kita sebagai masyarakat itu memiliki hak atas lingkungan hidup,” tutur Abi Manyu dari WALHI Yogyakarta. Hak lingkungan hidup terbagi menjadi hak prosedural dan subtansial. Abi juga menegaskan bahwa hak subtansial adalah hak lingkungan sehat, bersih dan bebas dari ancaman.

“Tapi masyarakat tidak mendapatkan itu,” tuturnya.

Sedangkan hak prosedural dibagi menjadi tiga, yakni: hak akses informasi publik, hak partisipasi, dan hak akses keadilan. “Masyarakat punya hak-hak keadilan pada saat (hak-hak) substansialnya dilanggar,” pungkas Abi Manyu.

Pelanggaran-Pelanggaran Perusahaan Tambang

Ada tiga aktivitas izin tambang yang beroperasi di Sungai Progo, yaitu PT. Citra Mataram Kontruksi (CMK) dan dua diantaranya milik badan usaha perseorangan yakni Pramudya Afgani dan Heru Iswadi.

Denah Lokasi Penambangan Pasir Sungai Progo (https://momi.minerba.esdm.go.id)

Budi Hermawan mengungkapkan bahwa PT. CMK merupakan badan produksi dan pembangunan (seperti embung), serta pemeliharaan jalan raya; sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang pertambangan.

PT CMK diduga kuat—berafiliasi dengan PT. Aneka Dharma Persada (ADP)—banyak melakukan pelanggaran aktivitas tambang. Beberapa pelanggaran yang dilakukan adalah penggunaan mesin sedot, penggunaan alat berat lebih dari dua, serta penggalian melebihi lima meter.

“Padahal menurut Rekomtek, itu semua tidak boleh. Bahkan kedalaman penambangan maksimal 5 meter,” terang Budi.

Pelanggaran lain juga dilakukan PT. CMK, yaitu operasi pertambangan melebihi durasi—hingga larut malam— dan pasir yang dimuat satu truk berisi 9-10 m3,  serta melanggar aturan maksimal angkut jumlah truk dalam satu hari. Standarnya, menurut Rekomtek—dijelaskan Budi—maksimal satu truk boleh memuat 5 m3 pasir dan maksimal (jumlah) angkut dalam satu hari hanya 28 truk.

“Sebagai dampaknya, terjadi perubahan aliran sungai.” Jelas Budi Hermawan.

Lebih dari itu, sosialiasi tambang dilakukan bukan pada warga yang terdampak langsung, melainkan pada warga di desa yang tidak terdampak. Hal tersebut bertentangan dengan Pergub DIY 46 Tahun 2015, BAB II, Bagian Ketiga Pasal 11 Ayat 3. Tanda tangan dokumen persetujuan pertambangan warga Jomboran pun dipalsukan.

Setelah kegiatan diskusi berakhir, LBH Yogyakarta dan seluruh peserta diskusi mengadakan konsolidasi sebagai upaya solidaritas terhadap masyarakat Sungai Progo dalam memperjuangkan lingkungan hidup.

Reporter Ahmad Zubaidi | Fotografer Fikry Ulil | Redaktur Musyarrafah