Warga mengalami kekerasan dari aparat kepolisian secara fisik maupun psikis. Perempuan dan anak-anak mengalami trauma hingga tak pergi sekolah. Beberapa warga yang ditangkap bahkan masih berstatus pelajar.
Lpmarena.com–Penangkapan puluhan warga Wadas oleh aparat kepolisian Purworejo terjadi pada Selasa siang, 8 Februari 2022 lalu. Julian dari LBH Yogyakarta, menjelaskan terdapat 67 warga yang ditangkap. Mereka yang dibawa paksa ke Polsek Bener lalu dipindahkan ke Polres Purworejo.
“Update hari ini ada 67 warga yang ditangkap dibawa ke Polres Purworejo, dan hari ini sudah dibebaskan semua,” jelasnya saat ditemui ARENA di Wadas pada Rabu (09/02).
Sore itu, 67 warga Wadas yang ditahan sudah dibebaskan. Namun diantaranya terdapat tiga warga Wadas yang awalnya berstatus pemeriksaan, naik menjadi penyidikan sebagai saksi. Menurut Julian, mereka dikenakan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Julian selaku kuasa hukum menjelaskan bahwa aparat menilai tindakan dari warga tersebut mengandung nilai provokatif.
“Karena ada dugaan ngetok gentong jadi dikira memprovokasi aparat gitu. Status tiga orang tersebut menjadi saksi,” jelas Julian.
Diantara 67 warga tersebut terdapat 13 warga yang berstatus pelajar. ARENA pun menemui dan mendengar kisah penangkapan mereka. Salah satunya Adam–bukan nama sebenarnya. Siswa SMK Ma’arif Kaliboto itu ditangkap dan diangkut oleh polisi sepulang sekolah. Saat itu Adam sedang berada di depan Masjid Nurul Huda tempat warga akan menggelar mujahadah. Dengan masih mengenakan seragam, Adam diseret.
“Jadi pas pulang sekolah jam sembilan, saya langsung kumpul di masjid karena warga lagi mujahadah. Lalu tiba-tiba saya ditarik polisi,” kisahnya saat ditemui ARENA di Polres Purworejo pada Rabu (09/02).
Siswa kelas 12 itu, sangat menyayangkan tindakan aparat kepolisian tanpa ada dialog dan kejelasan dalam proses penangkapan terhadap dirinya. Adam tak paham apa salahnya. “Semua yang ditangkap nggak ada kejelasan lho mas, kalo istilah jawanya ngawur,” lanjut Adam.
Pada saat itu ia menunggu acara mujahadah. Setelah beberapa jam menunggu di bangunan depan masjid, tiba-tiba aparat berseragam lengkap datang. Saat itu ia masih membawa tas sekolah di pundak. Kedatangan aparat membuatnya merasa ketakutan. Ia pun berupaya menghindari aparat kepolisian yang menyergapnya dengan berpura-pura menuju toilet. Namun polisi menghalangi geraknya dan kepalanya dipukul dengan tongkat.
Adam diangkut paksa di depan sebuah gedung TK. Posisinya tak jauh dari masjid. Disana ia melihat ada sekitar 10 warga yang lebih dahulu ditangkap sebelum dirinya. Namun ia pun dipisah dari warga tersebut.
Aparat kepolisian mengarahkannya untuk naik ke truk polisi yang siap membawanya ke polsek. Adam tentu berupaya keras membelot. Penolakan itulah yang dinilai oleh aparat sebagai tindakan perlawanan dari Adam.
“Nah, ini ngelawan toh,” ujar Adam meniru apa yang dikatakan polisi kepadanya. “Padahal ya ngak ngelawan, cuman membela diri,” lanjutnya.
Tak dapat berbuat apa-apa lagi, Adam digelandang ke Polsek Bener. Disana ia diinterogasi oleh aparat kepolisian. Proses interogasi terjadi dua kali. Ia menjelaskan bahwa proses kadua introgasi tersebut menggunakan pertanyaan yang sama. Seputar nama, kenapa ia disana dan kenapa melawan petugas serta apa yang ada dalam tas sekolahnya.
Dari Polsek Bener, Adam serta warga lainnya diangkut menuju Polres Purworejo sekitar sehabis magrib. Disana ia kembali diinterogasi sekitar pukul 10 malam. Pada proses interogasi kali ini Adam masih mendapatkan pertanyaan yang sama. “Lagi-lagi tas,” herannya sambil memegang tas yang hanya berisi buku dan alat tulis.
Adam yang masih berstatus pelajar diangkut oleh aparat tanpa sepengetahuan orangtuanya. Ia pun tak bisa mengabari karena ponselnya disita oleh aparat kepolisian. Selama ditahan, ia juga mencemaskan keadaan keluarganya di Wadas. “Ya kepikiran lah, saya kepikiran rumah, gimana orangtua juga.”
Tindakan aparat kepolisian tersebut sangat ia sayangkan. Pasalnya dirinya masih berstatus pelajar dan juga harus masuk sekolah keesokan harinya. “Ya sekarang bolos. Soalnya polisinya nggak kepikiran gimana atau bikin laporan buat sekolahan, buat izin ke sekolahan atau gimana gitu, nggak kepikiran kali ya?” tanyanya sambil mengeluh.
Pemuda berusia 19 tahun tersebut juga menyaksikan bagaimana tindakan aparat kepolisian terhadap warga lain. Ia mendapati warga yang dipukul dan diseret oleh aparat kepolisian. Salah satu yang terlihat oleh Adam adalah Wahid–bukan nama asli.
ARENA pun memintai keterangan Wahid terkait kronologi penangkapannya. Waktu itu ia berada di lantai dua bangunan dekat masjid. Sama seperti Adam, Wahid sekonyong-konyong ditangkap. Namun ia melarikan diri ke lantai satu dan masuk ke dalam kamar bersama lima orang temannya. Aparat kepolisian lantas menyusul datang dan mendobrak pintu.
“Kamar itu didobrak dan ditarik-tarik, terus dipukul,” kata Wahid.
Upaya penolakan sudah dilakukan Wahid. Namun ia tetap dipaksa oleh aparat kepolisian. Ia mengalami luka pada wajah bagian kiri. “Ini bekas batu-batu ini, kan aku ditarik tarik, terus muka kena tanah,” kisahnya sambil memegang bekas luka pada wajahnya.
Kekerasan oleh aparat tidak hanya dialami oleh Wahid, namun juga disusul oleh lima orang temannya. Ia menyaksikan temannya dipukuli dan diseret. Rekaman tindakan represif aparat itu masih menempel di ingatannya.
Pada awalnya Wahid berkumpul bersama dengan warga lain dalam rangka mujahadah. Hanya saja ia berada di luar masjid. Aparat yang datang menggerta alasannya ia berada disana.
“Ya saya kan namanya warga, kalau ada rame-rame ya ikutlah, waktu itu lagi mujahadah.”
Di saat yang sama, Wahid tak habis pikir dengan berbagai pemberitaan yang menjelaskan bahwa polisi menyita peralatan senjata tajam dari warga. Menurutnya senjata tajam itu milik warga yang memang mayoritas petani.
“Ya kan biasanya orang desa cari makan kambing, gak ada niatan bawa senjata lah. Saya petani, rata-rata warga Wadas bertani.”
Selain Adam dan Wahid, juga ada Ahmad. Mereka bertiga sama-sama sedang berkumpul di area masjid. Pemuda berusia 26 tahun ini juga mendapat kekerasan dari aparat kepolisian pada saat penangkapan.
“Nggak ada ditanya, ya langsung (ditangkap). Saya mau kabur gitu, takut lah ibaratnya, karena ada aparat banyak gitu,” kisah Ahmad.
Ia tidak mengetahui akan ada pengepungan oleh aparat kepolisian. Dalam keadaan panik Ahmad dan temannya kala itu berusaha menyelamatkan ponsel dan barang bawaannya yang akan disita paksa aparat. Tapi usahanya sia-sia.
Sekitar tujuh polisi menyergap Ahmad yang hanya seorang diri. Ia berusaha meminta pertolongan kepada siapa saja, namun tak ada yang menggubrisnya. “Semuanya sudah pada disikat,” terang Ahmad.
Setelah penangkapan itu, warga yang diringkus disuruh berkumpul dan diinterogasi terkait senjata tajam yang ada didekat mereka. Tak ada yang menjawab. Ahmad pun tak tahu-menahu adanya senjata tajam tersebut.
“Langsung saya dihajar sama orang orang itu.”
Ahmad melanjutkan kisahnya. Ia mendapat tindakan kekerasan fisik dari aparat kepolisian. Perut sebelah kanannya ditendangi polisi. Tak hanya itu, saat Ahmad dalam keadaan tergeletak di lantai, menyusul tendangan selanjutnya pada bagian leher.
“Yang ini (leher) pakai kaki, posisi lagi dibawah,” katanya sambil menunjukan lehernya yang bengkak.
Ia tidak ingat berapa aparat yang ikut serta menendangnya saat itu. Karena posisinya tergeletak di lantai. Lalu Ahmad digotong ke atas truk polisi. Lagi-lagi ia mendapat tendangan pada perut bagian tengah. “Sama perut bagian tengah dihantam yang itu pas posisi mau di bawa ke atas,” jelasnya kepada ARENA saat ditemui di Polres Purworejo sesaat setelah pembebasan.
Tolabuddin, salah seorang pemuda Wadas, menyatakan sikap atas tindakan aparat kepolisian terhadap warga Wadas. Ia berharap aparat kepolisian agar tidak berlaku sewenang-wenang terhadap warga.
“Karena kami punya hak dan kami juga manusia,” tegasnya saat dimintai pernyataan sikap di depan masjid desa Wadas.
Tolabuddin menjelaskan tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu terkait dengan kedatangan aparat kepolisian. Ia juga mencemaskan keadaan warga yang masih trauma dengan pengepungan aparat kepolisian dengan jumlah banyak secara tiba tiba. Proses mujahadah dilakukan sekitar pukul sebelas siang. Namun dengan kedatangan aparat kepolisian, warga merasa takut dan berbondong-bondong lari ke dalam masjid. Tolabudin menjelaskan mujahadah bukan merupakan bentuk aksi protes dari warga.
“Kalau ditanya ada aksi atau nggak, itu nggak ada,” jelas Tolabudin.
Senada dengan Tolabudin, Julian selaku tim kuasa hukum dari LBH Yogyakarta berharap agar situasi kembali kondusif dan aparat kepolisian harus segera ditarik mundur dari Desa Wadas. Menurutnya selama ini tidak ada tindakan kriminal dari para warga. Sehingga penangkapan paksa dengan tindakan represif tidak dibenarkan. Terhitung sejak proyek dimulai pada tahun 2018 hingga sekarang, tidak ada satupun warga terpidana.
Ia juga menyayangkan tindakan aparat kepolisian yang menimbulkan trauma dan rasa takut pada warga. Serta ia juga mempertimbangkan anak-anak yang terpaksa tidak sekolah disebabkan situasi yang tidak kondusif.
“Yang disampaikan gubernur tidak usah takut, namun fakta di lapangan banyak sekali masyarakat yang diambil dari dalam rumah secara paksa,” pungkasnya.
Reporter Muhamad Al Faridzi | Redaktur Dina Tri Wijayanti