Sejak tahun 80-an, IAIN Sunan Kalijaga sudah terkenal dengan keseniannya, berjalan selama 3 dekade, bagaimana kabarnya sekarang?
Lpmarena.com-Aktivitas seni menjadi salah satu kegiatan yang marak dilakukan pada tahun 80-an di Yogyakarta, khususnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Perguruan tinggi Islam ini telah menjadi salah satu poros kegiatan kesenian yang besar di Yogyakarta lewat diskusi, perbincangan hingga hal ihwal yang berkaitan dengan kesenian.
Berdasarkan salah satu arsip dalam Majalah ARENA, ed. III, tahun 2000, dalam kolom Momentum hlm. 33-35 dengan judul “Kesenian di IAIN Sunan Kalijaga, Perlu Bangkit dari Kejenuhan”, perjalanan kesenian di IAIN Sunan Kalijaga sudah bisa ditilik sejak tahun 60-an. Namun perkembangannya mulai terasa di tahun 80-an dengan banyaknya kegiatan bertema seni yang dilakukan, baik secara internal maupun eksternal oleh mahasiswa. Kegiatan internal, misalnya, acara student night yang dikoordinir oleh Dewan Mahasiswa (DEMA).
Student night dilakukan secara berkala, rutin, dan terjadwal, kata Faisal Ismail, Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga selaku narasumber dalam kolom Momentum. Kegiatan ini berisi pembacaan puisi, pentas, dan berbagai aktifitas seni yang dilakukan oleh mahasiswa IAIN.
Secara eksternal, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga juga menjalin komunikasi yang baik dengan seniman-seniman luar; Umbu Landu Paranggi, Ahmad Munif dan Emha Ainun Nadjib adalah beberapa diantaranya. Tokoh tokoh ini tergabung dalam Perseda Study Klub (PSK).
Fadrik Aziz dalam Legenda Umbu Landu Paranggi dan Persada Studi Klub di Malioboro, terbit di Tirto pada 10 Juli 2018, menyebut PSK sebagai komunitas medan kreatif penulis muda Yogya yang didirikan pada tahun 1968. Pendirinya adalah Umbu Landu Paranggi. Banyak jebolan PSK yang akhirnya menjadi penyair hingga prosais. Emha Ainun Nadjib, salah satu jebolannya pernah menulis puisi di Majalah ARENA, No. 2 tahun XVI/1991 dengan judul Menyusuri Jalanan Hak Asasi.
Prestasi mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga terkait dengan kesenian tidak berhenti sampai di sana. Bahrum Bunyamin, seorang mantan aktivis kesenian tahun 80-an yang menjadi narasumber lanjutan, mengatakan bahwa kesenian IAIN bisa melenggang dan tampil di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada dekade 80-an. Tak berhenti sampai di sana, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga pernah menyurati kelompok kesenian IAIN Sunan Kalijaga untuk tampil di Manila, Filipina.
Titik Jenuh Kesenian Tahun 90-an
Meriahnya aktivitas kesenian di tahun 80-an ternyata tidak membuat tahun 90-an mengalami hal serupa. Otto Sukatno, penggerak kesenian IAIN Yogyakarta tahun 80-an memandang kesenian di tahun 90-an mengalami titik jenuh. Mengutip dari kolom Momentum Majalah ARENA hlm. 33, Otto mengungkapkan bahwa kesenian ataupun gerakan sastra yang ada di IAIN bersifat individual; masing masing orang ingin tampil karena dirinya sendiri. “Dulu semua (kesenian) bisa menyatu dalam gerak yang sama. Semua mampu melakukan dialog bersama, walau menggunakan bahasa yang berbeda. Sastra tetap sastra, teater tetap teater, tapi memiliki nilai spiritualitas yang sama,” paparnya.
Bahrum memiliki pendapat yang berbeda mengenai keadaan kesenian di IAIN tahun 90-an. Menurutnya, posisi dan kondisi kesenian hanya surut, belum mati sama sekali. Kegiatan kesenian memang masih berjalan, namun tidak bisa dilakukan secara komunal karena tiap kelompok bergerak secara individu.
Faktor lain yang menyebabkan turunnya antusiasisme kesenian di IAIN tahun 90-an, menurut Otto Sukatno, adalah penggerak kesenian yang mirip seperti masyarakat urban. Cirinya adalah datang dan segera pergi, tanpa sempat menciptakan tradisi. Belum lagi dengan kehidupan akademik yang terbatas; adanya Sistem Kredit Semester (SKS) dan Drop Out (DO) membuat aktifitas kesenian kurang berkembang. Inilah yang menyebabkan perjalanan penggerak kesenian hanya bisa dilakukan setengah jalan.
Faisal Ismail menambahkan, faktor menurunnya kesenian di IAIN tidak hanya berkaitan dengan akademik, melainkan juga kurangnya eksposur media. Di tahun 80-an, ARENA memberikan ruang yang memadai untuk berkembangnya kesenian, meski hanya terbit sebulan kali. ARENA juga memberikan dorongan penulisan esai yang berkaitan dengan kesenian ataupun puisi, serta ruang kantor untuk melakukan diskusi kesustraan. Dorongan tersebut cukup kuat, apalagi dengan pemberian honor bagi penulisnya.
Edeng Syamsul Ma’arif, salah satu anggota Teater di tahun 90-an mengungkapkan kurangnya respons rektorat terhadap aktifitas kesenian. Mengutip wawancara dengan Edeng di Majalah ARENA kolom Momentum halaman 35, banyak kelompok kesenian yang mengundang pihak rektorat untuk melihat pertunjukan, tetapi akhirnya mereka tidak mau datang,
Edeng memaklumi hal tersebut, mengatakan bahwa begitulah birokrasi; memberikan dukungan berdasarkan perhitungan kalkulatif tertentu. Meski demikian, Edeng menganggap bahwa ada atau tidaknya rektorat tidak memberikan pengaruh besar pada kesenian di IAIN. Ini terlihat dengan perkembangan kesenian tahun 80-an yang tidak didukung rektorat, namun tetap bisa menghasilkan banyak kegiatan.
Kesenian UIN Saat Ini, Apakah Mengalami Kemunduran?
Dengan Keputusan Presiden No 50 Tahun 2004 Tanggal 21 Juni 2004, IAIN Sunan Kalijaga berganti nama menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga. Pengembangan lembaga ini tentunya menjadi terobosan baru bagi UIN Sunan Kalijaga di dunia pendidikan, namun bagaimana dengan corak keseniannya? Apakah perubahan instansi membuat kesenian di UIN Sunan Kalijaga berubah?
Menurut Abdul Rohim dalam wawancaranya dengan ARENA, sebagai mantan aktivis seni UIN Sunan Kalijaga, UIN tetap memiliki corak seni yang spesifik. Corak tersebut terlihat dengan hadirnya segi keislaman dalam tiap pertunjukan yang digelar. Kesenian ini menjadi karakter yang melekat pada komunitas maupun UKM Kesenian yang ada di UIN.
Terkait dengan perkembangannya, pria yang akrab disapa Doel itu menganggap bahwa kesenian di UIN mengalami penurunan. Terlihat dengan makin terbatasnya ruang UKM dan komunitas kesenian untuk berkembang. Ini menyebabkan eksplorasi seni yang dilakukan kurang maksimal, “Berkesenian itu bukan hanya dilihat dari seberapa dia memproduksi karya, tapi juga seberapa dia mengeksplorasi kesenian sampai ke prosesnya, sampai ke produknya,” tambahnya.
Penurunan kesenian ini bukan tanpa alasan. Menurut Doel, kampus sebagai ruang dan wadah komunitas turut berperan. Kampus mulai memberikan batasan jam untuk latihan UKM. Apalagi dengan hadirnya pandemi, banyak ruang kampus yang tidak bisa diakses oleh anggota UKM, pun jika bisa diakses, hanya diberikan waktu yang terbatas untuk pemakaiannya.
Faktor lainnya adalah mahalnya biaya UKT, “Sekarang UKT di UIN kan jumlahnya lumayan bagi mahasiswa, segmen UIN sebenarnya mahasiswa menengah ke bawah. Dulu UKM dan komunitas kesenian bisa tumbuh karena biaya kampus yang terjangkau dan punya waktu yang longgar,” tandasnya.
Karena faktor itulah ruang gerak anggota kesenian UIN terbatas, produk kesenian yang dihasilkan terkesan kurang matang. Doel menggangap produk kesenian di UIN hanya itu-itu saja, tidak seradikal dulu. Belum lagi jumlah anggota UKM dan komunitas kesenian yang terus menurun, eksplorasi dan esensi ini akan terasa kurangnya.
Lalu bagaimana dengan perkembangan kesenian di UIN Sunan Kalijaga satu dekade terakhir ini?
Berdasarkan penelitian angket yang dilakukan oleh Pusat Analisis dan Data (PUSDA) ARENA pada bulan Oktober-November 2021, minat mahasiswa baru terhadap kesenian UIN masih cukup tinggi. Hal tersebut juga dibuktikan dengan banyaknya pendaftar yang masuk di beberapa UKM kesenian ketika open recruitmen dilakukan. Meski jumlah kuantitasnya meningkat, tak bisa disangkal ‘seleksi alam’ juga terjadi dan membuat jumlah anggota UKM dan komunitas kesenian UIN menurun setelahnya.
Farid sebagai anggota UKM Teater Eska ketika diwawancara oleh ARENA mengakui, pada tahun 80-an aktivitas kesenian di UIN memang tinggi. “Dulu, UIN (ketika masih menjadi IAIN) dikenal dengan kesenian dan budaya yang dimiliki, setelah berganti wajah menjadi menjadi UIN, fokusnya berubah ke politik dan akademik.”
Kegiatan kesenian memang terus dilakukan setiap tahun, namun sebagaimana kesenian IAIN tahun 90-an, banyak kegiatan dilakukan secara personal, tidak dilakukan bersama. Terdapat gap antar orang, bahkan antar UKM. “Anak seni hanya berkumpul dengan anak seni, anak politik dengan anak politik, anak UKM dengan anak UKM,” tambahnya.
Menurutnya, kesenian di UIN juga masih ramai aktifitas, hanya saja tidak terekspos, “Ada anak UIN yang buat musik, alat musik, membuat album dan melakukan aktifitas kesenian lain, tapi ya itu, mereka individual, tidak masuk UKM.”
Masalah yang dihadapi oleh UKM dan komunitas kesenian di UIN belakangan ini juga tidak berbeda jauh dengan tahun 90-an. Pendeknya masa studi, bertambahnya jam kuliah, mahalnya biaya pendidikan, dan terbatasnya ruang untuk latihan menjadi momok bagi anggota kesenian di UIN.
Saran yang diberikan oleh Otto Sukatno dan Matori A. Elwa untuk anggota kesenian IAIN di akhir tahun 90-an masih terasa relevan dengan saat ini. Mengutip dari kolom Momentum Majalah ARENA tahun 2000 hlm. 37, aktivis kesenian UIN harus membuka akses ke luar, harus terus berkarya, dan tidak mempersoalkan peluang. Otto yakin, peluang akan selalu ada di mana saja dan kapan saja. Matori juga menyambung, yang terpenting adalah membangun semangat berjuang, mengintensifkan komunikasi dan terus berkarya.
Pembaca bisa membaca arsip Majalah ARENA Tahun 2000 edisi III kolom Momentum dengan judul, “Kesenian di IAIN Sunan Kalijaga, Perlu Bangkit dari Kejenuhan” melalui tautan berikut ini.
Sedangkan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Majalah ARENA, No. 2 tahun XVI/1991 dengan judul Menyusuri Jalanan Hak Asasi dalam tautan ini.
Penulis Dian Lathifah | Redaktur Sidratul Muntaha | Ilustrator M Dzaky Samsul Anwar