Home BERITA Monolog “Mentari Tenggelam di Tengah Hari” Jadi Cermin Daruratnya Kasus Kekerasan Seksual

Monolog “Mentari Tenggelam di Tengah Hari” Jadi Cermin Daruratnya Kasus Kekerasan Seksual

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Apakah keadilan juga kumal, bobrok, penuh borok?

Serigala-serigala akan terus hidup meski dibunuh berkali-kali

Ajari aku cara melihat dunia kembali.” – Monolog Mentari Tenggelam di Tengah Hari

Lpmarena.com-Sekar berteman baik dengan bunga tidurnya, sebelum kejadian buruk menimpa dan membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Dalam mimpi ia selalu menemui serigala-serigala keji yang menerkam seluruh tubuhnya, memerkosanya. Dia kehilangan jiwanya, membisu dan mengurung diri di kamar. Sekar merupakan gambaran derita korban kekerasan seksual. 

Potret itu dilakonkan dalam sebuah monolog bertajuk “Mentari Tenggelam di Tengah Hari” yang digelar Selasa (15/03) di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Pentas monolog ini diinisiasi oleh Komunitas Jejer Wadon dan Monolog Pejalan dalam momen peringatan Hari Perempuan Internasional.

Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret. Sudah seabad lebih hari tersebut menjadi momen perempuan dalam menuntut hak-haknya. Namun kesetaraan gender dan ruang aman bagi perempuan masih terus menjadi pertanyaan. Tindak tak adil hingga kekerasan acap kali terjadi, baik tercatat maupun tak tercatat. Protes dan kampanye atas isu kekerasan terhadap perempuan disuarakan melalui beragam medium, tak kecuali melalui seni.

“Karena lewat apa lagi? Hukum pun gak menjamin. Melalui media lain juga masih bias. Kita harus menyuarakan lewat seni, karena seni digemari masyarakat, dia lebih sering didengar daripada media lain,” kata Indah Ayu Setyawati, pemeran tokoh Sekar dalam pentas monolog, saat ditemui ARENA selepas acara. 

Menurut data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2022, kasus kekerasan berbasis gender mengalami lonjakan tajam. Sebesar 80% total laporan yang diterima, yakni dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus pada 2021. Artinya terdapat sekitar 16 kasus kekerasan setiap harinya. Temuan kasus ini seolah berhenti jadi deretan angka apabila tidak dibarengi dengan sumber daya kelembagaan yang memadai. Terlebih, berdasarkan fakta dan temuan Catahu tersebut, kasus kekerasan terhadap perempuan saat ini kian kompleks dan beragam.

“Isu ini memang urgent banget. Kita ramai-ramai di sini dengan pentas monolog, mungkin di belahan Indonesia lain, ada perempuan diperkosa, atau pelajar yang mengalami kekerasan seksual, ibu rumah tangga yang di-KDRT, atau bahkan ada yang lebih tragis lagi. Ceritanya memang kompleks,” terang Gigin Hilal Ahmadi, penulis naskah dari Komunitas Monolog Pejalan.

Gigin berharap pementasan tersebut bisa menjadi pijakan awal agar  masyarakat lebih peka terhadap isu kekerasan seksual dan ikut menyuarakan apa yang terjadi di lingkungannya. Darurat kekerasan seksual pun disimbolkan dalam pembukaan monolog, dimana seluruh penonton di ruangan secara serentak memukul kentongan. Acara kemudian dibuka dengan pembacaan puisi berjudul “Setara” oleh Fitri Nganthi Wani.

Senada dengan Gigin, Indah menceritakan bahwa kisah tokoh Sekar hanya satu dari sekian kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Perempuan, kerap kali menjadi korban, baik fisik maupun psikis. Tekanan hadir dari berbagai pihak, tak terkecuali di meja hukum. Pentas monolog malam itu menceritakan betapa Sekar tak mendapat keadilan di hadapan hakim, pelaku pemerkosanya tak mendapat hukuman setimpal. Hingga akhirnya Sekar membunuh sendiri pelaku yang menjelma serigala lewat mimpinya.

Monolog digelar bersama Jejer Wadon, komunitas yang bergerak di isu perempuan dan seni. Pentas itu sekaligus penggalangan dana bagi para penyintas untuk mengakses layanan medis ataupun konseling yang seringkali sulit didapat. Dana tersebut akan disalurkan melalui Pusat Kajian Perempuan Solo (Pukaps).

Dalam monolog, Sekar menceritakan bahwa perempuan seringkali terpojokkan dan tak mendapat penanganan yang berarti bagi pemulihannya. Sekar hanyalah cermin dari sekian ketidakadilan yang dialami perempuan. Kasus-kasus kekerasan masih banyak terjadi dan banyak pula yang belum terangkat ke permukaan. 

“Sebagai perempuan kita harus bisa menyuarakan hati kita, harus menyuarakan pikiran kita, harus berani menentang jika itu tidak benar,” pungkas pemeran Sekar.

Reporter Dina Tri Wijayanti | Redaktur Atikah Nurul Ummah