Home KANCAH Pada Akhirnya Kita Semua adalah Target Pasar

Pada Akhirnya Kita Semua adalah Target Pasar

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: M. Jia Ulhaq*

Beberapa waktu lalu Presiden China, Xi Jinping, melarang warganya mengunggah konten pamer kekayaan secara berlebihan di media sosial. Seperangkat aturan di internet ini juga membatasi selebritas dan penggemarnya menyebar opini yang tak selaras dengan nilai-nilai sosialis.

Sikap Pemerintah China ini di lain sisi mampu menumbuhkan ketertiban umum, kebiasaan yang baik, dan mempertahankan gaya hidup sehat sesuai dengan kebutuhan. Pun di saat yang sama, hal ini menunjukkan betapa dunia internet punya pengaruh besar terhadap gaya hidup masyarakat.

Era digital saat ini menghadirkan kiblat gaya hidup baru. Munculnya Instagram, YouTube, Facebook dan media sosial lain, mengajak para jamaahnya menghamba pada tren. Media sosial, dengan fitur marketplace yang disematkan, membuka ruang bagi masyarakat untuk kian mudah berinteraksi dan melakukan transaksi. Dengan begitu, keberadaannya menjadi ceruk pasar baru untuk meningkatkan jumlah konsumen.

Dikutip dari Global Data Headlines tahun 2021, lebih dari separuh total populasi dunia mampu mengakses internet menggunakan ponsel mereka. Bahkan, sebanyak 53,6% atau 4,2 miliar dari penduduk merupakan pengguna aktif media sosial.

Banyaknya pengguna aktif media sosial tentu menjadi ladang ekonomi tanpa batasan ruang dan waktu. Disinilah letak keunggulan ekonomi digital yang membuat para konsumen bersenang hati. Tanpa harus melangkahkan kaki, tinggal ketuk dengan jari, barang sudah di mari. 

Transaksi model ini sekarang sudah menjamur dan geliatnya memunculkan beragam pekerjaan baru. Kini sering kita dengar istilah endorsement, freelancer, digital marketing dan masih banyak lagi. Endorsement menjadi salah satu pekerjaan yang paling diminati oleh masyarakat hari ini. Selebgram dan Seleb Tiktok, hanya bermodalkan jumlah pengikut di media sosial, bisa menggaet konsumen. Iklan gaya baru ini menjual popularitas sebagai daya tarik untuk membeli produk yang dipromosikan.

Tak jarang seorang seleb menarik perhatian publik melalui produk yang dipakai. Orang pun berbondong-bondong membeli satu produk sekadar mengikuti tren. Strategi pasar semacam ini memicu  hasrat masyarakat untuk berlomba-lomba mengikuti zaman dengan membeli produk yang digunakan oleh seleb idolanya. Inilah yang mengakibatkan seseorang justru terperangkap dalam manipulasi kapital.

Penyeragaman dan Kesenjangan

Herbert Marcuse, yang dijuluki Bapak Gerakan Kiri Baru, dalam hal ini menjelaskan bagaimana masyarakat kontemporer mendewakan konsumsi sebagai kesenangan materi belaka. Apa yang dikonsumsi masyarakat saat ini tak lagi berdasar pada nilai guna dan nilai tukar. Sehingga masyarakat tanpa sadar telah tergiring dalam satu dimensi yang pasif dan reseptif. Kita cenderung menerima begitu saja tren yang hadir dan tidak ada upaya mencapai perubahan.

Kita tahu bahwa kebutuhan seorang individu seolah begitu beragam. Munculnya produk-produk yang menunjang gaya hidup memberikan tekanan untuk memperoleh prestise ini-itu. Hasrat untuk menyamai tren mode hari ini terlampau besar tanpa didasari kesadaran akan kebutuhan. Gaya hidup kita sekonyong-konyong dipicu melalui iklan endorsement. Bukankah obsesi ini hanya menjadi sia-sia? Kita seakan didikte oleh barang yang menjadikan manusia sebagai objek kapital. Tren dan gaya hidup mendidik manusia abad ini untuk menjadikan kebutuhan hidup tidak lagi didasari atas kegunaanya.

Pada saat yang sama, pola konsumsi yang berkiblat pada tren malah menimbulkan jurang kesenjangan. Hantaman pandemi Covid-19 mengakibatkan ekonomi masyarakat lesu. Sementara, ragam tren produk justru makin berkembang semata untuk menunjang gaya hidup. Barang yang kita beli kini tidak hanya ditilik dari fungsinya. Masker contohnya, sekarang tak hanya digunakan untuk mencegah virus tapi juga bagian dari style. Maka lahirlah variasi masker yang kemudian disesuaikan dengan aneka fashion.

Lalu secara tak langsung, perbedaan status sosial yang didasarkan pada pola dan produk konsumsi ini, seringkali menghambat interaksi sosial. Seseorang dengan gaya konsumsi yang berbeda dari masyarakat di lingkungannya, akan cenderung mengalami tekanan psikologis dan sosial. Sebab ia akan terdorong untuk memenuhi kebiasaan (habitus) yang ada di lingkungan sosial ia tinggal.

Iklan dan Pendewaan Brand

Lambat laun kebiasaan mendamba tren ini menjadi satu budaya yang kita kenal dengan konsumerisme. Inilah produk kapital yang kemudian mendorong manusia kepada keseragaman. Hasrat meniru pola konsumsi orang lain ada secara terus menerus. Meski pada dasarnya kebutuhan manusia itu tidak bisa disamaratakan, lingkungan mendesak kita untuk mengikuti ritme dari apa yang digunakan. Seseorang yang memiliki produk yang sedang tren di lingkungannya, akan mendorong individu lain mengekor budaya konsumsi sekitarnya.

Perilaku ini dilakukan semata-mata demi pengakuan sosial. Seorang teman yang memakai gawai iPhone atau merek yang sedang tren dengan harga mahal, juga akan memengaruhi sekelilingnya untuk mengejar eksistensi di lingkungan sosial.

Kita tentu ingat kabar tentang seorang pria asal Wuhan yang rela menjual ginjalnya  pada tahun 2011 silam. Remaja 17 tahun itu merelakan organ tubuhnya demi mendapatkan iPhone 4 dan iPad. Beberapa tahun berselang, kondisinya memprihatinkan dan harus berbaring di tempat tidur sepanjang waktu. Kasus ini memberi gambaran tentang bagaimana budaya konsumsi benar-benar bisa menjangkiti masyarakat. Status sosial yang tinggi, yang ditunjang dengan segala macam produk trendy, tak selamanya membawa kebahagiaan, justru akan menjerumus pada kebahagiaan semu.

Tindakan-tindakan ‘irasional’ semacam itu tentu tak lahir dari dorongan internal saja, tapi juga faktor eksternal. Iklan, dalam hal ini punya pengaruh besar dalam strategi pasar. Terpaan iklan yang konsisten dan masif mampu memanipulasi persepsi khalayak. Iklan bisa saja memanipulasi keadaan, seakan-akan dalam dunia nyata akan sama dengan apa yang ditampilkan. Jean Baudrillard, Pakar Kebudayaan dan Filsuf Kontemporer asal Prancis, menyebut iklan sebagai simulasi. Artinya, iklan adalah titik strategis proses simulasi dalam berkuasanya kejadian semu. Simbol dalam iklan yang ditampilkan mendorong individu untuk meningkatkan hasrat membeli, tanpa perhitungan jangka panjang.

Baudrillard juga menyebut bahwa iklan adalah media massa paling hebat. Di setiap  gambar yang ditampilkan, iklan mampu memaksa individu mengambil satu keputusan atas pesan bujukan yang dimuat dalam iklan. Anak kos yang tidak begitu bisa memasak, cenderung membeli bumbu yang ia ingat di iklan, bukan bumbu penyedap lain.

Ujungnya, budaya konsumerisme adalah strategi kekuasaan itu sendiri. Dominasi modal mereka sedemikian rupa berpengaruh terhadap habit kita sebagai individu. Pola konsumsi tak lagi untuk memenuhi yang kurang, apalagi meningkatkan kualitas hidup sebagai jalan kehidupan. Kita tanpa sadar sedang menuju kebahagiaan semu. Singkat dan tidak pasti.

*penulis adalah anggota Yayasan Rhetor | Editor: Fatan Asshidqi | sumber gambar: honestlywtf.com