Lpmarena–“Jah, Jah. Kita ini, loh, sebagai kaum perempuan yang kerjaannya, tuh, seharian cuma sibuk urus rumah, urus anak, masak nasi, cuci piring, cuci baju, mbok yo, sekali-sekali keluar rumah, toh, Jah. Cari hiburan.” Paijah hanya terus menggoreng, membiarkan Iyem, Asnin, dan Ratna menggerundel karena dirinya tak mau diajak nonton ludruk. Demikian salah satu adegan dalam Studi Pentas Sanggar Nuun bertajuk Malam Jahanam di Parkiran Terpadu Saintek UIN Sunan Kalijaga, Minggu (20/03).
Karya Matinggo Boesje, naskah Malam Jahanam ditulis tahun 1958. Hamdani, selaku sutradara menjelaskan ada sepuluh naskah yang dipertimbangkan untuk pementasan. Malam Jahanam terpilih karena mengusung cerita konflik sehari-hari.
“Problemnya sangat dekat dan sederhana tapi, jarang diperhatikan,” papar Hamdani saat sarasehan sehabis pentas.
Malam Jahanam memotret dinamika masyarakat, khususnya keluarga dan perempuan. Bagaimana perempuan masih diobjektifikasi, juga dianggap hanya melakukan pekerjaan rumah tangga. Dalam naskah tersebut, Paijah adalah istri Mat Kontan. Sebagaimana istri pada umumnya, kegiatan Paijah hanya seputar memasak, mengangkat jemuran, dan merawat anak. Dia tak sempat untuk melakukan hal lain, bahkan untuk menonton ludruk karena harus menjaga bayinya yang sakit.
Sedangkan suaminya, Mat Kontan, hanya memedulikan burung-burungnya dan main judi. Dia hanya melakukan hobinya, melupakan keluarga yang seharusnya dibina. Saat mengetahui burung beonya hilang, dia kalap menanyai Paijah. Si sinting Utai memberi tahu Kontan bahwa dia melihat bangkai beonya. Kontan semakin kalut dan bersikeras mencari siapa yang memotong leher beo kesayangannya. Padahal anaknya sedang demam.
Mendengar itu, Paijah keluar dari rumah lalu berujar, “Halah… Perkara beo aja ributnya sampai ke langit. Anaknya enggak dipikirin. Tan, kalau anakmu mati bagaimana?”
Konflik kecil di atas membidik dengan tepat isu keluarga yang menjadi alasan utama Hamdani menyadur dan mementaskan ulang naskah 60-an ini. Dia ingin menyampaikan pentingnya peranan orangtua.
“Orang yang dibesarkan dalam keluarga yang baik, kemungkinan akan baik juga, begitupun sebaliknya. Manusia ditentukan oleh keluarganya,” tuturnya.
Tak hanya isu keluarga, Malam Jahanam juga memuat wacana objektifikasi tubuh perempuan. Hal tersebut terlihat dalam adegan Mat Kontan, Soleman, dan Pak Rusli yang membandingkan baju apa yang lebih cocok dipakai Paijah. Soleman dan Pak Rusli berpendapat, daripada rok, Paijah lebih cocok memakai kebaya karena sempit dan menggiurkan. Mat Kontan malah senang mendengar pendapat kedua temannya.
Latar yang ditampilkan dalam pementasan tersebut ialah kehidupan masyarakat pesisir dengan corak Madura. Sebenarnya, naskah asli berlatar Lampung. Namun, karena sulit observasi, Hamdani menggantinya dengan Madura. Alasan lainnya menggunakan latar Madura adalah karena sang sutradara berasal dari pulau garam itu dan untuk memudahkan produksi, seperti celetukan, gimik, dan gurauan.
Selain perubahan latar tempat dan waktu, Hamdani menerangkan adanya penambahan aktor yang semula lima ditambah jadi sepuluh. Isu yang ditekankan ialah isu kontrol sosial dan keluarga di masyarakat pesisir di Madura. Menurut Hamdani, naskah lama ini masih relevan untuk dipentaskan di era sekarang. “Konflik dan alurnya menarik, jadi isunya bisa mengenai generasi tua dan muda sekalipun,” pungkasnya.
Reporter : Musyarrafah | Redaktur : Atikah Nurul Ummah