Home BERITA Kisah Azul Maya dan Tantangan Menulis Tentang Perempuan

Kisah Azul Maya dan Tantangan Menulis Tentang Perempuan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Apapun hukum yang menjerat mereka, para pemerkosa itu akan kembali hidup di tengah masyarakat. Sementara mereka yang telah rusak, terluka, dan terhina tetap tak punya hak bicara, apalagi menentukan sendiri bagaimana mereka akan menata ulang kehidupan masing-masing.” (Kutipan cerpen Azul Maya dalam Kitab Kawin karya Laksmi Pamuntjak)

Lpmarena.com-Komunitas Semut Merah Kaizen mengadakan Festival Puasastra bertajuk “Sastra, Isu Sosial dan Perempuan”, melalui kanal live Instagram, Kamis (07/04). Laksmi Pamuntjak, novelis Kitab Kawin, menerangkan alasan menulis isu perempuan ialah karena adanya pergolakan dalam dirinya sebagai perempuan saat melihat diskriminasi gender, khususnya dalam lingkup keluarga.

Ada tantangan-tantangan yang dihadapi Laksmi saat menulis persoalan perempuan, salah satunya yakni situasi yang kompleks dan berbeda.

“Setiap orang punya kondisi tersendiri. kadang sulit dicerna dan berat untuk diceritakan. Dibutuhkan empati dan pendekatan. Terlebih isu kekerasan seksual yang berpotensi jadi kontroversi dan sulit diterima orang-orang,” terang Laksmi.

Kisah Azul Maya, salah satu cerpen dalam karyanya (Kitab Kawin), merupakan kisah yang sangat menantang untuk Laksmi tulis. Kisah tersebut berdasarkan kisah nyata yang ia baca di media massa.

Azul Maya, gadis berusia 15 tahun yang diperkosa berkali-kali oleh ayahnya, Sigit, di rumahnya sendiri. Tidak ada satu pun anggota keluarganya yang berani angkat suara dan melindunginya, termasuk ibunya sendiri.

Lia, bibi Maya, tahu apa yang dialami ponakannya. Lia mengeluhkan hal ini kepada suaminya dan ingin melaporkan Sigit. Akan tetapi saat Lia berbicara dengan suaminya, ia pun menemukan kebuntuan karena ternyata Sigit memiliki relasi di penjara yang membuatnya mudah untuk keluar masuk penjara.

Sebagai sesama perempuan, menulis tentang kekerasan bagi Laksmi tidaklah mudah. Hal itu karena  kekerasan seksual berkaitan dengan pelanggaran, penistaan, penzaliman, dan penghancuran terhadap tubuh dan jiwa perempuan. Juga tentang masa depan yang direnggut. Apalagi pelakunya adalah ayah kandung, orang pertama yang seharusnya melindungi putrinya.

Laksmi juga menyinggung gagasan keluarga ideal yang selalu dikaitkan dengan perempuan. Dalam struktur keluarga modern yang memungkinkan perempuan untuk bekerja dan mengejar cita-cita pun, perempuan mempunyai beban moral yang banyak. Mulai dari mengurus anak, suami, dan rumah, hingga menjaga perilaku dan keutuhan keluarga.

Ketika perempuan tak berhasil menjalankan peran yang dipaksakan kepadanya, ia akan diasumsikan sebagai perempuan yang gagal dan cacat. “Asumsi konstruksi sosial ini sering membuat saya gemas,” ujar Laksmi.

Maka penting bagi perempuan untuk mendidik diri sendiri tentang hak-hak mereka di setiap lini kehidupan, bukan dalam perkawinan saja.

Laksmi pun berharap perempuan senantiasa bebas untuk menulis tentang hak, perasaan, dan pikiran perempuan, serta berani menyuarakan kebenaran yang ingin mereka sampaikan dengan cara  mereka sendiri.

Reporter Jihad Maura (Magang) | Redaktur Musyarrafah | (Sketsa: Patrick Wowor)