Saya lahir di kampung. Lazimnya orang kampung, pembagian kerja antar anggota keluarga cukup jelas. Bapak pergi mencari nafkah, ibu mengurus rumah, dan anak-anak membantu semampunya. Tentu saja disesuaikan dengan jenis kelamin si anak. Antara anak laki-laki dengan anak perempuan, porsi dan proporsi membantu mengurus rumah memang berbeda.
Dalam dua dekade belakangan, pembagian kerja semacam itu mulai digugat oleh kaum perempuan. Pembagian kerja yang dibedakan menurut jenis kelamin malah membuat perempuan cenderung terdiskriminasi, sampai akhirnya tidak memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Dari problem ini, akhirnya muncul banyak problem lain yang selama ini dinilai lumrah, tapi justru menjadi kritik balik untuk membuat konstruksi baru yang lebih adil, khususnya dalam pembagian kerja.
Polemik semacam itu oleh Katrine Marcal dinilai sebagai keberhasilan di satu sisi, namun juga berpotensi besar untuk gagal dan latah jika problem lanjutan tidak disikapi dengan bijak. Ia juga tidak memungkiri fakta bahwa dalam beberapa tahun belakangan, ada banyak perempuan yang memiliki peran penting dan strategis di ruang publik. Tetapi ia juga tidak bisa menyangkal dengan adanya sekian problem yang terus-menerus bermunculan dari masa ke masa.
Seperti misalnya antara perempuan yang berpendidikan, memiliki karir cemerlang, dan memutuskan untuk memiliki sedikit anak, dengan perempuan yang kurang berpendidikan dan bekerja di rumah yang melahirkan lebih banyak anak. Keduanya sama-sama memperoleh penilaian negatif dari masyarakat. Sebab, mereka yang berkarir tidak memiliki waktu yang cukup untuk memberi asuhan kepada anaknya sedangkan, mereka yang tidak berkarir dianggap sebagai bukan perempuan baik-baik dan tidak bertanggung jawab.
Problem itu ditulis Katrine Marcal sebagai pembuka di bukunya berjudul Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? (2020). Buku yang tebalnya sekitar 226 halaman ini, secara terang-terangan ingin menguak dan mengkritik tajam sekian problem yang muncul dari relasi antara perempuan dengan ekonomi.
Kenapa ekonomi? Pasalnya, buntut dari aspek ekonomi ini, perempuan lamat-lamat memperoleh penilaian yang berjarak dengan manusia seutuhnya. Pun posisi perempuan dan laki-laki tetap saja terlihat timpang, kendati upaya pemenuhan kualifikasi pengetahuan, keterampilan, pendapatan pekerjaan, dan kecakapan dari perempuan terus mengalami perbaikan.
Konstruksi Manusia dari Ilmu Ekonomi
Karena konon, ilmu ekonomi itu didefinisikan sebagai ilmu tentang cara manusia untuk mencadangkan kasih sayang. Ilmu ekonomi juga lekat tentang kompetisi dan kalkulasi untung rugi. Maka dari itu, di tahun 1776 Adam Smith pernah menulis: “Bukan karena kebaikan hati tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri-sendiri” (hlm. 10).
Pernyataan itu berlaku sebagai pondasi dasar dari ilmu ekonomi selama berabad-abad, bahkan sampai hari ini. Katrine Marcal melihat ini sebagai dua bentuk kegagalan sekaligus. Pertama ilmu ekonomi sebagai ilmu yang membuat manusia bisa bersikap egois. Selama kepentingan diri sendiri cukup atau bahkan lebih, maka tidak jadi persoalan ketika yang lainnya mengalami kekurangan. Kemudian yang kedua, manusia terlalu disimplifikasi dengan sikap yang cenderung individualistik dengan kalkulasi untung rugi.
Jika manusia bergerak seperti yang ditulis oleh Adam Smith, maka posisi perempuan semakin dianggap hanya sebagai pelengkap saja. Karena laku memasak, mencuci, mengepel, menanak nasi, dan menyetrika tidak memiliki kontribusi terhadap akumulasi kesejahteraan dan ketahanan pangan di dalam keluarga. Seakan-akan semua aktivitas manusia disandarkan pada logika keuntungan: Jika saya melakukan ini, maka saya peroleh itu, jika saya sudah tidak butuh itu, maka saya bisa mencari orang lain untuk melakukannya.
Sementara itu pekerjaan-pekerjaan di ranah domestik seperti yang di sebut di atas kebanyakan dilakukan oleh perempuan. Maka konsekuensinya menjadi jelas ketika dilihat dari perspektif ilmu ekonomi bahwa, perempuan jika mau berkontribusi untuk kesejahteraan dan dinilai sebagai manusia perlu untuk melakukan kerja yang menambah penghasilan pundi-pundi ekonomi. Perspektif yang saya rasa memaksa perempuan untuk melakukan hal-hal yang mungkin tidak disukai dan berjarak dengan rasa kemanusiaan-kebebasan.
Tetapi lagi-lagi ilmu ekonomi memiliki solusi untuk mengatasi problem tersebut. Karena apa yang terdapat pada tubuh, baik laki-laki maupun perempuan adalah modal yang dapat menghasilkan kapital. Ekonom membungkusnya dengan sebutan potensi. “Pendidikan, keterampilan, bakat, dan kompetensi orang, menurut Smith, dapat dipandang sebagai sebentuk kapital” (hlm, 147). Maka wajar jika belakangan di masyarakat kita sendiri, segala yang melekat melulu dikaitkan dengan kerja dan gaji. Lulusan perguruan tinggi yang belum peroleh kerja, atau memiliki keterampilan namun tidak berambisi untuk kaya dengan keterampilannya, oleh masyarakat sama-sama peroleh cemooh dan gunjingan.
Katrine Marcal menyikapi dengan sinis cara berpikir yang diproduksi oleh ekonom yang mulai mengakar kuat di masyarakat ini, termasuk masyarakat kita. Katanya, “Kenyataan memang demikian. Melalui istilah “modal manusia”, semua orang diubah menjadi wirausahawan dalam bisnis menjual diri sendiri. Dewasa ini, konsep (semacam) ini kurang lebih kita terima begitu saja” (hlm, 148). Ya, kita tidak terlalu selektif terhadap tawaran dari para ekonom yang melulu logis dan penuh kalkulasi.
Padahal jika mau lebih jeli, apakah memang manusia tidak layak peroleh apresiasi ketika pekerjaan dan gajinya biasa kendati pendidikannya telah menyabet berbagai gelar akademis? Apakah perguruan tinggi hanya menjadi mesin produksi manusia untuk siap terjun di wilayah kerja? Apakah ilmu dan pendidikan hanya menjadi sarana untuk peroleh pekerjaan yang mapan dan bukan sebaliknya? Gugatan-gugatan semacam ini jarang kita utarakan setiap kali dihadapkan pada realitas yang mereduksi eksistensi kemanusiaan menjadi tidak utuh.
Lantas?
Buku ini secara umum memang menunjukkan banyak celah ketika berbicara tentang konsep-konsep adiluhung dalam ilmu ekonomi, utamanya jika menyangkut tentang sisi perempuan. Karena memang konstruksi yang dibangun tentang manusia memestikan untuk saling berkompetisi dengan indikator kesejahteraan yang telah ditetap-tegaskan. Bagaimana mungkin kompetisi bisa berjalan dengan adil ketika ada satu pihak yang diberi akses penuh, tanpa hambatan, dan cenderung didukung, dengan pihak yang dari awal sudah distigma negatif, lamban, akses sulit, dan tidak peroleh dukungan?
Kendati begitu, buku ini saya rasa hanya menjadi salah satu cara untuk mempertanyakan dan menemukan solusi dari sekian problem yang muncul dari ilmu ekonomi serta relasinya dengan manusia pada umumnya. Maka tidak seluruhnya bisa diejawantahkan untuk menyikapi realitas masyarakat kita. Kita mesti jeli di bagian mana yang hanya sekadar wacana tambahan, dan bagian mana yang memang bisa untuk dikonkretkan baik dalam bentuk organisasi maupun laku sehari-hari. Karena di akhir buku, Katrina Marcal juga memberi pernyataan, “… saya berupaya menyumbangkan versi saya. Kisah betapa manusia ekonomi adalah cara untuk melarikan diri dari bagian besar kemanusiaan kita, dan bagaimana kini kita berada di tengah berbagai pandangan-dunia dan hendak kehilangan keyakinan kita (sebagai manusia)” (hlm, 201).
Judul Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? | Penulis Katrine Marcal | Penerjemah Ninus D. Andarnuswari | Penerbit Marjin Kiri | Cetakan Mei 2020 | Tebal viii + 226 Halaman | Peresensi Ahmad Sugeng Riady