Home BERITA Dukung Ruang Aman Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, Undip AmanKS Serahkan Amnicus Curiae

Dukung Ruang Aman Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, Undip AmanKS Serahkan Amnicus Curiae

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com– Undip AmanKS serahkan Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke Mahkamah Agung. Penyerahan Amnicus Curiae tersebut sebagai respons atas Permohonan Uji Materiil Permendikbudristek  Nomor 30 Tahun 2021 tentang “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi”.

Amnicus Curiae merupakan sebuah tindakan hukum, di mana pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Penyerahan amnicus curiae tersebut dirasa penting oleh Undip AmanKS karena masih maraknya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Hal tersebut disampaikan juru bicara Undip AmanKS, Angela Augusta Laksana dalam konferensi pers yang di selenggarankan secara daring, Senin (11/04).

“Dalam amicus curiae ini, kami berpandangan bahwa terdapat permasalahan darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. Sehingga, kami merasa pengajuan amicus curiae ini merupakan upaya memberikan perspektif lain kepada majelis hakim dalam memutuskan masalah yang sedang diperiksa,” tegas Angela.

Adapun inti bahasan amicus curiae yang diserahkan, yakni terkait realita permasalahan kasus kekerasan seksual pada instansi perguruan tinggi, permasalahan permohonan pengujian formil dan materiil oleh pemohon, termasuk dalam hal ini menjelaskan kekuatan hukum Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mengenai penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban” dan “yang tidak disetujui oleh korban” dalam aturan tersebut.

Frasa tersebut menjadi hal yang penting untuk ditinjau karena memiliki fungsi penentu apakah suatu tindakan merupakan kekerasan seksual atau tidak, untuk mengenali pihak-pihak dalam rangka pemberian pemulihan dan sanksi, dan agar menjadi suatu kesadaran untuk semua pihak di perguruan tinggi akan adanya relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual.

Hal tersebut, juga disampaikan oleh Ika Yuli Hermaniana, Kepala Operasional Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM). Bahwa tekanan dari berbagai pihak menjadi kendala ketika ada kasus kekerasan seksual di kampus. Padahal, data di lapangan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terus mengalami peningkatan.

“Di kampus sendiri kasus kekerasan seksual setiap tahun terus mengalami peningkatan. Namun, hambatannya sangat beragam. Misalnya terkait kondisi korban yang tidak siap menghadapi tekanan dari berbagi pihak ketika pelakunya adalah petinggi kampus atau seniornya,” jelas Ika.

Ika menyampaikan bahwa penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban”  di dalam aturan Permendikbudristek, menjadi acuan penting dalam penentuan kasus kekerasan seksual. Ia  juga menyampaikan bahwa pentingnya hal tersebut, karena menjadi dasar agar korban tidak dikriminalkan ketika menyampaikan kasusnya.

“Mengapa dalam peraturan Permendikbudristek muncul tanpa persetujuan korban? Itu ada beberapa tujuan, salah satunya itu untuk korban tidak dikriminalkan oleh pelaku ketika kasusnya dilaporkan,” pungkasnya.

Diserahkannya amnicus curiae ini, bukan merupakan bentuk intervensi kebebasan majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara, namun mempunyai tujuan untuk membantu majelis hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus suatu perkara di pengadilan.  

Reporter : Randy (Magang) | Redaktur : Atikah Nurul Ummah