Lpmarena.com– Mahasiswa Yogyakarta bersama elemen sipil melakukan aksi bertajuk “Rakyat Menggugat: Lawan Oligarki, Bangun Demokrasi yang Berkeadilan” di Tugu Yogyakarta, Kamis (21/04). Dalam aksi ini, kritik atas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) salah satu sorotan.
“Kelangkaan minyak dan kenaikan BBM merupakan masalah kebutuhan pokok sehari-hari. Rakyat berhak menuntut haknya karena ini menyangkut masalah perut. Pastinya semua terdampak,” ujar Humas Aliansi Rakyat Bergerak (ARB), enggan disebut namanya.
Kenaikan harga BBM diduga karena dua faktor, yakni kerugian yang dialami PT Pertamina dan kondisi geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan harga minyak dunia meningkat.
Humas ARB menyayangkan alasan pemerintah menaikkan harga BBM karena PT Pertamina tengah mengalami kerugian.
“Seharusnya negara berupaya mengatasi kerugian yang dialami PT Pertamina dan memperbaiki bisnis manajemen di dalamnya. Namun, negara telah gagal mengatasi hal ini,” tutur Humas ARB.
Prapto, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, turut merasakan dampak kenaikan harga BBM yang meningkat drastis pada golongan Pertamax. Sebelumnya, harga Pertamax yang semula Rp9.000 per liter, kini naik menjadi Rp12.500 per liter.
“Kita tahu, saat harga BBM naik, semua harga bahan-bahan pokok juga naik. Itu pernah terjadi tahun 2014 dan menyebabkan chaos,” tambah Prapto.
Selain naiknya harga BBM, saat ini kelangkaan minyak goreng masih terus terjadi. Peristiwa tersebut tidak lepas dari corak ekonomi Indonesia yang cenderung kapitalistik.
Diketahui, Indonesia memiliki perkebunan sawit mencapai 15,08 hektare tetapi, perkebunan tersebut dikuasai oleh perusahaan swasta milik individu, kemudian dijual kepada pihak asing dengan harga yang lebih tinggi.
Dalam Siaran Pers HM.4.6/184/SET/M.EKON.3/4/2022, untuk membantu dan menjaga daya beli pekerja akibat kenaikan harga komoditas dan kelangkaan minyak, Jokowi, Presiden Indonesia merencanakan program berupa bantuan subsidi.
Namun, menurut Humas ARB, bantuan sosial yang diberikan pemerintah tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Segelintir pemodal akan tetap menguasai dan mengendalikan industri sawit. Apalagi, kebijakan dan aturan hukum melegitimasi kekuasaan mereka.
Senada dengan Humas ARB, Beki, salah satu massa aksi, berpendapat bahwa pemerintah tidak pernah serius mengatasi perekonomian rakyat. Negara lebih mementingkan bisnis swasta dibanding kepentingan hajat hidup orang banyak.
“Penyebab penderitaan yang dialami rakyat, tak lain adalah pemerintah yang kawin-mawin dengan pengusaha,” pungkas Humas ARB.
Reporter Aulia Iqlima Viutari | Fotografer Selo Rasyd Suyudi | Redaktur Musyarrafah