Lpmarena.com-Media berperan membentuk opini masyarakat terhadap kelompok difabel. Difabel di Indonesia merupakan minoritas, sehingga media minim memberitakan kelompok difabel.
Ajiwan Arief Hendradi, memaparkan data BPS pada tahun 2020, Indonesia memiliki sekitar 22,5 juta penduduk difabel atau kurang lebih 5% dari total populasi penduduk. Hal itu disampaikan Ajiwan dalam webinar “Bagaimana Media Memberitakan Kelompok Difabel” yang diselenggarakan oleh LPM Untan, Sabtu (23/04).
Menurut redaktur Solider.id itu, media pun masih memberitakan kelompok difabel sebagai subjek yang luar biasa dan sesuatu yang ajaib. Akibatnya respons masyarakat terhadap kelompok difabel menjadi berlebihan, bahkan tak lazim. Semisal, media membingkai seorang tunanetra sebagai sosok inspiratif karena berhasil meraih gelar S3.
Media acapkali memberitakan isu-isu strategis nasional lainnya ketimbang isu difabel. Pemberitaan terkait difabel pun hanya pada momen tertentu, seperti halnya peringatan hari disabilitas. Tak jarang pula dalam memberitakan kelompok difabel, media tak melibatkan kelompok difabel untuk memberikan opininya.
“Kalian boleh membahas kami, meneliti kami, tapi harus melibatkan kami,” imbuh Ajiwan.
Ajiwan juga merupakan penyandang tuna netra. Ia menceritakan kisahnya saat hendak keluar rumah sendirian, tetangganya meragukan kemampuannya tanpa ada yang menemani.
“Pada saat saya hendak keluar rumah sendirian ada tetangga yang bertanya apakah saya bisa keluar rumah sendirian,” jelasnya.
Ajiwan kemudian menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kelompok difabel termarginalkan. Mulai dari jumlahnya yang dianggap minoritas, masyarakat yang kurang terbiasa dengan keberagaman, hingga angapan aneh terhadap difabel di tempat umum. Demikian pula, lanjut Ajiwan, jika ada difabel yang berprestasi maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa.
“Kalau ada kelompok difabel muncul di tempat umum, masih menjadi bahan tontonan,” katanya.
Ajiwan juga mengajak masyarakat untuk lebih ramah kepada kelompok difabel. Beberapa upaya menjadikan lingkungan yang inklusi menurutnya adalah dengan lebih mengenal dan memperdalam isu difabel, berinteraksi langsung dengan difabel, hingga kampanye isu inklusi lewat media sosial atau media lain yang dapat dijangkau. Penggunaan diksi dan pemilihan angle yang tepat dalam pemberitaan media juga menjadi hal yang perlu diperhatikan.
“Isu difabel bisa disandingkan dengan isu yang lain, difabel tidak diberitakan secara berlebihan dan porsinya sama dengan isu yang lain,” pungkasnya.
Reporter Fauzul Abid (magang)| Redaktur Dina Tri Wijayanti
Ilustrasi headstuff.org