Lpmarena.com–Disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dianggap sebagai hadiah untuk para perempuan di Indonesia. Padahal, hak perlindungan dan mendapat rasa aman merupakan hak asasi manusia.
“UU TPKS bukanlah hadiah, melainkan hak asasi yang harus diperoleh oleh perempuan,” terang Kalis Mardiasih, Penulis dan Aktivis Gender, dalam kongres bertema “Parapuan Nusantara #KamuDidengar” via zoom, Jum’at (22/04).
UU TPKS mengandung empat elemen penting, yaitu pencegahan kekerasan seksual, perlindungan akan rasa aman, perlindungan dalam penanganan kasus, dan hak pemulihan untuk korban kekerasan seksual.
Hadirnya UU ini sebagai pelengkap aturan lama yang hanya memperhatikan pelaku dan sering mengkriminalisasi korban. Pengesahan UU TPKS adalah tonggak utama dalam upaya penghapusan kekerasan seksual.
“Kita semua harus mengawal implementasinya karena dokumen saja enggak cukup tanpa gerakan kita (manusia),” ujar Kalis.
Menurut Kalis, perempuan harus sadar hukum. Dia menganjurkan para perempuan untuk membaca dan mempelajari UU TPKS dengan saksama agar mengetahui hak-hak yang dijamin dan langkah untuk mendapatkan hak tersebut.
Tidak untuk perempuan saja, UU TPKS pun hadir untuk melindungi laki-laki, anak, dan kaum minoritas di Indonesia karena setiap manusia punya hak asasi yang harus terpenuhi. Kesetaraan merupakan hak asasi dasar yang harus didapat oleh semua manusia, tak terkecuali perempuan.
Abigail Cantika, seorang musisi, beranggapan bahwa perempuan perlu mendapatkan fasilitas khusus agar aman di ruang publik, contohnya gerbong khusus perempuan. Hal tersebut diperlukan untuk melindungi dan mewujudkan kesetaraan gender.
Selain fasilitas umum, kesetaraan gender juga dibutuhkan dalam dunia kerja. Cantika melihat masih banyak lowongan kerja yang dibuka hanya untuk laki-laki. Padahal seharusnya perempuan juga mendapat kesempatan yang sama.
“Kesetaraan gender tercapai bila penilaian kepada perempuan bukan dilihat dari jenis kelaminnya karena perempuan punya kebebasan menentukan apa yang mereka inginkan,” terang Cantika.
Sebagai seniman, Cantika merasa terbatasi untuk mengekspresikan diri, terutama dalam berpakaian. Saat akan tampil di tv, dia kerap mendapat komentar pakaiannya kurang layak atau “kurang perempuan”. Menurut Cantika, hal itu tidak dialami laki-laki.
“Laki-laki selalu bebas menentukan apa yang mereka inginkan. Sedangkan perempuan harus menyesuaikan dengan standar yang mereka buat,” lanjutnya. Cantika berharap dia dipandang bukan dari pakaian, melainkan potensi dalam dirinya.
Reporter Sabrina Zulfiana Rahma (Magang) | Redaktur Musyarrafah
Sumber foto: faktualnews.co