Lpmarena.com–Semenjak isu Wadas meroket di awal tahun ini, topik-topik lingkungan dan pertambangan ramai dibicarakan kembali. Banyaknya aparat kepolisian yang turun, bersama represi yang mereka lakukan, menjadi sorotan publik sekaligus ketakutan tersendiri bagi warga Wadas yang ingin mempertahankan tanahnya.
Pro-kontra pertambangan batu andesit di Wadas banyak tersebar di media sosial. Pihak pro berdalih demi perekonomian dan pembangunan negara, sedangkan pihak kontra mantap dengan kajian lingkungan mereka. Kedua pihak punya poin penting yang dipertahankan.
Kedua poin penting itu adalah, batu andesit dan hasil perkebunan. Setiap objek mewakili pihak yang berkepentingan, batu andesit mewakili pihak pro, hasil perkebunan mewakili pihak kontra. Tertarik akan kedua “benda” tersebut, tim PUSDA ARENA mencoba riset kecil-kecilan untuk membandingkan keduanya, dari cuannya dulu.
Hal pertama yang kami lakukan adalah riset harga batu andesit di pasaran. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui potensi keuntungan sepenuhnya dari penambangan batu andesit di Wadas.
Mengutip dari sinergistone.com, harga batu andesit cukup variatif, tergantung dari seberapa rumit pengolahannya. Memang, harga-harga yang tersebar di internet adalah andesit siap pakai, bukan bahan mentahnya. Kami pun ambil yang paling sederhana pengolahannya, yaitu batu andesit polos, yang harganya berkisar antara Rp60.000 sampai Rp140.000 per meter kubik. Untuk riset ini, kami ambil harga paling tinggi.
Langkah selanjutnya yang kami lakukan adalah mencari angka pasti soal berapa meter kubik andesit yang akan dikeruk. Angka ini cukup mudah untuk ditemukan. Merujuk pada akun Instagram @wadas_melawan, Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) merencanakan akan melakukan pertambangan seluas 114 hektar, dan menghasilkan 43 juta meter kubik batu andesit.
Mengutip dari katadata.co.id, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengatakan kegiatan pertambangan akan dilakukan selama 30 bulan. Kemudian, karena pertambangan Batu Andesit di Wadas termasuk kategori tambang quarry, maka hasil bumi akan dikeruk tanpa sisa.
Ketika angka-angka tersebut dikalikan dengan harga batu andesit di atas, nilai total pertambangan akan mencapai 6,02 triliun rupiah. Dalam perencanaan ANDAL, juga dibahas jumlah batu yang dibutuhkan untuk membangun Bendungan Bener adalah 8 juta meter kubik, yang berarti bernilai 1,12 triliun rupiah. Proyek ini masih menyisakan 4,9 triliun yang kemudian banyak dipertanyakan pejuang Wadas soal kemana perginya uang tersebut.
Lebih lanjut, jika kita menilik kembali estimasi waktu pengerukan yang direncanakan selama dua tahun enam bulan, maka didapatkan angka sebesar 2,408 triliun per tahun.
Selanjutnya, kami akan membandingkan nilai tersebut dengan nilai hasil perkebunan masyarakat. Kami menelusuri akun-akun yang membela masyarakat Wadas untuk mendapat angka pasti. Namun, di tengah-tengah pencarian, kami menemukan hal menarik.
Seorang Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI, Hendra J. Kede, menulis sebuah opini pendek di kumparan.com pada tanggal 13 Februari. Tulisannya mengangkat isu Wadas dan sarannya untuk menjadikan pertambangan batu andesit di Wadas dikelola oleh masyarakat melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Hendra berpendapat, bahwa sisa andesit yang tidak digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener, bisa menyejahterakan masyarakat Wadas. Menarik, tapi kami tidak akan mengomentari sarannya, melainkan data yang dia berikan.
Dalam artikel tersebut, Hendra memasukan data yang dia katakan berasal dari “wartawan senior”. Potensi keseluruhan batu andesit di Wadas, menurut artikel tersebut adalah 19,9 miliar meter kubik, sedangkan yang dibutuhkan Bendungan Bener adalah 18 juta meter kubik. Sangat berbeda dari data yang kami dapat dari akun @wadas_melawan.
Jika angka-angka tersebut dikalikan dengan harga andesit yang kami jadikan dasar, akan didapat angka 2.786 triliun (2,78 kuadriliun) untuk nilai seluruh andesit di Wadas, dan 2,52 triliun untuk proyek Bendungan. Terdengar penuh harapan, meski data-datanya perlu diverifikasi kembali.
Kembali ke topik utama, yaitu langkah selanjutnya riset ini, mencari nilai dari perkebunan di Wadas. Juga dari akun @wadas_melawan, terdapat nilai-nilai hasil perkebunan secara detail. Setelah dijumlahkan seluruhnya, komoditas perkebunan memiliki keuntungan sekitar 8,5 miliar per tahun, sedangkan komoditas kayu keras menghasilkan 5,1 miliar per tahun.
Jumlah keduanya yang bernilai 13,6 miliar per tahun, terlihat begitu jauh dengan hasil tambang andesit yang mencapai sekitar 2,4 triliun per tahun. Untuk mengimbangi nilai batu andesit menurut ANDAL selama 2,5 tahun, hasil perkebunan ini perlu 442,6 tahun.
Nilai Batu Andesit jelas lebih cuan, dan lebih menguntungkan.
Riset perbandingan nilai “uang” dari batu andesit dan hasil perkebunan berhenti di sini. Hasil menunjukan batu andesit lebih menguntungkan. Namun, muncul pertanyaan serius tentang hasil ini: Untuk siapa hasil keuntungan tersebut? Berapa keuntungan yang masyarakat Wadas dapatkan dari proyek 6,02 triliun itu?
Kemudian, bagaimana dengan alam? Ketika perkebunan yang merupakan sumber daya alam telah menghidupi manusia dari generasi ke generasi berganti menjadi tambang bebatuan yang bakal habis dikeruk, bagaimana dan berapa lama manusia di sekitarnya akan bertahan?
Penulis Gustiana Sandika | Editor Dina Tri Wijayanti