Home BERITA Di Balik Pelaporan Kondisi Kebebasan Akademik ke PBB

Di Balik Pelaporan Kondisi Kebebasan Akademik ke PBB

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com– Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia melaporkan represi kebebasan akademik di Indonesia kepada PBB. Situasi kebebasan akademik yang dibatasi beberapa tahun terakhir ini, membungkam ruang-ruang mahasiswa dalam berpendapat serta mengkritisi pemerintah, akibatnya banyak dari kalangan dosen dan mahasiswa yang dibungkam sikap kritisnya meskipun bersandarkan kepada pengetahuan ilmiah.

Dilandasi keadaan tersebut Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) gelar diskusi bersama Scholars At Risk (SAR) dan Nalar TV dengan tema “Represi Kebebasan Akademik Dilaporkan ke PBB: Ada Apa?” pada Rabu (18/05) via YouTube.

Dhia Al-Uyun, perwakilan KIKA, memaparkan ada banyak bentuk represi kebebasan akademik yang dilakukan baik oleh individu dalam universitas maupun institusi formal. Seperti kasus Lembaga Pers Mahasiswa Lintas di IAIN Ambon yang dituntut akibat memaparkan berita seorang mahasiswi yang dilecehkan. Pihak kampus berpendapat bahwa berita tersebut mencemari nama baik kampus, padahal pers mahasiswa memiliki otoritas untuk memberitakan hal tersebut.

“Seringkali perdebatannya ialah masalah etik di dalam kampus dengan gerakan yang dianggap melawan otoritas kampus maupun negara, proses tekanan dan hukuman terhadap ekspresi akademik ini menjadi terganggu, mahasiswa tidak dapat mengekspresikan suaranya,” ujar Dhia.

Dengan adanya laporan ini KIKA dan SAR berkolaborasi mengantarkan pengajuan ke Universal Periodic Review (UPR) untuk Indonesia. KIKA dan SAR menyoroti tekanan luas terhadap aktor negara dan universitas yang membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan ekspresi akademis.

Laporan-laporan tersebut kemudian dianalisis oleh PBB melalui mekanisme peer-review atau mekanisme UPR. Mekanisme UPR ini merupakan mekanisme baru yang dijalankan oleh dewan HAM PBB untuk menilai kemajuan dan perlindungan HAM diseluruh negara termasuk Indonesia.

Muhammad Isnur, Ketua YLBHI, menjelaskan keuntungan dari pelaksanaan mekanisme UPR adalah membantu dan mempermudah PBB, dalam analisis laporan-laporan yang diterima dari seluruh negara. Karena pada dasarnya setiap negara berhak menilai dan kemudian dinilai oleh negara lainnya.

Menurut Dhia, laporan ini sangat penting bagi masa depan kebebasan akademik di Indonesia. “Untuk melindungi dan mempromosikan kebebasan akademik, hak-hak yang fundamental bagi seluruh komunitas di perguruan tinggi, kebebasan berekspresi dan berserikat,” ungkapnya.

Basuki Wasis, Pengarah KIKA, berharap nantinya kebebasan berekspresi tidak hanya ada di lingkup akademik, namun juga turun ke ranah masyarakat. “Sebab masalah yang sebenarnya ada di lapangan,” tuturnya.

Reporter Nada | Redaktur Fatan Asshidqi | Ilustrasi portal.ucm.cl