Lpmarena.com – Para korban tambang yang tergabung dalam lima komunitas, bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, melakukan konferensi pers di kantor LBH Yogyakarta pada Selasa (07/06). Dalam konferensi pers tersebut, terdapat 13 poin tuntutan. Salah satunya adalah menuntut untuk menghentikan kriminalisasi terhadap para pejuang lingkungan.
Lima komunitas korban tambang tersebut terdiri atas Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP), Jomboran, Nanggulan, Pundak Wetan dan Wiyu, Paguyuban Sindu Tolak Asat (PSTA), Warga Banaran (Paguyuban Pelestari Progo), Warga Srandakan (Kelompok Pelestari Progo), dan Warga Turgo.
Wandi Nasution, anggota LBH Yogyakarta menyampaikan bahwa kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak pertambangan masih kerap terjadi. Bahkan, masyarakat mendapat intimidasi maupun ancaman dengan menggunakan pasal 162 UU Minerba.
Dalam pasal tersebut, berisi bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) yang telah memenuhi persyaratan, dapat dikenakan pidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
“Kenyataan di lapangan, masyarakat banyak mengalami kerugian disebabkan aktivitas penambangan. Sayangnya tak sedikit masyarakat ketika melaporkan atau melakukan penolakan terhadap aktivitas pertambangan justru mendapat ancaman dari Pasal 162 UU Minerba,” ungkap Wandi saat konferensi pers.
Namun menurutnya, pelanggaran dan perusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada aktivitas penambangan ilegal, tetapi juga yang resmi dan telah mengantongi izin namun melangar ketentuan berlaku. Ia mengatakan aktivitas pertambangan yang dilakukan seringkali tidak mengindahkan hak masyarakat atas akses informasi, partisipasi dan keadilan.
“Hak-hak inilah yang acapkali dilanggar oleh pihak penambangan dalam melakukan kegiatan pertambangan. Bahkan masyarakat sering kali tidak dilibatkan dalam proses penerbitan izin usaha pertambangan,” lanjutnya.
Bahkan, ia memaparkan akses terhadap keadilan melalui jalur litigasi atas kerusakan lingkungan juga direduksi mengingat hak gugat masyarakat terhadap izin lingkungan juga dihapuskan.
Abimanyu, anggota WALHI Yogyakarta, memberi contoh kasus yang ada di Jomboran, yang mana masyarakat melakukan unjuk rasa dengan membentangkan spanduk penolakan dianggap telah melanggar pasal 162 tersebut.
“Seperti yang terjadi di Jomboran, padahal mereka di sana hanya membentangkan spanduk saja. Namun dianggap telah melanggar pasal tersebut, dan aktivitas penambangannya tetap berjalan. Tapi para demonstran tetap diproses secara hukum,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sebetulnya ada kesamaan pola, mulai dari absennya partisipasi masyarakat, hingga mal administrasi perizinan.
“Konferensi ini merupakan awal dari upaya kami dalam mengawal kasus-kasus pertambangan di Yogyakarta, dan sebetulnya kasus-kasusnya mirip, partisipasi publik yang tidak dilibatkan, intimidasi dan cacatnya prosedur perizinanan,” tambah Abimanyu.
Dia juga menambahkan bahwa konferensi yang saat ini dilakukan, merupakan langkah awal untuk mengawal isu agraria yang saat ini banyak terjadi, khususnya di Yogyakarta.
“Oleh karena itu langkah pertama kami untuk mengawal kasus-kasus pertambangan yang terjadi adalah dengan melakukan konsolidasi, lalu konferensi pers, dan kemudian nanti kami akan melakukan kajian-kajian mengenai lingkungan,” jelasnya lagi.
Dhanil yang merupakan anggota LBH Yogyakarta mengharapkan, bahwa dengan hadirnya aliasi ini, dapat mendorong pemerintah agar lebih berpihak kepada warga dalam membuat kebijakan.
“Mengingat target kita tak hanya satu atau dua kasus saja, kami mengharapkan teman-teman yang sudah menjadi bagian dari koalisi ini sedikitnya dapat mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat,” pungkas Dhanil.
Reporter Selo Rasyd Suyudi (Magang) | Redaktur Atikah Nurul Ummah