Lpmarena.com-Magister Administrasi Publik Corner-Klub Manajemen Kebijakan Publik UGM (MAP Corner-Klub MKP UGM), kembali menggelar diskusi secara daring dalam rangka memperingati 11 Tahun terbentuknya MAP Corner-Klub MKP UGM. Diskusi tersebut dilakukan pada Selasa Malam (14/06), dengan tema “Mampukah Gerakan Kampus Bertahan di Tengah Neoliberalisasi Pendidikan?”.
Diskusi malam itu dihadiri oleh Max Lane Peneliti dari ISEAS Singapura, Herlambang P. Wiratman Dosen Fakultas Hukum UGM, serta Joko Susilo Peneliti Kebijakan Publik NALAR Institute.
Joko Susilo atau yang kerap disapa Josu, memaparkan bahwa konsolidasi ulang kapital yang ada di Indonesia telah merombak lembaga pendidikan tinggi. Misalnya, pada perubahan status perguruan tinggi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH).
Adanya perubahan tersebut membawa dampak pada lembaga pendidikan perguruan tinggi. Dampak tersebut yakni, adanya bisnis kapital yang terus mendesak masuk, serta dibarengi krisis keuangan negara, yang akan berakibat pada pemotongan anggaran di sektor pendidikan.
Imbasnya, biaya pendidikan perguruan tinggi mengalami kenaikan, dan mengakibatkan pendidikan tinggi hanya dapat diakses oleh masyarakat golongan atas.
Di sisi lain, adanya manufakturisasi kurikulum dan metode pembelajaran, menjadi penghambat wacana kritis yang dibangun oleh mahasiswa. Mahasiwa, sebagai pihak pengontrol kebijakan kampus dan negara, banyak mengalami reduksi dan tindakan represif oleh pihak kampus.
Upaya reduksi wacana tersebut, dilakukan dengan cara perubahan kurikulum, penyusupan pemaksaan kerja, pembatasan waktu studi, serta sistem kontrol dan sentralisasi oleh pihak kampus. Belum selesai sampai hal itu, masalah pemotongan anggaran Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), juga penjatuhan sanksi drop out (DO) oleh pihak kampus menjadi momok tersendiri bagi gerakan aktivisme mahasiswa.
Herlambang menilai, saat ini struktur feodalisme bertransformasi dengan metode yang baru. Penindasan akan kebebasan akademik di dalam kampus dilakukan dengan menggunakan gaya baru juga, dan hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi-politik.
“Mahasiswa yang menulis di Pers Mahasiswa mengalami kriminalisasi, kasus kekerasan seksual di dalam kampus yang tidak kunjung terselesaikan. Hal itu terhubung dengan kondisi ekonomi-politik yang berdampak pada komersialiasi pendidikan dan struktur feodal,” jelas Herlamang, Pegiat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).
Menurut pemaparan Herlambang ada masalah mendasar di dunia kampus, yakni internasionalisasi atau world class university, menguatnya struktur sosial feodalisme, kendali relasi kuasa oligarki, hingga problem dasar kemanusiaan dan lemahnya keberpihakan terhadap proses-proses pencerdasan publik.
Max Lane dari peneliti dari ISEAS Singapura, mengungkapkan bahwa gerakan kampus perlu mencari alternatif lain, yang tidak hanya bersifat spontan, namun juga terlembagakan.
Hal tersebut juga mendorong kampus untuk lebih bersifat ilmiah, demokratis dan melayani kepentingan publik. Kampus yang berpihak akan kepentingan publik, akan membawa perubahan struktural yang tidak hanya berpengaruh pada internal di dalam kampus, tetapi semua elemen masyarakat yang termajinalkan.
Max Lane menekankan, jika kegiatan pergerakan terpecah-pecah, tidak menjadi sesuatu yang bersifat nasional, dan tidak dimotori oleh suatu solusi berskala nasional, maka perbaikan di sektor pendidikan tidak akan berjalan secara berimbang. “Harus ada solusi di tingkat nasional, dan gerakan yang memperjuangkan solusi tersebut,” tuturnya.
Sementara itu terkait revolusi pendidikan, Joko Susilo mengungkapkan bahwa gerakan tersebut telah berlangsung di sejumlah negara, seperti di Chile. Gerakan itu dinamai dengan Chilean Winter Discontent Movement, atau aksi terbuka yang terdiri dari berbagai golongan seperti mahasiswa, serikat buruh-tani dan orang tua wali siswa.
Dan dalam gerakan tersebut, berhasil mengirimkan perwakilan dari mahasiswa untuk masuk dalam parlemen. Dengan masuknya mahasiswa ke dalam parlemen, mendorong reformasi dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pendidikan ke arah yang lebih baik.
Reporter : Yudhistira Wahyu Pradana (Magang) | Redaktur : Atikah Nurul Ummah | Sumber Gambar : Tirto