Lpmarena.com-Tingginya tindak represi dan pembungkaman terhadap jurnalis merupakan masalah serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Lebih-lebih, Pers Mahasiswa (Persma) sebagai jurnalis kampus pun mendapat kekerasan baik fisik maupun digital. Berdasarkan data Badan Pekerja (BP) Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional, dalam kurun waktu 2019-2021 menunjukkan bahwa terdapat beragam bentuk represi terhadap jurnalis mahasiswa.
Represi yang banyak dialami adalah intimidasi. Merujuk data tersebut, intimidasi berupa teguran, pencabutan, makian, ancaman, penurunan dana, paksaan meminta maaf hingga ada juga yang mendapat teror.
Persoalan ini disampaikan dalam diskusi publik oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Lembaga Pers Mahasiswa Arena, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional, dan PPMI Dewan Kota Yogyakarta, pada Jumat (01/07).
Diskusi bertajuk “Jurnalis Masih Rentan Dapat Kekerasan: Bagaimana Harus Bersikap?” tersebut menghadirkan beberapa jurnalis yang memantik jalannya diskusi dengan pemaparan terkait pengalaman represi yang dialami. Jurnalis itu berasal dari LPM Poros, LPM Arena, Tirto.id dan PPMI DK Yogyakarta.
Dari beberapa kisah yang dipaparkan, pelaku represi tak hanya dari rektorat dan aparat negara, tetapi juga dari sesama mahasiswa, seperti dari BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa), hingga organisasi eksternal kampus.
Tindakan represi terjadi akibat kekosongan hukum bagi Pers Mahasiswa sebagai jurnalis kampus. Tanpa adanya legal standing bagi Persma, maka posisinya menjadi rentan. Meskipun, kerja-kerja yang dilakukan telah sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Januardi Husin, atau yang akrab disapa Juju, mengatakan bahwa payung hukum bagi pers mahasiswa masih menjadi persoalan. Misalnya dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, disebutkan bahwa yang mendapatkan perlindungan hukum hanyalah perusahaan pers. Sedangkan Persma bukanlah badan hukum yang dapat diakui oleh Dewan Pers. Menurutnya, kerentanan inilah yang peru menjadi titik tolak solidaritas Pers Mahasiswa.
“Kalau mau memperjuangkan legal standing, ayo berjuang bersama-sama, jangan memikirkan hal-hal lain seperti biaya atau SDM (Sumber Daya Manusia) dan sebagainya,” ujar perwakian AJI Yogyakarta Januardi Husin.
Pengalaman direpresi pun dialami oleh jurnalis kampus. Baru-baru ini intimidasi menimpa LPM Nuansa UMY dan LPM Lintas IAIN Ambon karena pemberitaan kekerasan seksual. Bahkan hingga sekarang, LPM Lintas, masih dikriminalisasi. Dalih pelaporan kerap kali justru karena nama baik kampus dengan senjata UU ITE. M. Azhar, jurnalis LPM Poros yang hadir dalam diskusi itu menceritakan pemanggilannya oleh pihak rektorat kampus. Dalam reportase itu ia mengungkap tindak sewenang-wenang seorang dosen yang mewajibkan mahasiswa membeli bukunya. Pemelian itu sifatnya wajib untuk mendapatkan nilai A dalam mata kuliah yang diampu. Tak hanya ditegur, Azhar sempat dipanggil dan dipaksa untuk menghapus pemberitaan tersebut.
“Saya menulis liputan Nilai A Seharga Buku 35 Ribu Rupiah, setelah dari kasus tersebut, saya merasa trauma saat saya mau menulis berita.” pungkas Azhar.
Reporter Fauzul Abid (magang) | Foto Nabil Ghazy (magang) | Redaktur Dina Tri Wijayanti