Home BERITA Pasang Surut Pernikahan Penghayat Sapta Dharma dan Sumarah Sejak Orde Baru hingga Kini

Pasang Surut Pernikahan Penghayat Sapta Dharma dan Sumarah Sejak Orde Baru hingga Kini

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Menikah dan tercatat dalam dokumen negara menjadi dambaan para pasangan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain pernikahannya diakui, hak-hak sipilnya sebagai warga negara pun dipenuhi. Sayangnya, Putusan MK 2017 yang mengharuskan kelompok penghayat terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi kendala utama. Jika belum terdaftar, maka bagaimana pernikahan penghayat diakui?

Lpmarena.com-Bambang Purnomo (69), kembali mengingat prosesi pernikahannya sebagai penghayat Sapta Dharma 44 tahun silam. Saat itu, ia duduk bersama mempelai perempuan yang kini menjadi istrinya di atas sebuah lembaran kain putih. Mereka melakukan prosesi sujud bersama sebelum mengucap janji sehidup semati disaksikan pemuka penghayat dan keluarga.

“Dulu saya menikah di rumah ini. Nah pas di sini, saya sujud,” kenang Bambang kepada ARENA di ruang tamu rumahnya, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta pada Jumat, (10/06).

Dalam kepercayaan Sapta Dharma, prosesi sujud dilakukan untuk mengikat batin mempelai, meneguhkan hati keduanya untuk hidup bersama hingga akhir, serta meminta petunjuk dan jalan keluar pada Hyang Maha Kuasa. Lantaran, pernikahan dalam kepercayaan tersebut hanya sekali seumur hidup. Tidak ada perceraian.

Sapta Dharma merupakan aliran kebatinan yang diyakini bermula dari turunnya wahyu kepada Bapa Panuntun Agung Sri Gutama pada Jumat Wage, 27 Desember 1952 dini hari di Kampung Koplakan, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Tanggal itu diperingati sebagai salah satu hari besar di Sapta Dharma.

Foto sosok Bapa Panuntun Agung Sri Gutama dipajang di dinding kayu rumah Bambang Purnomo. Rumah itu juga menjadi sanggar kebudayaan untuk menggelar kegiatan kesenian masyarakat. Bagian tengah ruangan berjejer gamelan dan peralatan seni lainnya yang tersusun rapi.

Aliran kerohanian Sapta Dharma memiliki tiga ajaran utama, yaitu sujud, wewarah tujuh atau tujuh arahan, dan sesanti. Bambang menganutnya sejak 1971 menjelang menjadi mahasiswa di salah satu kampus swasta di Yogyakarta.

Prosesi pernikahan Sapta Dharma sedari dahulu tidak berubah. Tidak ada aturan adat yang dibuang ataupun mekanisme yang dihapus sebagaimana dijalani Bambang maupun generasi pasangan pengantin penganut Sapta Dharma saat ini.

Diawali dengan hening pembuka, yaitu ucapan puji syukur karena dapat berkumpul bersama dalam acara pernikahan tersebut, serta memohon kelancaran atas prosesi pernikahan yang akan diselenggarakan. Dilanjutkan serah kedua mempelai oleh orang tua atau wali mempelai perempuan kepada petugas pemuka penghayat yang akan menikahkan.

Kedua mempelai menyerahkan perlengkapan administrasi kepada pemuka penghayat disertai pernyataan tuntunan yang berisi pernyataan kedua mempelai akan hidup berumah tangga bersama. Administrasi yaang dimaksud adalah KTP, pas foto, dan akta kelahiran kedua mempelai, serta formulir pernikahan, akta kelahiran.

Barulah kemudian prosesi sujud bersama. Prosesi sujud dilangsungkan menghadap ke arah timur dengan posisi duduk membungkuk. Namun dalam prosesi pernikahan, gerakan sujud ditambah satu bungkukan oleh kedua mempelai sembari dalam hati mengucapkan kalimat permohonan “Semoga Hyang Maha Kuasa melimpahkan karunia, pangayoman dan kebahagiaan bagi kami berdua selamanya”. Sementara itu, tamu undangan yang mengikuti prosesi sujud juga mengucapkan dalam hati kalimat “Semoga Hyang Maha Kuasa melimpahkan karunia, pangayoman dan kebahagiaan bagi mempelai berdua.

Kemudian pembacaan janji prasetya oleh kedua mempelai dan pengukuhan sahnya pernikahan. Kedua mempelai mengucap janji bersama untuk menjalankan ajaran Sapta Dharma dan janji bersama mengarungi pernikahan tersebut. Lalu ditutup dengan wejangan pemuka dan hening penutup. Dalam prosesi ini, pemuka penghayat memerikan nasihat-nasihat kepada kedua mempelai dan doa-doa baik untuk kebaikan rumah tangga keduanya.

Menikah pada September 1978 dirasa “untung” bagi Bambang. Ia bisa melangsungkan prosesi pernikahan penghayat dan memperoleh akta nikah secara resmi dari Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Bahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Bambang sudah tertulis “Sapta Dharma” pada kolom agama.

“Itu permintaan saya sendiri ketika mendapatkan KTP di Kelurahan Caturtunggal,” aku Bambang.

Namun selang sebulan setelah menikah, muncul aturan Menteri Agama pada Oktober 1978 yang salah satunya mensyaratkan tiap orang harus beragama. Artinya, kolom agama dalam KTP hanya boleh diisi lima agama yang ditentukan negara.

“Setelah bulan Oktober 1978 susah, amat jarang pernikahan penghayat. Saya tahu persis karena banyak sekali kasusnya, termasuk adik saya,” jelas Bambang yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Sapta Dharma DIY sejak tahun 2015 sampai saat ini.

Kesulitan pencatatan secara sipil tersebut berlangsung lama. Sebelum akhirnya muncul Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 97/PUU-XIV/2016 tertanggal 18 Oktober 2017 atau yang dikenal dengan Putusan MK 2017. Isinya, secara administrasi kolom agama dalam KTP maupun KK boleh diisi dengan “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME)”. Keputusan tersebut dikuatkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019, tentang pencatatan pernikahan penghayat di Disdukcapil.

Sejak itu, proses pencatatan pernikahan penghayat sudah ada mekanismenya. Kelompok-kelompok penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME yang ingin melangsungkan prosesi pernikahan menurut kepercayaannya bisa memperoleh akta nikah langsung.

Mempelai Sapta Dharma Dipingpong Urus KTP

Sujud Sebelum Janji Pernikahan. Dok : Baskoro

Dalam praktik implementasi Putusan MK 2017 , para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME masih terkendala pengurusan KTP. Seperti pasangan Baskoro Waskitho Husodo (26) dan Sekar Dwi Yulianti—generasi muda penganut Sapta Dharma yang menikah pada 27 Maret 2022 di Kabupaten Sleman, DIY.

 “Saya mau menikah secara kepercayaan, ya karena kami penghayat Sapta Dharma. Aturan tentang pernikahan penghayat maupun negara sudah diatur,” jelas Baskoro, saat ditemui di Sanggar Budaya Sapta Dharma, yakni tempat ibadah pemeluk Sapta Dharma, di Taman Siswa, Yogyakarta, Sabtu, (11/06).

Setahun sebelum melangsungkan prosesi pernikahan, Baskoro bertanya kesana kemari untuk mencari informasi terkait persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Informasi didapatkan dari teman yang menikah sebagai penghayat, juga dari sesepuh Sapta Dharma.

“Oh, KTP-nya harus sama-sama penghayat. Lalu saya dan Sekar mengganti KTP,” kata Baskoro.

Secara administratif, pencatatan pernikahan penghayat tidak jauh berbeda dengan pernikahan umumnya. Bahwa KTP kedua mempelai harus sama-sama penghayat, harus ada saksi dan administasi umum lainnya. Namun Baskoro dan istri sempat mengalami kendala saat pengurusan KTP meskipun mereka berasal dari kepercayaan Sapta Dharma yang sudah tercatat di Dinas Kebudayaan.

Semula, Baskoro mengurus pergantian KTP di Dinas Dukcapil Sleman. Saat ia menyodorkan Kartu Keluarga (KK) dan persyaratan yang lain, petugas setempat menyuruh untuk mengurus ke Dinas Kebudayaan Sleman. Di sana pun,  Baskoro mengalami permintaan yang sama. Dia disuruh balik lagi ke Dinas Dukcapil Sleman.

Meski dilempar-lempar, Baskoro mengalah dan kembali ke Disdukcapil hingga akhirnya memperoleh KTP di sana. Namun Baskoro sempat dibuat kaget karena kolom agama di KTP-nya ditulis tanda (-) strip. Artinya, kolom agama dalam KTP kosong. Seharusnya ditulis dengan “Kepercayaan terhadap Tuhan YME”.

“Kan tandanya tidak punya agama,” keluh Baskoro.

Untunglah saat pernikahan tiba, isian kolom agama dalam KTP yang diserahkan bersama akta nikah telah diubah. Semula kosong, kemudian diubah menjadi “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” oleh pihak Disdukcapil Sleman.

Kendala mengurus KTP juga sempat dialami Sekar—istri Baskoro—di tempat asalnya, Cirebon, Jawa Barat. Perlu proses panjang hingga akhirnya mereka mendapatkan KTP untuk menikah sebagai penghayat.

Mempelai Sumarah Bertahan dalam Aturan Enam Agama

Foto Sujud Sumarah. Dok : Kuswijoyomulyo

Berbeda dengan kepercayaan Sapta Dharma, pencatatan pernikahan penghayat kepercayaan Sumarah sampai saat ini masih berdasarkan salah satu dari enam agama yang diakui negara. Semisal, meskipun menganut ajaran kepercayaan Sumarah, isian kolom agama dalam KTP disebutkan nama agama penghayat, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, ataupun Konghucu. Prosesi pernikahannya sesuai dengan agama dalam KTP-nya. Meskipun telah lahir Putusan MK 2017 yang membolehkan kolom agama diisi dengan “Kepercayaan terhadap Tuhan YME”.

“Kalau dalam Sumarah, tidak ada paksaan untuk berpindah dari agama tertentu (menjadi kepercayaan),” jelas Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Sumarah DIY, Kuswijoyomulyo, Kamis (26/5/2022).

Mayoritas penghayat Sumarah yang memilih menuliskan nama agama dalam KTP-nya, juga karena masih ada stigma negatif mengenai identitas penghayat dari masyarakat. Tak heran, sampai saat ini belum ada yang menikah secara Sumarah dan dicatatkan di Disdukcapil. Berbeda dengan para pendahulu penghayat Sumarah yang melangsungkan prosesi pernikahan menurut Sumarah.

“Itu sebelum muncul peraturan bahwa kolom KTP harus memeluk salah satu dari lima agama,” papar Kus, sapaan akrabnya yang merujuk aturan pada aturan Menteri Agama pada Oktober 1978.

Sebelum aturan itu muncul, prosesi pernikahan penghayat Sumarah tidak berbeda jauh dengan pernikahan penghayat umumnya. Seperti dilaksanakan setelah syarat administrasi dipenuhi, lalu melakukan sujud bersama, dinikahkan oleh pemuka penghayat Sumarah, disaksikan oleh keluarga dan tamu undangan, serta mengucap janji setia antar mempelai.

Pasangan penghayat Sumarah, Nughroho (48 tahun) dan Ningrum (43 tahun) adalah contoh penghayat Sumarah yang menikah menggunakan tuntunan agama yang dianut. Bukan menggunakan prosesi pernikahan Sumarah. Warga Kemantren, Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta tersebut menikah pada 2004. Alasannya, karena saat itu belum ada aturan menikah secara penghayat sehingga belum bisa dicatatkan di Disdukcapil.

“Tetapi malam sebelum pernikahan, keluarga kami berkumpul dan mengadakan prosesi sujud bersama,” jelas Nughroho, Kamis (26/5/2022).

Nughroho merupakan cucu dari penerima wahyu Sumarah, yakni Raden Ngabei Soekinohartono. Kepercayaan Sumarah lahir sejak 8 September 1935. Lantaran ajarannya tidak ada paksaan untuk berpindah agama menjadi kepercayaan, mayoritas pemeluk Sumarah memiliki agama masing-masing. Namun mereka tetap melaksanakan sujud Sumarah, yakni sujud untuk menciptakan ruang di dalam diri, batin dan kesunyian, yang diperlukan untuk mencapai kondisi tenteram-damai dan mewujudkan jati diri bagi pemeluknya.

Berbeda dalam Sapta Dharma, penghayat Sumarah tidak diharuskan menghadap ke arah mata angin tertentu ketika melaksanakan sujud. Posisi sujud pun dengan duduk sembari memfokuskan pikiran dan berserah menuju Allah.

Keharusan Terdaftar Jadi Sumber Kendala

Sertifikat Pemuka Penghayat Sapta Dharma milik Slamet Basuki. Foto: dok.Slamet Basuki

Pencatatan pernikahan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME di Indonesia dipaparkan Koordinator Perempuan Penghayat Kepercayaan Indonesia (Puan Hayati), Endang Sulistyowati mengalami pasang surut. Sebelum 1978, penghayat bisa mencatatkan pernikahannya pada catatan sipil, meskipun belum ada aturan pernikahan bagi penghayat. Namun setelah kepercayaan masuk dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Nomor 2 Tahun 1973 dan 1978, penghayat mulai mengajukan pernikahan penghayat.

“Prosesnya bergantung kepala daerah masing-masing. Memperbolehkan atau tidak,” kata Endang, Selasa, (14/7/22).

Hambatan pernikahan penghayat muncul, tepatnya setelah terbit Surat Menteri Agama Nomor B/VI/11215/78 tertanggal 18 Oktober 1978 yang ditujukan kepada para gubernur. Isinya menganulir PP Nomor 9Tahun 1975 tentang Perkawinan dan PP Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil. Surat Menteri Agama itu menyebutkan dua hal. Pertama, tidak dikenal tata cara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut aliran kepercayaan dan tidak dikenal pula penyebutan “aliran kepercayaan” sebagai “agama”. Kedua, orang beragama atau pemeluk agama yang mengikuti aliran kepercayaan tidaklah kehilangan agama yang dipeluknya. Sehingga tidak ada tata cara “perkawinan menurut aliran kepercayaan” dan “sumpah menurut aliran kepercayaan”.

Hingga kemudian lahir Putusan MK 2017, yang menurut Endang masih menyisakan kendala dalam upaya pencatatan pernikahan penghayat kepercayaan di Disdukcapil. Terutama setelah penerbitan aturan pelaksana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019 tentang mengenai Pelaksana UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Ada tiga poin persoalan yang tertulis dalam Pasal 39 PP Nomor 40 Tahun 2019. Ayat 1, perkawinan penghayat dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan. Ayat 2, pemuka penghayat kepercayaan ditunjuk oleh organisasi penghayat. Ayat 3, organisasi dan pemuka penghayat terdaftar di kementerian yang bertugas membina organisasi penghayat kepercayaan. Artinya, pemuka penghayat harus bersertifikat yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan organisasi penghayat terdaftar di Kemendikbud.

Menurut Endang, keharusan organisasi penghayat kepercayaan terdaftar di Kemendikbud menjadi kendala utama. Lantaran masih banyak organisasi penghayat yang belum tercatat di sana. Akibatnya, para penghayat kesulitan mengurus KTP dan akta nikah sebagai pemenuhan hak-hak sipilnya.

“Dan untuk terinventarisasi, prosesnya sangat panjang dan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Kan kalau seperti itu, mereka tidak bisa mengakses hak-hak sipil mereka,” jelas Endang.

Hingga Juni 2022, kelompok penghayat kepercayaan di DIY berjumlah 40. Yang sudah tercatat di Dinas Kebudayaan DIY berjumlah 27. Sedangkan yang belum terinventarisasi ada 13 kelompok.

Dalam proses pencatatannya, kelompok yang belum terinventarisasi itu terkendala akta notaris karena membutuhkan biaya yang tak murah. Juga kendala proses panjang, terutama dalam bagian penulisan sejarah turunnya wahyu.

“Enggak semua orang bisa mencatat dan menggambarkan dengan baik. Karena kan itu proses sejarah dan masing-masing kepercayaan berbeda,” jelas Endang.

Kemudian, keharusan pemuka penghayat memiliki sertifikat izin sebagai pemuka penghayat juga merupakan hal yang berbeda dibanding pernikahan penghayat sebelum Putusan MK 2017. Bambang Purnomo mencontohkan. Pada 1978, dia dinikahkan oleh R. Sutarjo Hadikusumo yang merupakan ayah Baskoro. Sutarjo ditunjuk langsung sebagai pemuka penghayat oleh kelompok Sapta Dharma karena dianggap memiliki nilai religiutas tinggi.

Kini, Bambang juga diangkat menjadi pemuka penghayat Sapta Dharma. Dia mendapatkan sertifikat resmi sebagai pemuka penghayat dari Dinas Kebudayaan di bawah Kemendikbud pada 2010. Dia pula yang menikahkan Baskoro dan Sekar tiga tahun lalu.

“Saya ingin balas budi, karena dulu saya dinikahkan oleh ayah Baskoro. Saya senang,” ujar Bambang.

Sertifikat pemuka penghayat diperoleh melalui rekomendasi dari tiap-tiap organisasi penghayat dan didaftarkan ke Dinas Kebudayaan di bawah Kemendikbud. Adapun syaratnya, yakni orang yang dianggap mampu, memiliki nilai religuitas tinggi, dan mau mengabdi di organisasi tersebut. Sertifikat itu berlaku selama lima tahun sejak dibuat.

Sementara kelompok penghayat Sumarah belum ada yang diangkat menjadi pemuka penghayat. Akibatnya, belum ada pemuka penghayat Sumarah yang bertugas menikahkan pasangan penghayat di kelompoknya.

“Karena tidak sembarangan mengangkat seorang pemuka. Harus diperhatikan dengan benar syarat-syaratnya menurut Sumarah. Kami sedang susun kembali,” jelas Kus.

Kepala Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil Kabupaten Sleman, Mayawati Jati Lestari menjelaskan, regulasi menikah secara umum harus ada keterangan menikah dari pemuka penghayat. Kemudian KK, KTP orang yang bersangkutan maupun saksinya, lalu ada pas foto. Tapi yang tidak boleh dilupakan adalah persoalannya lembaganya.

“Lembaga tersebut harus memiliki izin khusus dan tercatat di Direktorat Kebudayaan Kemendikbud. Jadi kata kuncinya itu,” jelas Mayawati, Selasa (14/6/22).

Adapun Pasal 40 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 2019 tertulis, pencatatan perkawinan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota paling lambat 60 hari setelah dilakukan perkawinan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Meskipun sudah ada aturannya, jumlah penghayat yang menikah menurut prosesi kepercayaan terhadap Tuhan YME masih sangat kecil. Data Disdukcapil Sleman misalnya, tercatat hanya ada satu pasang penghayat yang menikah secara penghayat setelah disahkannya aturan mengenai pencatatan pernikahan penghayat pada 2019 lalu.

Menurut Maya, kondisi tersebut dipengaruhi beberapa faktor. Antara lain masih banyak jumlah penghayat yang belum mengganti KTP-nya menjadi KTP pemeluk penghayat. Berdasarkan database Sistem Infomasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Sleman, jumlah penghayat yang memiliki KTP yang mencantumkan “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” dalam kolom agama ada 22 orang. Akibatnya, dokumen lain, seperti KK maupun akta nikah menyesuaikan dengan KTP.

Minimnya penggantian KTP penghayat juga tidak bisa dilepaskan dari stigma yang melekat terhadap kelompok penghayat. Bahwa kelompok penghayat acapkali dianggap sesat, keturunan PKI, dan beragam stigma lain yang membuat penghayat tidak berani menunjukkan jati dirinya di muka umum.

“Itu tidak mudah, memulihkan mental penghayat yang sudah berpuluh tahun terkena stigma dari masyarakat. Jangankan dari masyarakat, kadang antar keluarga pun masih ada yang berpandangan buruk,” kata salah satu pemeluk Sapta Dharma, Slamet Basuki, Jumat (27/5/2022).

Endang menambahkan, stigma buruk yang melekat pada masyarakat penghayat mengakar sampai saat ini. Dan itu berimbas pada masih minimnya penghayat yang mengganti KTP-nya menjadi pemeluk penghayat.

Endang menengarai ada dua alasan terkait keengganan para penghayat untuk mengganti KTP-nya. Orang-orang tua pemeluk penghayat tidak mau mengganti KTP-nya karena merasa sudah tua. Sedangkan golongan muda takut mengganti KTP karena khawatir akan berimbas pada pekerjaan dan pandangan sosial masyarakat setelah mengetahui dirinya pemeluk penghayat.

“Bagaimanapun, stigma itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan kami,” jelas Endang. 

Kendati demikian, baik Endang, Bambang, juga penghayat yang lain masih saling bahu-membahu mengadakan sosialisasi terkait pernikahan penghayat. Mengingat, pernikahan adalah salah satu ujung tonggak regenerasi para penghayat.

“Kami semua berjuang sampai saat ini. Kalau menikahnya secara penghayat, kan itu suatu hal yang penting. Karena itu kan tonggak, pewarisnya ada di situ. Kalau menikah, kan seluruhnya penghayat dan itu akan berlanjut,” jelas Bambang.

Bambang, Baskoro, Nugraha, maupun penghayat yang lain berusaha membuktikan, bahwa kelompok penghayat masih berusaha melawan stigma dan berjuang untuk memperoleh hak-haknya. Termasuk dalam pernikahan sekalipun.

“Perjuangan ini memang tidak mudah. Yang harus selalu kami ingat, kami harus tetap bergandengan tangan agar kelompok penghayat tetap lestari dan langgeng,” pungkas Baskoro. ***

*Liputan ini bagian dari program workshop dan fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

Reporter Atikah Nurul Ummah | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Sumber Foto Yayasan LKIS