Pertengahan milenium pertama hingga awal milenium kedua, Dinasti Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi segala bidang. Kita bisa menemukan kegemilangan perihal apapun, dari ilmu kedokteran, filsafat, sains, hingga tata kelola negara. Semuanya ada dan berpusat di sana. Nahas, kini hal tersebut hanya hadir dalam catatan sejarah belaka. Terorisme, kekerasan, intoleransi, kebodohan, hingga kemiskinan menjadi ganti bagi rentetan kejayaan di masa lalu, dan menjadi tren baru bagi negara-negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam.
Fenomena tersebut memantik Ahmet T. Kuru, seorang peneliti berkebangsaan Turki untuk menemukan jawaban mengenai degradasi yang terjadi sekarang. Lewat bukunya yang berjudul Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparasion, ia melakukan penelitian panjang. Dimulai dari periode pertengahan (1250–1800 M) sampai periode modern (1800 M–sekarang), ia mengamati dan menganalisis kondisi sosial, politik, agama, dan ekonomi yang terjadi pada negara Islam.
Ditemukan bahwa kemunduran ini merupakan masalah yang kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Ada relasi antar kelas yang saling memengaruhi di dalamnya. Baik itu kelas religius, birokrat, intelektual, maupun ekonom. Bagi Kuru relasi tersebut telah membuahkan kesuksesakan juga kegagalan, entah di dunia muslim ataupun barat.
Maka tak heran Kuru menyangkal para peneliti esensialis dan pascakolonial/antikolonial dalam pendekatannya terhadap kajian mengenai peradaban Islam. Menurutnya, baik esensialis maupun antikolonial, keduanya tidaklah tepat.
Di satu sisi, esensialis mengatakan bahwa masalah orang-orang muslim saat ini adalah karena Islam itu sendiri. Jawaban Kuru sederhana, menurutnya pesatnya filsafat dan ilmu pengetahuan serta unggulnya perekonomian negara Islam pada rentang abad ke-8 hingga 12 Masehi, mengindikasikan cocoknya Islam dengan kemajuan.
Begitupun dengan pandangan alternatifnya, antikolonial. Masalah kolonialisme yang terjadi pada medio abad ke-19 di sebagian negara muslim, khususnya, diklaim merupakan akar penyebab mundurnya Islam. Kuru menjawab, ketika kolonialisasi dilakukan oleh barat dengan menembus sumber daya negara-negara muslim, orang-orang muslim sudah terlebih dulu menderita krisis politik dan sosio-ekonomi.
Bagi Guru Besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University itu, kemunduran terjadi disebabkan mendekatnya ulama ke dalam barisan birokrat negara. Dari persekutuan ulama-negara tersebut menciptakan kerja sama yang saling menguatkan lagi menguntungkan. Di satu sisi negara menjamin monopoli agama bagi ulama dan di sisi lain ulama melegitimasi negara dengan label agama.
Kuru menjelaskan bahwa pemberian status legal konstitusional bagi syariah di suatu negara mencerminkan sebuah hukum merupakan buatan ulama. Di Mesir dan Pakistan, misalnya, pasal tentang syariah dimasukkan ke dalam konstitusi, kemudian peranan hukum pengadilan ulama dan syariah diperkuat. Begitupun di negara yang mengalami perang saudara: Irak, Libya, Somalia, dan Suriah. Mereka mereformasi hukum dengan mengislamisasi dan menetapkan pasal konstitusi yang merujuk syariah.
Pengaturan ini ‘nyaris’ berkebalikan dengan gagasan demokratis, yang mana pembuatan hukum dilakukan parlemen berdasarkan perubahan kondisi serta pandangan publik. Dengan begitu, cara yang digunakan para ulama telah mengesampingkan partisipasi masyarakat, yang selanjutnya menyiratkan pertentangan dengan proses juga cita-cita demokrasi. Di negara yang merujuk syariah sebagai dasar konstitusinya, ulama menjadi otoritas yang melanggengkan sikap tidak demokratis. Sebab, hak penafsiran terhadap ayat-ayat dipegang oleh ulama, sedang di luar itu atau berbeda dengannya tidaklah valid.
Dalam bukunya, Kuru mengatakan bahwa masalah utama ulama, baik aliran Sunni maupun Syiah, adalah sikap konservatif dan oposisi terhadap gagasan kemajuan. Menurut pandangan duniawi ulama, pengetahuan keagamaan mencakup semua kebaikan yang sempurna dan kekal; perubahan berarti penyimpangan dan kerusakan. Ulama Salafi sudah melampaui aliran utama ulama Sunni dalam menolak perubahan dan kemajuan. Di antara ribuan hadis, Salafi punya satu hadis kesukaan yang berulang kali mereka sebut-sebut: “Setiap pembaruan (bid’ah) adalah kesesatan dan setiap kesesatan ada di api neraka.” (Hlm. 103).
Tak hanya sekarang, persekutuan ulama-negara yang bagi Kuru menjadi hambatan kemajuan Islam sudah hadir sejak dulu. Terlihat dari anggapan yang menyatakan agama dan negara merupakan saudara kembar, bahkan ulama sekaliber Al Ghazali menuliskan dalam kitabnya, Ihya Ulumudin: “Negara dan agama adalah saudara kembar, dan juga agama adalah pondasi, sedang sultan ialah penjaganya: yang tidak memiliki pondasi akan runtuh dan yang tidak memiliki penjaga akan hilang.”
Dalam temuan Kuru, bahwa sebetulnya perkataan yang ditulis Al Ghazali atau semacamnya berasal dari pepatah Sasaniah, yang dikenal sebagai Wasiat Ardasyir I (memerintah pada 224-242). Selain itu, gagasan serupa dapat dilihat dalam teks Sasaniyah lain, yaitu pada Surat Tansar. Tansar sendiri ialah seorang pendeta Zoroaster dan penasihat Ardasyir. Surat Tansar menegaskan, “Agama dan Negara lahir dari satu rahim, digabungkan bersama dan tidak pernah dipisahkan.” Kemudian, keduanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sejak periode akhir dinasti Umayyah.
Artinya selama ini muslim salah kaprah dengan meyakini kredo tersebut adalah hadis atau perkataan Nabi, dan persepsi masa kini yang beranggapan Islam dan negara adalah satu entitas dan tidak bisa dipisahkan, tidak lebih dari sekadar konstruksi historis, alih-alih merupakan bagian dari ajaran Islam.
Sementara itu, sejak ortodoksi Sunni sudah mulai menguat pada abad ke-11, ditambah dengan sistem ekonomi yang semakin militeristik, di mana pemungutan pajak diserahkan kepada personel militer. Kemudian hadir sistem Iqta, sebuah hak menarik pajak di tanah tertentu oleh para pejabat, terutama militer, menjadikan fokus negara Islam kepada penaklukan, tidak lagi pada keilmuan. Akibatnya peran pedagang yang dulu sebagai pemodal bagi ulama juga intelektual muslim meluntur, bahkan hilang. Selanjutnya, ekspansi politik Syiah telah memancing reaksi Sunni, yang selanjutnya dimanfaatkan oleh para ulama dan penguasa Seljuk untuk membentuk persektuan ulama dan negara. Salah satu simbol pelembegaan ini ditandai dengan hadirnya Madrasah Nizhamiyah. Lembaga ini mengajarkan para ulama dengan cara sedemikian rupa, seperti kurikulum, agar mau melayani negara.
Melihat Bagaimana Persekutuan Ulama-Negara Melemahkan Intelektual Muslim
Terciptanya persekutuan ulama dan negara ini berimbas negatif terhadap para intelektual. Persekutuan ulama-negara telah menciptakan hegemoni gagasan, yang tak jarang menggunakan kekerasan untuk melenyapkan pesaingnya.
Adanya persekusi baik itu hukuman mati ataupun ancaman keabadian di neraka, menjadikan banyak dari orang-orang muslim patah semangat dalam mencari ilmu pengetahuan dan kreativitas di luar batas-batas yang telah ditentukan. Hal tersebut diperkuat Ghazali, yang bagi Kuru, berperan penting dalam membuat pandangan ortodoksi Sunni tidak bisa dipertanyakan. Ghazali sendiri memang bukan pendiri ortodoksi Sunni, dia mengikuti jalan seperti Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Asy’ari, Mawardi, dan Khalifah Qadir. Namun sebagai ulama terkemuka, Ghazali menjadi pemulus bagi para penguasa untuk menuding murtad seseorang.
Seperti yang tercantum pada autobiografinya, Ghazali menyebut Ibnu Sina dan Farabi sebagai orang kafir, “Kita harus … menganggap kafir para filsuf [Sokrates, Plato, dan Aristoteles] dan filsuf Islam pengikut mereka seperti Ibnu Sina, al-Farabi, dan lainnya.” Pandangan Ghazali perihal kemurtadan ini memiliki konsekuensi praksis, seperti yang terjadi pada seorang sarjana dan penyair sufi, Ayn al-Qudat (1098–1131 M), yang dieksekusi dengan dakwaan membela ajaran Ismailiyah dan dua pandangan filsafat “Heteredoks,” yang hal tersebut ditetapkan Ghazali sebagai kemurtadan dan dapat menyebabkan pembelanya pun mendapat hukuman mati.
Hingga abad ke-17, tiga imperium muslim; Osmani, Shafavi, dan Mughal dalam kurun dua abad mengalami kemunduran drastis dan menghadapi krisis politik juga sosio-ekonomi yang kompleks. Kuru melihat adanya kesamaan dengan periode sebelumnya, yaitu relasi kelas atau persekutuan ulama-negara. kedua hal itu telah banyak menghalangi kemunculan sarjana independen dan meminggirkan pedagang sebagai pendana swasta saat itu. Seperti yang terjadi pada imperium Osmani, yang pada waktu itu terlambat mendirikan percetakan disebabkan ulama konservatif.
“Alasan sebenarnya mengapa Osmani terlambat mendirikan percetakan adalah perlawanan ulama, yang berakar di hasrat mereka untuk tetap memonopoli pendidikan dan pengetahuan. Tidak seperti negara-negara Eropa Barat, Imperium Osmani tidak memiliki kelas pedagang berpengaruh yang dapat mengambil keuntungan dari percetakan sehingga mendukung pendirian percetakan.” (hlm. 365).
Masalah yang sama terjadi di abad ke-19, meskipun posisi ulama melemah di negara Osmani karena westernisasi secara besar-besaran, tetap saja mayoritas muslim di negara tersebut masih memiliki pandangan bahwa agama dan negara sebagai saudara kembar. Bahkan para Osmani muda yang lebih ter-barat-kan daripada muslim umumnya, masih loyal terhadap kredo tersebut. Tercermin dalam pernyataan terkenal: Allah din-ue devlete zeval vermesin, yang berarti semoga Allah melindungi agama dan negara.
Di bagian akhir bukunya, Ahmet T. Kuru, memberi solusi alternatif untuk umat Islam dalam rangka mengejar ketertinggalan dari kemajuan Barat. Menurutnya, berangkat dari analisis historis yang ia lakukan, ia mendapati dari abad ke-8 hingga ke-10, para ulama didanai oleh para pengusaha swasta, dan tak jarang menjadi pengusaha juga, serta menghindari pekerjaan sebagai abdi negara. Selama periode tersebut, terjadi kemajuan pesat, dan banyak menghasilkan ahli-ahli terhebat yang menguasai berbagai bidang dan pedagang-pedagang berpengaruh. “Muslim memerlukan kaum intelektual yang kreatif dan borjuasi independen, yang dapat mengimbangi kekuasaan otoritas ulama dan negara.” Tegas Kuru.
Judul Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim | Penulis Ahmad T. Kuru | Penerjemah N Febri Ady Prasetyo | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) | Cetakan Januari 2021 | Tebal xviii + 498 hlm | Peresensi Selo Rasyd Suyudi