Lpmarena.com-Video-video yang diunggah kanal Youtube Zavilda TV menuai protes warganet Indonesia setelah banyak korban yang bersuara. Zavilda TV memerintah korban untuk berpakaian lebih terbuka agar sesuai dengan konten yang hendak dibuat, serta memaksa korban untuk membuka jilbab, dan merokok. Kalis Mardiasih menyebut tindakan pemaksaan tersebut merupakan kekerasan gender berbasis online.
Dalam webinar bertajuk “Kontroversi Zavilda TV: Pemaksaan Jilbab, Kekerasan Simbolik hingga Psikologis”, Minggu (04/09), Kalis Mardiasih menjelaskan, dalam pembuatan konten, Zavilda TV tidak membuat persetujuan pendokumentasian digital yang rinci dengan talent. Akibatnya banyak talent yang menjadi korban.
Kalis memaparkan lima syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan konten. Pertama, freely given, ialah persetujuan yang diberikan secara bebas kepada seseorang. Dalam kasus Zavilda TV, alih-alih memberi pilihan bebas, mereka memaksa korban untuk memakai baju yang tidak sesuai keinginan korban.
Kedua, sebuah persetujuan harus reversible. Artinya persetujuan boleh berubah sewaktu-waktu, baik saat pembuatan konten sedang berlangsung maupun sesudahnya, tergantung kondisi seseorang, dalam konteks ini korban. Ketiga, informed, persetujuan harus berisi informasi lengkap mulai dari konsep konten hingga persoalan komersialisasi dan iklan.
Keempat, enthusiastic: Persetujuan diberikan dengan rasa senang. “Kalau ngajak bikin kontennya aja udah pemaksaan, kekerasan psikologis, kemudian ketika diupload, thumbnail dan judulnya merendahkan, bagaimana bisa persetujuan itu diberikan dengan rasa senang?” ujar Kalis.
Terakhir, spesific, yaitu persetujuan bersifat khusus. Kalis menerangkan, persetujuan harus memuat rinci izin pembuatan konten, pempublikasian konten, dan komersialisasi konten. “Jadi harus rinci, konten ini mau dipublikasikan di mana saja? Youtube, IG, atau Tiktok?” tambahnya.
Jika persetujuan tidak memenuhi lima syarat di atas, artinya korban tidak memberikan persetujuan penuh.
Kekerasan gender dan pelecehan seksual yang dilakukan Zavilda TV termasuk dalam kekerasan simbolik, yang terjadi karena adanya ketidaksadaran terhadap kepemilikan kekuasaan. Zavilda TV sebagai muslimah menindas orang lain dengan kekerasan simbolik tersebut. Kalis menjelaskan, kekerasan simbolik sering terjadi dalam komunikasi dan bersembunyi dalam bahasa, seperti yang diucapkan Zavilda, “Astaghfirullah, udah terbiasa seksi, ya, kak?” “Ya, Allah, jilbab itu nyaman, loh, kak. Kenapa enggak mau pakai jilbab?”
“Jadi, bahasanya saja yang halus tetapi, sebetulnya dia sedang menggunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain,” ujar Kalis.
Berdasarkan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pelecehan yang dilakukan Zavilda TV masuk dalam kategori pelecehan seksual non fisik. “Pelecehan seksual non fisik dilakukan oleh Zavilda TV terhadap tubuh seseorang untuk merendahkan harkat dan martabat (seseorang) berdasarkan seksualitas dan kesusilaannya,” tegas Kalis.
Zavilda TV juga bisa dijerat Pasal 14 UU TPKS Tentang Kekerasan Berbasis Elektronik karena thumbnail dan judul yang bermuatan seksual.
“Hari ini, bukan hanya tubuh fisik, kita juga punya tubuh digital, yaitu Personal Information (PI),” kata Kalis. Konten-konten Zavilda TV pun turut menyebarkan data pribadi, seperti lokasi seseorang saat syuting, agama, dan tato.
Reporter Asy Syifa Salsabila | Redaktur Musyarrafah