Lpmarena.com – Dampak kenaikan harga BBM dikeluhkan oleh sejumlah elemen buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) menggelar aksi dan audiensi menolak kenaikan BBM di kantor DPRD DIY, Rabu (07/09). Tak hanya menolak, para buruh pun mendesak beberapa opsi kebijakan.
Wakil Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Kirnadi, menuntut pemerintah daerah untuk menaikkan besaran upah minimum di saat kenaikan BBM. Menurutnya, kenaikan harga BBM ini tak sebanding dengan besaran upah buruh yang hanya berada di kisaran dua juta.
“Kita harus bekerja delapan jam per hari di pabrik dengan kualitas yang sama, sedangkan upah yang kami terima tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, ” tegasnya saat audiensi bersama pimpinan DPRD DIY.
Kenaikan BBM menimbulkan efek domino yang besar. Efek yang paling kentara adalah naiknya harga bahan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat.
Senada dengan itu, menurut Ade Irsyad Irawan, Koordinator MPBI DIY, Pemerintah DIY perlu menaikkan angka upah minimum 20%-30%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2022 ini, Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta hanya berada pada angka Rp1,840 juta. Sedangkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di lima kabupaten kota adalah sebesar Rp2,153 juta untuk Kota Yogyakarta; Sleman sebesar Rp2 juta; serta Bantul, Gunung Kidul, dan Kulonprogo masing-masing berada di kisaran Rp1,9 juta.
Angka-angka tersebut berada di bawah angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) DIY. Besaran KHL buruh di lima kabupaten/kota di DIY berdasarkan suvey KHL pekerja per-Oktober 2021 adalah sejumlah Rp3,067 juta untuk Kota Yogyakarta; Rp3,03 juta untuk Sleman dan Bantul; Rp2,908 juta untuk Kulon Progo; dan Rp2,758 juta untuk Gunung Kidul.
Berdasarkan angka tersebut, buruh selalu mengalami defisit keuangan dari tahun ke tahun. Hal itu, menurut Irsyad, sudah terjadi lama.
Oleh sebab itu, selain menuntut pemerintah untuk menaikkan upah minimum, ia juga memberikan masukan agar dana APBD dan Dana Keistimewaan (Danais) dialokasikan sebagai subsidi sosial.
“Ditambah lagi dengan kenaikan harga BBM, maka kemudian menjadi sangat relevan lagi bagi Pemda untuk menggunakan Danais dan dana APBD untuk subsidi sosial,” paparnya.
Bantuan Sosial Tidak Efektif
Pasca kenaikan harga BBM terhitung sejak Sabtu (03/09) lalu, pemerintah telah menyiapkan langkah untuk menekan inflasi. Langkah yang dipilih oleh pemerintah adalah dengan memberikan bantuan sosial.
Pemerintah pusat telah menyiapkan anggaran sebesar Rp12,4 triliun yang akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga kurang mampu. Anggaran itu akan diberikan masyarakat dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dengan besaran Rp150 ribu per bulan mulai September hingga akhir tahun.
Melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pemerintah daerah juga diwajibkan untuk mengalokasikan 2% dari Dana Transfer Umum (DTU) untuk menekan inflasi yang terjadi pasca kenaikan harga BBM. Bagi buruh dengan gaji Rp3,5 juta ke bawah juga akan mendapatkan Bantuan Subsidi Umum (BSU).
Namun, menurut Azis Nur Fitriyanto, Ketua DPW Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) DIY, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah itu hanya politis dan pemanis belaka untuk menahan gejolak di masyarakat. Besaran BLT yang hanya Rp600 ribu selama empat bulan itu tidak akan efektif untuk menaikkan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga BBM.
“Bagi saya, bansos itu sama sekali tidak efektif. Cara paling efektif mengatasi kenaikan BBM ini adalah dengan menaikkan daya beli masyarakat. UMP, UMK, UMR harus dinaikkan,” paparnya.
Terkait dengan bantuan dari Kemenkeu, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana, DIY mendapat besaran 24 miliar. Dana tersebut akan dialokasikan kepada masyarakat terdampak kenaikan harga BBM.
“Sasarannya sesuai dengan kriteria. Masyarakat terdampak. Saya kira, mesti harus masuk dalam kriteria orang-orang miskin,” jelasnya.
Di lain sisi, Irsyad menyangsikan besaran tersebut mampu untuk memberi subsidi pada masyarakat terdampak. Sebab, menurutnya yang terdampak dengan kenaikan harga BBM ini bukan hanya masyarakat miskin.
Subsidi umum pun tak akan menutupi defisit keuangan yang sudah dialami buruh selama ini. Idealnya, menurut Irsyad, besaran BSU sekurang-kurangnya harus mendekati angka satu juta per bulan guna menutupi defisit.
Menurutnya, seharusnya bantuan itu harus diberikan kepada seluruh masyarakat, khususnya Yogyakarta tanpa syarat. Cukup dengan menunjukkan KTP dan NIK, bantuan bisa didapatkan.
“Nah, kalau pemerintah enggak sanggup, batalin aja kenaikan harga BBM. Kemudian kami tidak jadi meminta BSU, ” pungkasnya.
Reporter Aji Bintang Nusantara | Redaktur Dina Tri Wijayanti | Foto Aji Bintang N