Lpmarena.com-Pandemi Covid 19 yang menghujam bumi pertiwi menukilkan inovasi di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Sebagai basis dasar transfer pengetahuan dan nilai, pendidikan mesti lebih adaptif terhadap kondisi yang di luar kendali manusia. Kini kita mengenal pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran dalam jaringan (daring) menyentuh hampir ke semua jenjang pendidikan formal, termasuk di perkuliahan.
Usai pandemi berlangsung, kebijakan perkuliahan secara daring mulai perlahan diperlonggar. Kalau bicara soal efektivitas dan efisiensi pembelajaran, model pembelajaran ini tak jarang membatasi aktivitas mahasiswa. Terbitnya Surat Edaran Kemendikbud Nomor 2 Tahun 2022 terkait Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 menjadi langkah awal memulai kembali berbagai kegiatan akademis dan kemahasiswaan.
Namun efek pandemi tak hanya menjangkit pada ekonomi dan pariwisata, jauh lebih dalam, ada sektor fundamental yang ikut terdegradasi akibat pandemi: pendidikan. Rasanya semangat literasi dan daya kritis mahasiswa semakin tergerus. Dua tahun lamanya telah cukup untuk membuat mahasiswa sekarang menjadi begitu apatis terhadap kondisi sosial yang ada. Tentu ini bukan tanpa sebab. Salah satu yang besar pengaruhnya terhadap menurunnya semangat literasi, daya kritis serta kepekaan mahasiswa ialah penggunaan media sosial. Medium interaksi sosial jarak jauh ini, jika digunakan dengan tidak tepat, akan mengamini istilah “media sosial mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”.
Penggunaan media sosial kian meningkat sejak 2020 hingga 2022. Dilansir dari laman Kominfo, Jhonny G Plate menyatakan ada pergeseran penggunaan internet di tengah masyarakat. Sebelumnya konfigurasi pemanfaatan internet itu berada di kantor, kampus, sekolah dan tempat publik. Saat ini konfigurasi penggunaan internet bergeser ke perumahan, tempat tinggal, dan pemukiman. Ini menunjukkan perubahan, bahwa media sosial menjadi kebutuhan pokok sehari-hari. Teknologi informasi ini tentu memiliki dua sisi. Positifnya, keterjangkauan akses serta meningkatnya kemudahan kinerja masyarakat. Namun pemakaian berlebih dan tidak tepat menimbulkan berbagai permasalahan sosial, menggiring masyarakat kita menjadi cenderung individualis misalnya.
Hal semacam ini tentu menurunkan daya kritis dan kepekaan terhadap kondisi masyarakat saat ini. Menilik dari dataindonesia.id, penggunaan internet naik secara signifikan dari tahun 2014. Intensitas penggunaannya pun meningkat, sejalan dengan percepatan pembangunan di bidang teknologi dan informasi di Indonesia. Tahun 2017 mulai meningkat drastis sebesar 34,2%, dan naik lagi hingga di tahun 2022. Kini, pengguna internet sebanyak 191 juta orang per bulan Januari. Data yang dihimpun oleh dataindonesia.id telah menunjukkan
Apatisme mahasiswa saat ini dapat diartikan sebagai kurangnya mahasiswa yang responsif atas permasalahan sosial yang ada. Daya kritis terkait persoalan politik, ekonomi, budaya hingga agama kian menurun. Mahasiswa yang digadang sebagai penyambung lidah rakyat, mestinya bisa melihat dan menganilisis kondisi sosial yang terjadi. Dalam aksi demonstrasi pun, dapat kita lihat, massa aksi dapat dihitung jari. Dan mereka yang ikut demonstrasi tidak sepenuhnya mengerti esensi dari apa yang ingin di sampaikan. Lebih-lebih, peraturan terkait mekanisme aksi demonstrasi dibuat dan semakin mempersulit. Kesemuanya itu tak lepas dari kesadaran mahasiswa yang terdegradasi, yang sadar mereka sebagai agen perubahan.
Demikian besar pengaruh internet dan media sosial, maka mahasiswa harus mampu memilah dan memilih informasi yang edukatif dan konstruktif untuk disampaikan kepada masyarakat. Ia bisa dijadikan perangkat analisis kondisi sekaligus sebagai perangkat komunikasi yang efektif. Mestinya ada batas sadar: kapan media sosial sebagai kawan, kapan sebagai lawan?
Jika mahasiswa mampu memberikan efek positif terhadap perkembangan teknologi dan informasi saat ini maka media sosial sebagai alat perjuangan akan memberikan dampak baik yang sangat besar. Tapi nyatanya, masih banyak mahasiswa yang apatis atas fenomena yang ada. Kaum rebahan, yang bermalas malasan sambil memainkan smartphone tanpa adanya progressivitas, yang hanya berkutat pada kesenangan pribadi, sungguh sangat disayangkan. Tak ayal jika mahasiswa saat ini masih belum memahami terkait lima fungsi sebagai mahasiswa.
Pertama, ia adalah agen perubahan. Mahasiswa digadang-gadang menjadi komponen penggerak perubahan. Harus bisa menyadari, bahwa perubahan terjadi bukan dengan sendirinya, terdapat instrumen pendukung agar bisa tercapai menuju arah yang lebih baik.
Lalu mahasiswa sebagai moral force, penjaga moral. Peran ini penting untuk menjaga moral dan nilai baik dalam masyarakat. Kita tahu, globalisasi memungkinkan segala bentuk nilai masuk dengan mudah, dan merusak nilai dan moral kita. Ini tentuk berkelindan dengan peran mahasiswa sebagai pengontrol sosial. Karena ketika terjadi berbagai macam pergolakan sosial masyarakat, mahasiswa hadir sebagai pengontrol untuk memberikan kritik, saran serta solusi agar tercipta kebijakan para pemimpin yang tidak melenceng.
Keempat, mahasiswa sebagai iron stock. Sebagai penerus bangsa, di pundaknya terpikul tanggung jawab untuk menjadi penerus bangsa yang lebih baik. Ini tak sekonyong-konyong muncul. Keseharian mahasiswa harus dibentuk untuk menjadi pribadi yang lebih unggul. Hingga pada akhirnya, mahasiswa ialah guardian of value, penjaga nilai luhur yang terkandung dalam tubuh bangsa Indonesia seperti, nilai kejujuran, gotong royong dan empati.
Daya kritis adalah kemampuan berpikir rasional dan tersistematis yang bertujuan untuk memahami antara ide/konsep dan realita/fakta. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan. Keterampilan ini dapat ditingkatkan melalui berbagai kegiatan, seperti berorganisasi atau dengan kegiatan berliterasi. Sebab literasi mampu membuka wawasan dan cakrawala pengetahuan kita.
Masa penerimaan mahasiswa baru di tahun ini mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya. Di lain sisi, ini menandakan bahwa semangat berpendidikan di kalangan masyarakat kita semakin meningkat. Namun, hal itu harus sejalan dengan meningkatnya kemampuan dan kapasitas berpikir masyarakat kita. Untuknyalah, masa orientasi dan pengenalan budaya di awal perkuliahan sehingga semestinya tercipta suasana intelektual. Budaya intelektual begitu penting, dan kita sebagai mahasiswa, harus memiliki daya kritis dan kepekaan.
Penulis Awal Ummah* | Editor Dina Tri Wijayanti | Ilustrator Dzaky Samsul Anwar
Penulis adalah mahasiswa S1 Hukum Islam di Universitas Islam Indonesia, aktif dalam berbagai kegiatan internal kampus dan menjadi skeretaris umum salah satu organisasi ekternal mahasiswa tertua di Indonesia.