Lpmarena.com– “Menghadapi media-media yang tidak dapat memberikan harapan, kealternatifan Persma masih dibutuhkan, dan itu masih relevan dalam konteks Jogja,” ujar Adil dari Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional, dalam diskusi “September Kelam dan Membaca Ulang Demokrasi di Yogyakarta” yang digelar oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. (22/09)
Menurutnya, peran Pers Mahasiswa (Persma) penting untuk menangkal adanya media konvensinal besar di Yogyakarta yang tidak memiliki independensi soal memberitakan status keistimewaan Yogyakarta. Riset yang dilakukan oleh Gilang Jiwana Adikara, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), menyatakan bahwa terdapat tiga media konvensional besar yang melabelkan dirinya sebagai media independen, namun mengambil jarak dalam pemberitaan mengenai status keistimewaan Yogyakarta.
Adil juga menekankan bahwa independensi Persma menjadi kunci dalam menyampaikan berita secara objektif. Namun independensi tersebut, masih bertabrakan dengan berbagai tekanan yang dihadapi Persma. Tekanan dilakukan kepada Persma membuat mereka bungkam untuk menyuarakan isu-isu terkait hal tersebut.
Ancaman tersebut seperti dipidanakan, kriminalisasi, hingga penangkapan yang terjadi bila berkaitan dengan isu-isu sensitif. Terlebih Persma yang hanya dianggap sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang terikat pada universitasnya masing-masing, sehingga ia tidak dimasukan pada kategori Pers yang sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 1999.
Ketidakpercayaan diri bagi Persma karena belum adanya legal standing terkait pengakuannya sebagai wartawan harus disingkirkan. Karena meja keredaksian di Persma tidak berada di bawah universitas sebagai UKM, melainkan sebagai sebuah instansi yang berdiri sendiri.
“Namun apabila pers mahasiswa berpegang kepada kode etik, hal tersebut bukanlah suatu masalah besar. LBH dan AJI buka 24 jam untuk membela hak tersebut,” tegas Adil.
Sealin legal standing yang diragukan, berita-berita yang dikeluarkan oleh Persma juga dianggap sebelah mata oleh birokrasi kampus, walaupun seketat dan sebaik apapun prosedur peliputannya. Namun mentalitas wartawan harus di tanamkan kepada seluruh pers mahasiswa sehingga mengurangi adanya penekanan pada saat meliput suatu permasalahan.
“Selama kalian berada di lembaga pers mahasiswa (LPM), kalian adalah seorang wartawan,” tegas Adil.
Tidak hanya masalah independensi media konvensional di Yogyakarta yang cenderung mengambil jarak soal pemberitaan keistimewaan Yogyakarta, ruang kebebasan publik juga mengalami menyempitan. Hal itu disampaikan oleh Julian, dari LBH Yogyakarta.
“Lantas dimana lagi kita bisa berdemokrasi, bila akses paling dekat dengan pemerintahan Yogyakarta ditutup?” tanya Julian, Direktur LBH Yogyakarta.
Menurut Julian, ketetapan mengenai pelarangan berdemo di area Malioboro yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 1 Tahun 2021, sangat merugikan masyarakat. Pasalnya, peraturan tersebut menyulitkan masyarakat Yogyakarta untuk menyuarakan keluhan-keluhan kepada pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Padahal, di sanalah pusat pemerintahan struktural DIY sekaligus tempat untuk mengemukakan pendapat masyarakat.
Reporter Ahmad Fauzi | Redaktur Atikah Nurul Ummah